Aborsi Setelah Melahirkan

(Berita Mingguan GITS 19 Mei 2012, sumber: www.wayoflife.org)

Berikut ini disadur dari “What Roe Has Wrought,” oleh Kelly Boggs, Baptist Press, 2 Maret 2012: “Apakah seorang bayi yang baru lahir pantas dibiarkan hidup? Pertanyaan ini menjadi materi suatu artikel oleh dua ahli etika di Australia yang muncul di edisi terbaru Journal of Medical Ethics (JME), yang diterbitkan secara internasional di Inggris. Pertanyaan ini, tentu saja, tidak sulit untuk dijawab. Dalam pandangan Alkitab, seorang bayi harus dibiarkan hidup karena kehidupan manusia berasal dari Allah. Kehidupan manusia adalah berharga, kudus, dan sebagaimana Alkitab tekankan, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Kedua penulis artikel ini memiliki pandangan yang sama sekali berbeda. Dalam artikel mereka yang berjudul ‘After-birth abortion: Why should the baby live?,’ Alberto Giubilini dari Monash University di Melbourne dan Francesca Minerva dari University of Melbourne, berargumen bahwa kriteria yang sama yang mengizinkan aborsi terhadap bayi yang belum lahir seharusnya juga diterapkan kepada bayi yang telah lahir. …di negara-negara maju dunia ini, bayi-bayi diaborsi 90% adalah karena alasan kenyamanan. …Mereka menulis: ‘…alasan-alasan yang sama yang membenarkan aborsi juga seharusnya membenarkan pembunuhan atas potensi pribadi ketika ia masih dalam tahap baru lahir.’ Menurut Giubilini dan Minerva, untuk bisa dikategorikan sebagai seorang pribadi, suatu individu haruslah telah membentuk suatu ‘tujuan’ yang dia sadari dan mampu untuk mengejar dan/atau mencapai tujuan itu. …Mungkin yang paling mengejutkan dari argumen Giubilini dan Minerva berkaitan dengan adopsi. Kedua penulis menjawab pertanyaan: Mengapa tidak sekedar membiarkan anak itu diadopsi? Jawaban mereka sungguh mencengangkan. ‘Pikirkan kepentingan ibunya yang bisa mengalami tekanan psikologis karena memberikan anaknya diadopsi orang lain,’ demikian kilah para penulis itu. …Dalam pandangan Giubilini dan Minerva, potensi seorang wanita mengalam tekanan psikologis lebih besar nilainya daripada hak untuk hidup dari seorang bayi. Jika kepribadian memerlukan kesadaran diri, suatu tujuan atau fungsi, lalu apa yang akan kita lakukan dengan mereka yang cacat mental? Bagaimana dengan orang-orang yang cacat fisik? Bagaimana dengan mereka yang menderita Alzheimer? Apakah mereka ini akan dikategorikan bukan “pribadi” dan menjadi dapat disingkirkan? Ide-ide ini memiliki konsekuensi besar.”

This entry was posted in Kesehatan / Medical, Kesesatan Umum dan New Age. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *