Tidak Cukup Menjadi Fundamentalis

(Berita Mingguan GITS 13 Agustus 2011, sumber: www.wayoflife.org)Berikut ini disadur dari buku David Cloud, New Evangelicalism: Its History, Characteristics, and Fruit, yang pertama diterbitkan tahun 1995. “Mari saya tekankan keyakinan saya bahwa injili konservatif kuno dan fundamentalisme, pada saat terbaik sekali pun, masih belum cukup. Saya seorang fundamentalis sejauh bahwa saya percaya dogmatisme alkitabiah dan militansi untuk kebenaran dan separasi dari kesalahan, teapi saya lebih dari sekedar seorang fundamentalis. Tujuan dari kehidupan dan pelayanan Kristiani saya bukanlah untuk menjadi seorang fundamentalis yang baik (atau bahkan seorang Baptis yang baik). Tujuan saya adalah setia kepada Firman Allah dalam semua seginya. Berikut adalah dua kelemahan dalam fundamentalisme sebagai suatu gerakan: Kelemahan pertama adalah sifatnya trans-denominasi yang telah menjadi ciri fundamentalisme. Saya tidak percaya bahwa kita hanya perlu berjuang untuk suatu daftar doktrin-doktrin “penting” seperti ketiadasalahan Alkitab dan keilahian Kristus. Memang Alkitab mengindikasikan bahwa ada doktrin yang lebih penting dari doktrin lainnya (mis. Mat. 23:23), tetapi semua pengajaran Alkitab itu penting dan harus dianggap serius. Timotius diinstruksikan untuk tidak membiarkan doktrin lain apapun selain yang Paulus telah ajarkan kepadanya (1 Tim. 1:3; 6:13, 20; 2 Tim. 2:2). Paulus peduli dengan “seluruh maksud Allah” (Kis. 20:27). Posisi tentang doktrin yang demikian tidak membiarkan saya untuk menutup mata terhadap perbedaan-perbedaan denominasi seperti cara baptisan, peran wanita, eskatologi, dll. Saya bisa saja menerima orang-orang Kristen yang berbeda pendapat dengan saya dalam hal-hal di atas sebagai orang-orang yang diselamatkan karena isu-isu ini bukanlah “pengajaran sesat yang membinasakan” (2 Pet. 2:1), tetapi saya tidak dapat melayani bersama dengan mereka, karena saya tidak percaya Alkitab memperbolehkan hal itu. Kesalahan kedua dalam gerakan historis fundamentalisme adalah mentalitas “gereja universal.” Ada pandangan umum untuk melihat “gereja” sebagai terdiri dari semua orang Kristen di segala denominasi. Menyebut semua denominasi dengan sebutan “gereja,” secara alami menghasilkan mentalitas ekumenisme dan membuat usaha memurnikan gereja menjadi tidak mungkin dilakukan. Harold J. Ockenga menggunakan banyaknya kelompok dalam Injili dan fundamentalisme sebagai alasan untuk mengusung mentalitas non-separasi dan memperingatkan tentang “sibbolet tentang memiliki gereja yang murni” (Ockenga, “From Fundamentalism, Through New Evangelicalism, to Evangelicalism,” Evangelical Roots, diedit oleh Kenneth Kantzer, hal. 42). Ini adalah pemikiran yang berbahaya dan tidak alkitabiah. Firman Allah memang menyerukan gereja yang murni, tetapi bukanlah suatu gereja universal yang harus kita murnikan; melainkan jemaat lokal Perjanjian Baru (1 Kor. 5:6-8). Memurnikan gereja universal adalah sesuatu yang tidak pernah disebut oleh Perjanjian Baru, karena memang Perjanjian Baru tidak mengandung suatu jemaat yang universal. Allah telah memberikan umatNya instruksi yang jelas tentang disiplin terhadap dosa dan kesesatan, dan semua itu dalam konteks jemaat lokal (mis. 1 Korintus 5; Titus 3). Mempraktekkan disiplin jemaat hanyalah bisa dalam konteks jemaat lokal.”

This entry was posted in Fundamentalisme. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *