oleh David Cloud, diterjemahkan oleh Dr. Steven E. Liauw
Pada akhir abad 19, doktrin evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin dianggap sudah membuktikan Alkitab salah. Ini adalah suatu titik balik yang besar dalam sejarah, dan setiap seperempat abad setelah itu, telah dapat disaksikan bertambahnya sikap skeptis dan kebencian terbuka terhadap Allah dan FirmanNya. Hari ini, banyak orang berasumsi bahwa Alkitab penuh dengan mitos dan kesalahan-kesalahan sains, sementara Darwin dibenarkan.
Kenyataannya justru sebaliknya! Riset ilmiah sejak masa Darwin telah membenarkan Alkitab dan mendiskreditkan Darwin. Realitanya, tulisan Darwin-lah yang penuh dengan mitos dan blunder ilmiah.
Dapat diargumentasikan bahwa Darwin tidak mungkin bisa mengetahui fakta-fakta ilmiah yang belum ditemukan pada zamannya, dan bahwa dia tidak bisa dipersalahkan atas kesalahan-kesalahan yang muncul dalam tulisannya, tetapi bukan itu poin utamanya. Poinnya adalah bahwa tulisan Darwin penuh dengan kesalahan ilmiah, sementara Alkitab, yang ditulis ribuan tahun lebih dahulu, tidak memiliki kesalahan seperti itu. Ini adalah bukti yang jelas akan pengilhaman ilahi atas Alkitab.
Perhatikan beberapa dari kesalahan Darwin berikut:
Charles Darwin dan Thomas Huxley percaya pada abiogenesis atau spontaneous generation, yaitu ide bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya dari zat-zat tidak hidup.
Ide ini dipercayai secara luas sampai dengan paruh kedua abad 19, ketika akhirnya dibuktikan salah oleh eksperimen-eksperimen Louis Pasteur. Dia menemukan bahwa anggur dan susu tidak mengalami fermentasi ketika ditutup rapat dari udara, dan dia berkesimpulan bahwa fermentasi disebabkan oleh mikroorganisme. Dia mengembangkan apa yang dia sebut “the germ theory of fermentation” (teori fermentasi dari kuman) dan mengusulkan bahwa penyakit disebabkan oleh organisme kecil (mikroba) (Alan Gillen and Douglas Oliver, “Creation and the Germ Theory,” Answers in Genesis, 29 Juli 2009).
Dia menyebut proses pengasaman jus anggur oleh mikroba-mikroba sebagai “penyakit anggur.” Sampai dengan tahun 1870, Pasteur telah mengidentifikasi mikroba yang menyebabkan penyakit silkworm. Dia menciptakan proses pasteurisasi untuk membunuh kuman di dalam susu dan cairan-cairan lain dengan cara pemanasan. Pemahamannya akan kuman akhirnya menghasilkan vaksin-vaksin yang dapat menyelamatkan hidup, dan akhirnya, antibiotika. Seluruh bidang kedokteran modern hari ini didasarkan atas konsep kuman yang dipionir oleh Pasteur.
Membangun di atas penemuan-penemuan Pasteur, Joseph Lister, seorang dokter dengan kepercayaan Quaker, melakukan riset lebih lanjut tentang kuman yang menyebabkan penyakit. Risetnya tentang susu yang menjadi basi akhirnya menuntun dia kepada kesimpulan yang sama dengan Pasteur. Dia menganggap pembasian susu sebagai semacam penyakit menular. Menyimpulkan bahwa mikroba menyebabkan infeksi pada pasien-pasiennya dengan cara masuk melalui luka, Lister mempionir penggunaan antiseptik. Cara dia menggunakan kasa dan semprotan asam karbolik, sterilisasi instrumen, dan asepsis (mencuci tangan dengan teliti dan mempertahankan lingkungan yang bersih), secara signifikan menurunkan kejadian gangren. Sebelumnya, 50% dari pasien yang harus diamputasi mati karena infeksi. Sampai dengan akhir hidupnya, 97% dari pasien amputasi bisa selamat. Karya pionir Lister akhirnya menyebabkan diterapkannya praktek-praktek ini secara luas sejak awal 1870an. Lister dianggap sebagai sesama penemu teori tentang kuman, bersama dengan Pasteur. Keduanya adalah orang yang percaya penciptaan, yang juga percaya pada Allah dalam Alkitab dan menolak Darwinisme.
Charles Darwin salah tentang abiogenesis.
Namun, walaupun abiogenesis telah dibuktikan salah selama 140 tahun, dan eksperimen-eksperimen baru semakin kuat meneguhkan penemuan Pasteur dan Lister, para Darwinis masih mempercayainya. Ketika ditanya bagaimana kehidupan dapat mulai, mereka berkata bahwa ia mulai dari zat mati. Mereka berpegang pada suatu teori yang sudah terbukti salah karena mereka perlu melakukan itu demi teori mereka tentang kehidupan.
Darwin mengira bahwa sel makhluk hidup adalah sesuatu yang sangat sederhana dan tidak dibutuhkan suatu peristiwa yang hebat agar sel itu berevolusi dari suatu “lobang air yang hangat.” Muridnya di Jerman, Ernst Haeckel, menyebut sel “suatu gumpalan kombinasi karbon yang sederhana dan kecil, yang mengandung albumin” (John Farley, The Spontaneous Generation Controversy from Descartes to Oparin, 1977, hal. 73).
Tentu saja, Darwin salah besar. Sel makhluk hidup adalah sesuatu yang sangat luar biasa kompleks, lebih kompleks dari suatu kota modern. Ia bagaikan suatu tubuh kecil yang hidup, yang organ-organnya disebut organella. Ia memiliki organella untuk cetak biru, decoder, pengecek kesalahan, quality control, pembangkit tenaga (mitokondria), unit penyimpan energi, pabrik manufaktur (sitoplasma, retikulum endoplasmik, apparatus Golgi), pabrik kimia, jalur assembly, unit pembuangan sampah (proteasom), pemadat sampah, sistem komunikasi yang kompleks, pabrik detoksifikasi (peroksisom), pusat recycling (lisosom), jalur-jalur transportasi bersama rel-rel dan terowongan-terowongannya, kendaraan tranportasi (dynein dan protein kargo yang bergerak sepanjang jalur-jalur tubular), dinding yang hidup dengan berbagai tipe gerbang portal satu arah maupun dua arah yang dijaga terhadap dunia luar, suatu matriks eksternal yang intelijen untuk berhuubngan dengan sel-sel lain, dan banyak hal lain lagi.
Rumitnya sel makhluk hidup telah meyakinkan banyak ilmuwan bahwa kehidupan tidak dapat terjadi dari proses alami yang buta saja. Perhatikan beberapa contoh pernyataan berikut:
“ Saya percaya pada seorang Pencipta karena saya smelihat desain sang Pencipta di alam semesta di mana-mana, dan bukti adanya intelijensi dalam DNA setiap sel” (John Kramer, Ph.D. in biochemistry, In Six Days, diedit oleh John Ashton, hal. 54).
“Walaupun saya pernah menerima paradigma evolusi, ketidakmampuan evolusi untuk menjelaskan asal usul kehidupan, ditambah lagi dengan rumit dan kompleksnya sistem kimia sel makhluk hidup, meyakinkan saya sebagai seorang mahasiswa doktoral biokimia bahwa harus ada seorang Pencipta” (Fazale Rana, Ph.D., The Cell’s Design, hal. 17).
“Kompleksitas sel saat ini terlalu besar sehingga tidak bisa seenaknya memakai evolusi biokimia untuk menjelaskannya, kecuali jika kamu menutup pikiranmu dan dengan buta berani berjalan terus. Saat ini sungguh telah menjadi suatu hal yang sulit untuk berpikir bahwa sel-sel berasal dari evolusi biokimia. Dan jika sel tidak dapat mulai secara alamiah, maka yang lain juga tidak bisa” (Henry Zuill, Ph.D. in biology, In Six Days, hal. 68).
Bahkan banyak ilmuwan yang tidak percaya kisah Alkitab mengenai penciptaan dan percaya bahwa makhluk hidup berevolusi, telah menjadi yakin bahwa mulainya kehidupan dari zat mati adalah tidak mungkin tanpa campur tangan intelijensi.
Francis Crick, yang menerima hadiah Nobel sebagai salah satu penemu dari struktur double helix dalam DNA, menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang skeptik dan agnostik dengan “kecenderungan kuat kepada atheisme” (“General Nature of the Genetic Code for Proteins,” Nature, Des. 1961). Namun dia pun mengakui bahwa kompleksitas dari sel makhluk hidup menunjuk kepada sesuatu yang “ajaib.”
“Seseorang yang jujur, yang memiliki semua pengetahuan yang tersedia bagi kita saat ini, hanya dapat mengatakan dalam pengertian tertentu, bahwa asal usul kehidupan pada waktu pertama itu hampir dapat dikatakan adalah suatu mujizat, karena begitu banyaknya kondisi yang harus terjadi dan dipenuhi agar dapat berlangsung” (Life Itself: Its Origin and Nature, 1981, hal. 88).
Francis Collins, ketua dari Human Genome Project, percaya bahwa kompleksitas dari sel makhluk hidup dan kehidupan itu sendiri, menunjuk kepada seorang Pencipta. Dia mengembangkan tema ini dalam bukunya The Language of God.
Michael Denton, Ph.D. dalam biokimia, juga berargumen bahwa alam menunjukkan bukti-bukti desain dalam buku Evolution: A Theory in Crisis (1986) dan Nature’s Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe (2002). Denton bukan seorang kreasionis; dia percaya terjadinya zaman-zaman geologis yang panjang dan adanya perubaha evolusionis, dan kemungkinan adalah seorang agnostik.
Michael Behe, Ph.D. dalam biologi, telah menerbitkan buku-buku (Darwin’s Black Box dan Signature of the Cell) untuk menyampaikan argumen bahwa kehidupan itu “kompleks tanpa dapat disederhanakan lagi” (irreducibly complex), dan menunjuk kepada “desain yang intelijen.” Behe menggali ke dalam misteri-misteri DNA yang ajaib dan berbagai mesin biologis lainnya yang dimiliki sel makhluk hidup, dan bagaimana berbagai penjelasan naturalistik tidak bisa menerangkan asal usul kehidupan.
Darwin salah mengenai sel makhluk hidup.
Darwin mencoba untuk menjelaskan perubahan evolusi, yaitu bagaimana makhluk hidup bisa mengakumulasi karakteristik-karakteristik yang baru, dengan menciptakan sesuatu yang dia sebut “gemmule” (juga disebut granules, plastitudes, dan pangenes). Ide ini muncul dalam bukunya tahun 1868, The Variation of Animals and Plants under Domestication, dalam bab “”Provisional Hypothesis of Pangensis.”
Menurut Darwin, gemmule adalah unit informasi yang baru, partikel-partikel pewarisan, yang terbentuk ketika suatu makhluk terpengaruhi oleh lingkungannya. Zat gemmule ini lalu dibawa ke dalam aliran darah kepada organ-organ reproduksi, berakumulasi dalam sel-sel induk, dan kemudian diturunkan kepada anak-anak, dan dengan demikian, terjadilah evolusi.
Darwin berkata:
“Diakui secara universal bahwa sel-sel atau unit-unit tubuh berkembang biak melalui pembelahan diri, atau proliferasi, mempertahankan sifat-sifat yang sama, dan bahwa akhirnya mereka menjadi berbagai jaringan dan bahan dalam tubuh. Tetapi selain cara perkembangan seperti ini saya berasumsi bahwa unit-unit ini juga melepaskan sejumlah kecil granula-granula, yang disebarkan ke seluruh sistem; bahwa zat-zat ini, ketika mendapatkan nutrisi yang cocok, bertambah banyak melalui pembelahan diri, dan pada akhirnya berkembang menjadi unit-unit seperti tempat asalnya mereka. Granula-granula ini bisa disebut sebagai gemmules. Mereka dikumpulkan dari segala bagian sistem untuk menjadi bagian seksual, dan perkembangan mereka pada generasi selanjutnya akan membentuk makhluk yang baru; tetapi mereka juga dapat disalurkan dalam kondisi dorman ke generasi selanjutnya dan lalu dikembangkan setelah itu” (The Variation of Plants and Animals, 1868).
Dr. Duane Gish berkomentar:
“Hari ini kita tahu bahwa pewarisan dikendalikan oleh gen yang hanya ditemukan dalam sel-sel induk (sel-sel telur, ova, dan spermatozoa). Hanya perubahan pada gen-gen di dalam sel-sel induk yang akan diwariskan. Sama sekali tidk ada “gemmule” yang terbentuk, dan sifat-sifat yang didapat setelah dewasa tidak akan diwariskan.
“Ratusan ribu gen berada dalam nukleus dari setiap sel makhluk hidup tingkat tinggi. Setiap gen terdiri dari satu untai panjang yang berisikan beberapa ratus hingga beberapa ribu subunit, yang tersambung bersama seperti mata rantai. Tipe kimia kompleks yang membentuk gen ini disebut deoxyribonucleic acid, atau DNA. …
“Setiap ciri dipengaruhi oleh setidaknya dua gen. Gen-gen dari pasangan gen ini disebut alel. Satu gen seperti ini didapatkan dari masing-masing belah orang tua. Jadi, telur dan sperma masing-masing memiliki satu set tunggal gen. Ketika terjadi pembuahan, kedua set gen ini berkombinasi. Pemisahan dan rekombinasi dari gen-gen yang terjadi ketika sel-sel induk menghasilkan sperma dan telur menyebabkan terjadinya begitu banyak kombinasi gen yang berbeda-beda. Sehingga ada variabilitas yang begitu tinggi dalam masing-masing spesies.”
“Gen biasanya sangatlah mapan. Suatu gen tertentu (dalam bentuk keturunannya) dapat eksis banyak ribu tahun tanpa perubahan struktur. Tetapi, jarang-jarang bisa terjadi, struktur kimia suatu gen mengalami perubahan. Perubahan seperti itu disebut mutasi. Mutasi bisa disebabkan oleh zat kimia, X-ray, sinar ultraviolet, sinar-sinar kosmik, dan kausa-kausa lain. Sebagian terjadi ketika sel sedang berkembang biak karena kesalahan pengkopian.”
“Sering kali mutasi bersifat fatal, dan hampir selalu bersifat merugikan. …Diragukan bahwa dari semua mutasi yang kita lihat terjadi, ada satu yang secara definit bisa dikatakan meningkatkan kemampuan hidup dari tumbuhan atau binatang yang terkena.” (Gish, The Fossil Record Still Says No, hal. 36, 37).
Bukan hanya Darwin salah besar mengenai adanya zat “gemmule,” tetapi kenyataan dari gen menghancurkan doktrin evolusinya.
Genetika modern telah mengajarkan kepada kita hal-hal berikut:
Pertama, ada potensi yang besar terjadinya variasi dan adaptibilitas dalam setiap jenis makhluk hidup, tetapi juga ada batasan-batasan yang tidak dapat dilewati antara jenis makhluk hidup yang berbeda. Kawin campur telah menghasilkan berbagai variasi anjing, tetapi tidak pernah melewati batasan itu sehingga menghasilkan sesuatu yang bukan anjing, atau bahkan setengah anjing dan setengah yang lain lagi. Berbagai jenis mawar telah dibudidayakan, tetapi mawar tidak pernah berubah menjadi jagung.
Kedua, mutasi genetik, bukannya bisa membawa kepada perubahan evolusi dari satu jenis ke jenis lainnya, justru adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, dan mayoritas besar bersifat merugikan.
Untuk membuktikan doktrinnya, Darwin memerlukan zat “gemmule,” tetapi apa yang ditemukan oleh keturunan rohani Darwin justru adalah sebaliknya. Genetika modern menghancurkan bukan hanya ide tentang gemmule, tetapi juga doktrin evolusi itu sendiri.
JARI KAKI EMBRIO
Dalam buku The Descent of Man, Darwin membuat pernyataan berikut:
“Jari kaki ibu, sebagaimana komentar Prof. Owen, ‘yang menjadi titik penopang ketika berdiri atau berjalan, barangkali adalah ciri khas yang paling menonjol dalam struktur manusia;’ tetapi dalam sebuah embrio, yang baru berukuran sekitar satu inci, Prof. Wyman menemukan bahwa ‘jari kaki ibu lebih pendek dari yang lainnya, dan bukannya paralel dengan jari kaki lain, justru mencuat dengan sudut tertentu dari samping kaki, jadi cocok dengan kondisi permanen dari quadrumana (Editor: nama divisi kera yang tidak dipakai lagi)’”
Darwin sedang mencoba untuk membuktikan bahwa manusia melewati tahapan-tahapan evolusi di dalam kandungan, tetapi dia salah total.
Shem Dharampaul, M.D., FRCPC, menelanjangi mitos ini:
“Embrio yang berukuran satu inci barulah berusia sekitar 9 minggu. Pada titik ini dalam perkembangannya, jari tangan dan jari kaki secara praktis sudah terpisah sempurna satu sama lain, dan mereka muncul dalam bentuk sama seperti di anak yang baru lahir. Dalam minggu-minggu sebelumnya, suatu tunas tungkai yang agak bundar mulai memanjang dan berubah menjadi paha, kaki, dan telapak kaki dari tungkai yang sudah berkembang penuh. Diskus bundar dan pipih yang adalah telapak kaki, mengalami beberapa perubahan morfologi yang dapat terlihat, sebagai hasil dari berbagai proses yang tidak kelihatan. Pada waktu sekitar minggu keenam, suatu proses yang belum dipahami penuh, yang disebut apoptosis (kematian sel yang diprogram), terjadi di jaringan yang terletak di antara jari-jari, sehingga jari-jari yang berkembang itu muncul. Pada awalnya, celah antara satu jari dengan lainnya pendek saja, dan jari-jari berbentuk kipas dengan lima kisi-kisi, dengan jari ketiga yang paling panjang karena berada di tengah dari lempengan kaki. Pernyataan bahwa ibu jari lebih pendek dari yang lainnya tidaklah benar. Bagaimanapun juga, panjang dari jari-jari ini tidak penting, karena ada variasi dalam panjang jari di antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda. Tambahan lagi, review terhadap berbagai gambar fetus berusia 9 minggu, memperlihatkan bahwa ibu jari kaki tidak mencuat ke samping kaki secara signifikan. …”
“Mengusulkan bahwa kaki manusia melalui suatu tahap perkembangan yang mencerminkan tahapan dewasa dari suatu quadrumana (suatu divisi kera dengan empat tangan yang tidak dipakai lagi), sama sekali tidak akurat….”(e-mail dari Dr. Dharapaul kepada David Cloud, 20 Desember 2010).
Sebuah gambar kaki embrio manusia pada usia 9 minggu, dibandingkan dengan kaki kera, membuktikan bahwa Darwin salah. Kaki kera selalu unik dengan bentuk keranya, yaitu ibu jari kaki yang mencuat ke samping, sementara kaki manusia selalu khas manusia.
Gambar-gambar dari buku teks kedokteran Before We Are Born (Keith L. Moore, 1989, hal. 235), memperlihatkan perkembangan tangan dan kaki manusia dalam rahim. Sangat jelas bahwa kaki manusia tidak mirip dengan kaki kera pada tahap manapun.
Darwin salah tentang jari kaki embrio manusia.
REKAPITULASI
Darwin percaya pada doktrin rekapitulasi, yang mengklaim bahwa sejarah evolusi terputar kembali dalam perkembangan embrio. Dia menyebut hal ini dalam bukunya On the Origin of Species, seperti berikut:
“Jadi, embrio akhirnya menjadi semacam gambar, yang dipertahankan oleh alam, akan kondisi kuno yang belum banyak berubah dari setiap binatang.“
“Embriologi berkembang pesat dalam hal ketertarikan, ketika kita melihat embrio sebagai suatu gambar, yang sedikit banyak agak kabur, tentang nenek moyang bersama dari setiap kelompok besar binatang.”
Rekapitulasi dikembangkan secara sepenuh-penuhnya oleh murid Darwin dari Jerman, Ernst Haeckel. Menurut teori rekapitulasi, setiap binatang mengulangi atau merekapitulasi keseluruhan sejarah evolusinya. Jadi, embrio manusia akan melewati berbagai tahapan, mulai dari satu sel tunggal, lalu menjadi ikan, lalu amfibi, lalu reptil, lalu mamalia, lalu kera, lalu manusia.
Haeckel merangkum “hukum” ini dengan semboyan “ontogeni merekapitulasi filogeni.” Ontogeni mengacu kepada pertumbuhan embrio, sementara filogeni mengacu kepada sejarah evolusi.
Haeckel “membuktikan” doktrin ini melalui suatu rangkaian embrio binatang yang ditaruh berjejer di samping embrio manusia dalam berbagai tahap perkembangannya.
Pengaruh dari gambar-gambar embrio tersebut sangat besar. Gambar ini telah muncul dalam tak terhitung banyaknya buku-buku teks dan museum-museum di seluruh dunia selama lebih dari satu abad. Carl Werner, M.D., bersaksi bahwa dia diperhadapkan dengan gambar embrio Haeckel di kelas pertamanya waktu dia masuk kedokteran tahun 1977, dan ini meyakinkan dia bahwa evolusi itu benar.
“Gambar-gambar ini sungguh meyakinkan bagi saya, terutama ‘fakta’ bahwa manusia pernah memiliki insang dan ekor. Setelah ceramah itu, saya menemukan diri saya dengan cepat menerima evolusi” (Evolution: The Grand Experiment, Vol. 2, hal. 2).
Masalahnya adalah bahwa teori rekapitulasi adalah penipuan sains.
Haeckel memalsukan gambar-gambar embrionya. Dia memberikan label yang salah kepada embrio-embrio; dia mengubah ukuran dari embrio-embrio; dia menghilangkan bagian-bagian tertentu dari embrio tertentu; dia menambahkan bagian tertentu; dia mengubah bagian tertentu. Haeckel juga tanpa takut-takut mengabaikan semua poin embriologi yang membuktikan pandangannya salah.
Penipuan embrio Haeckel sudah disingkapkan dari awal oleh Wilhelm His, Sr., profesor anatomi di Universitas Leipzig. Ludwig Rutimeyer, seorang profesor dari Universitas Basel, juga mengangkat masalah penipuan ini kepada perhatian universitas di Jena, tempat Haeckel bekerja. Rutimeyer menyebut gambar-gambar itu “suatu dosa terhadap kebenaran saintifik.” Walaupun disingkapkan seperti itu, Haeckel terus menjadi profesor di Jena selama 30 tahun dan terus mempromosikan penipuan evolusinya sebanyak yang dia bisa. Gambar-gambar embrio yang menipu itu terus dipublikasikan di buku-bukunya yang populer.
Pada tahun 1915, penipuan Haeckel dipublikasikan dalam buku Haeckel’s Frauds and Forgeries oleh Joseph Assmuth dan Ernest Hull, yang mengutip 19 otoritas, tetapi karya yang telah didokumentasikan dengan baik ini secara umum diabaikan oleh para ilmuwan dan pendidik Darwinis karena begitu semangatnya mereka mau membuktikan evolusi dan mempersalahkan Alkitab.
Pada akhir tahun 1990an, sebuah tim yang dipimpin oleh Michael Richardson, ahli embriologi di St. George’s Hospital Medical School, London, melakukan riset ekstensif atas embrio untuk menguji gambar-gambar Haeckel. Richardson mengumpulkan sebuah tim ilmuwan internasional yang memeriksa dan mengambil foto embrio-embrio dari 39 spesies yang berbeda pada tahap-tahap mereka yang berpadanan dengan yang terlukiskan pada gambar-gambar Haeckel. Richardson menyimpulkan bahwa Haeckel adalah “pembohong embrionik.” Dalam sebuah wawancara tahun 1997 dengan Nigel Hawkes, Richardson berkata,
‘INI ADALAH SALAH SATU KASUS PENIPUAN SAINS YANG PALING PARAH. Sungguh mengejutkan bahwa seseorang yang dianggap sebagai ilmuwan hebat ternyata secara sengaja menipu. Ini membuat saya marah … Apa yang dia [Haeckel] lakukan adalah mengambil embrio manusia dan menyalinnya, sambil berpura-pura bahwa salamander dan babi dan semua binatang yang lain kelihatan sama pada tahap perkembangan yang sama. Sebenarnya sama sekali tidak … Ini semua adalah palsu” (Nigel Hawkes interview with Richardson, The Times, 11 Agus. 1997, hal. 14).
Charles Darwin salah tentang rekapitulasi embrionik.
SELEKSI ALAM
Dalam buku On the Origin of Species, Darwin mengklaim bahwa seleksi alam adalah mekanisme utama evolusi. Dia mendefinisikan seleksi alam sebagai bertahan hidupnya yang paling kuat, jadi ditenggarai alam akan memelihara yang paling kuat dari suatu spesies, “menyeleksi” karakteristik-karakteristik yang paling cocok dan melenyapkan karakteristik-karakteristik yang tidak cocok, meneruskan karakteristik yang terpilih ini ke generasi-generasi selanjutnya. Dengan akumulasi sifat-sifat yang perlahan ini, misalnya paruh burung yang lebih keras yang lebih efektif untuk memecahkan buah, atau warna yang lebih cocok untuk memberikan samaran, Darwin berpikir bahwa seleksi alam dapat menciptakan makhluk-makhluk yang baru, sehingga seekor beruang bisa menjadi seekor paus (ini adalah “teori” evolusi paus milik Darwin) dan seekor dinosaurus reptil menjadi seekor burung (“teori” Thomas Huxley).
Darwin memberikan kualitas yang mirip ilahi kepada seleksi alam:
“Dapat dikatakan bahwa seleksi alam memperhatikan secara seksama setiap hari dan setiap jam, di seluruh dunia, setiap variasi, bahkan yang paling sedikit sekalipun; menolak yang buruk, mempertahankan dan menambahi yang baik: dengan sunyi dan tak terasakan bekerja, di manapun dan kapanpun ada kesempatan, untuk memperbaiki setiap makhluk organik dalam hubungannya dengan kondisi kehidupan yang organik dan inorganik” (Darwin, dikutip dari Phillip Johnson, Darwin on Trial, hal. 59, footnote 4). Dalam edisi-edisi belakangan, Darwin menambahkan kata “secara metafora.”
Tetapi telah menjadi jelas bagi sains bahwa seleksi alam tidak dapat menghasilkan tungkai, organ, ataupun makhluk yang baru, karena ilmu genetika modern telah membuktikan bahwa cetak biru untuk semua hal ini adalah DNA. Seleksi alam hanya dapat menyebabkan ciri-ciri genetika tertentu hilang atau terkocok; ia tidak dapat menciptakan apa-apa yang baru. Ia tidak dapat menghasilkan informasi yang baru pada level genetika. Sementara seleksi alam terkadang dapat menjelaskan “bertahan hidupnya” makhluk yang paling kuat, tetapi ia tidak dapat menjelaskan “asal usul” dari makhluk yang terkuat tadi.
Pada kenyataannya, Darwin sendiri akhirnya meragukan kemampuan seleksi alam, sebagaimana digambarkan oleh penulis biografi Darwin, Jacques Barzun:
“Dapat dikatakan bahwa Darwin sendiri segera mulai meragukan kemampuan universal dari seleksi alam. … Edisi-edisi Origin of Species yang selanjutnya mencoba untuk mengkoordinasikan keragu-raguan dan perubahan opini ini. … Dan dalam edisi revisi terakhir dari Descent of Man, ia harus mengekspresikan lagi keraguannya tentang faktor-faktor yang mengakibatkan evolusi. Ini adalah masalah melihat – sebagaimana Darwin akhirnya melihat – bahwa seleksi terjadi setelah ada perubahan yang baik: jadi seleksi alam tidak dapat menyebabkan apa-apa selain menghilangkan yang tidak fit, tetapi tidak bisa menghasilkan yang fit” (Darwin, Marx, Wagner, hal. 60, 61, 62).
Fakta bahwa Darwin salah tentang kemampuan seleksi alam menjadi jelas dari fakta bahwa para pengikutnya harus memodifikasi doktrinnya pada paruh pertama abad 20, dengan menambahkan mutasi genetika sebagai mekanisme yang dapat dipakai oleh seleksi alam. Tetapi sama sekali tidak ada bukti bahwa mutasi dapat menciptakan spesies yang baru. Mutasi menghilangkan informasi genetika dan mengocoknya dan merusakkannya; tetapi mutasi tidak menambahkan level-level kompleksitas yang baru, indah, dan terintegrasi baik.
Darwin salah tentang kemampuan dari seleksi alam.
EKSPERIMEN DARWIN MEMBIAKKAN BURUNG MERPATI
Darwin adalah seorang peternak ahli burung merpati, yang telah membiakkan variasi burung yang luar biasa banyaknya, dan dia menggunakan eksperimen pembiakkannya itu untuk membuktikan evolusi. Dia percaya bahwa perubahan-perubahan yang terjadi melalui seleksi manusia dapat terjadi juga di alam, melalui “seleksi alam” dan memberikan mekanisme untuk “asal usul spesies.”
Faktanya, eksperimen-eksperimen pembiakkan itu justru membuktikan doktrin Darwin salah. Apa yang dibuktikan oleh eksperimen-eksperimen itu adalah bahwa berbagai jenis tumbuhan dan binatang bersifat stabil dan bahwa ada batas yang absolut sampai sejauh mana perubahan bisa terjadi, bahkan ketika perubahan itu dilakukan oleh eksperimen yang intelijen. Darwin membiakkan banyak tipe merpati, tetapi pada akhirnya, semua yang ia dapatkan adalah merpati. Dia bahkan tidak bisa menghasilkan spesies burung yang berbeda, jangankan jenis binatang yang berbeda.
Dia sendiri sebenarnya mengakui hal ini, ketika berkata,
“Tidak ada juru biak yang meragukan bahwa tendensi yang ada adalah tendensi pewarisan: yang sejenis akan menghasilkan yang sejenis, itu adalah kepercayaan dasarnya” (On the Origin of Species, hal. 457).
Kepercayaan yang mendasar ini didasarkan pada observasi sains.
Eksperimen atas lalat buah, yang dimulai pada awal abad 20, telah menghasilkan berbagai jenis lalat buat termutasi dan cacat, tetapi selama waktu ini yang ekivalen dengan jutaan tahun mutasi, lalat buah tetap saja lalat buah, dan tidak ada bukti bahwa mutasi genetika dapat menghasilkan makhluk yang baru.
Doktrin Charles Darwin bahwa evolusi terbukti melalui eksperimen kawin campur yang selektif, adalah kesalahan yang parah dan suatu blunder saintifik.
LAMARKISME
Charles Darwin percaya pada doktrin tentang karakteristik yang didapatkan sebagaimana diajarkan oleh ilmuwan Perancis Jean-Baptiste Lamark. Menurut “teori” ini, jika suatu makhluk hidup mendapatkan suatu ciri atau karakteristik, maka ciri atau karakteristik yang didapatkan itu akan diteruskan kepada keturunannya. Contoh klasik yang diberikan untuk teori ini adalah jerapah. Lamark percaya bahwa jerapah mengembangkan lehernya yang panjang dengan cara merentangkannya untuk menjangkau cabang-cabang pohon yang semakin tinggi, dan menurunkan ciri ini kepada anak-anaknya.
“Saya rasa tidak diragukan lagi bahwa penggunaan binatang-binatang peliharaan kita dengan cara tertentu akan memperkuat dan memperbesar daerah tertentu, dan kalau tidak dipakai akan mengecilkan daerah-daerah itu; dan bahwa modifikasi seperti ini diturunkan” (On the Origin of Species).
Darwin mengira bahwa otot-otot yang menjadi besar karena latihan, seperti oleh pekerjaan tukang besi misalnya, akan diturunkan kepada generasi selanjutnya.
“Teori” tentang karakteristik yang didapatkan ini juga disebut sebagai hukum pakai dan tidak pakai. Darwin mengira bahwa jika beruang berenang di air kebanyakan waktunya, dan tidak memakai kaki belakang mereka untuk berjalan, maka kaki itu lambat laun akan hilang, yang adalah langkah yang diperlukan dalam proses beruang berevolusi menjadi paus.
Darwin tidak pernah melepaskan dukungannya terhadap Lamarkisme. Enam belas tahun setelah menerbitkan buku On the Origin of Species, Darwin menyatakan hal berikut ini dalam suratnya kepada sepupunya Francis Galton (pencetus eugenics):
“Jika hal ini mengimplikasikan bahwa banyak bagian tidak termodifikasi melalui penggunaan maupun penelantaran selama hidup suatu individu, saya sangat berbeda pendapat denganmu, karena setiap tahun saya semakin bergantung kepada cara kerja yang demikian.”
Teori Darwin tentang karakteristik yang didapatkan telah terbukti salah melalui eksperimen-eksperimen Frederick Mendel dan August Weisman. Carl Werner, M.D., berkata:
“Kita kini mengetahui bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam sel-sel tubuh binatang yang multiseluler, seperti kuda, tidak dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya. Ini karena sel-sel tubuh (sel kulit atau sel otot misalnya) tidak memiliki pengaruh terhadap DNA yang ada di dalam sel-sel reproduksi (telur dan sperma). Hanya gen yang ada dalam sel-sel reproduksi yang diteruskan ke generasi selanjutnya. …”
“Hukum penelantaran sudah dipatahkan pada tahun 1889, melalui eksperimen ilmuwan August Weisman memotong ekor. …Dia berpikir bahwa jika dia memotong ekor tikus selama 20 generasi berturut-turut, tikus-tikus itu pada akhirnya akan terlahir tanpa ekor. Tetapi tidak peduli berapa banyak pun ekor yang dia potong, bayi-bayi tikus selalu lahir dengan ekor. Melalui eksperimennya ini, Weisman membuktikan konsep penelantaran (yang diturunkan) adalah salah” (Evolution: The Grand Experiment, Vol. 1, hal. 24, 30).
Darwin salah tentang doktrin karakteristik yang didapatkan.
EKOR BURUNG MERAK ADALAH HASIL SELEKSI SEKSUAL
Dalam usaha untuk menjelaskan bulu ekor burung merak yang luar biasa, Darwin dan para pengikutnya berpaling kepada mitos tentang seleksi seksual, dan ini telah menjadi semacam icon. Sebagai contoh, Biology: The Dynamics of Life, sebuah buku teks yang diterbitkan oleh Merrill, 1991, menyatakan,
“Burung merak memiliki adaptasi perilaku yang sangat jelas untuk menarik pasangan”(hal. 210).
Tetapi, ada banyak masalah yang berat bagi doktrin ini.
Pertama, hal ini dari awalnya adalah asumsi yang tidak memiliki sedikit pun bukti ilmiah untuk mendukungnya.
Kedua, doktrin ini tidak dapat menjelaskan bagaimana fitur yang sedemikian indah dan kompleks ini bisa muncul pertama kalinya.
“Penjelasan yang umumnya diberikan adalah ‘seleksi seksual’, yaitu gen-gen untuk suatu struktur diturunkan secara preferensial karena lawan jenis menyukai struktur tersebut ketika memilih pasangan. Namun, hal ini tidak menjelaskan asal usul mutasi yang terkoordinir sedemikian tepat yang harus terjadi untuk dapat membentuk ekor itu, belum lagi masalah mengapa burung betina akan menyukai keindahan dan bagaimana mereka bisa menyeleksi hal tersebut. Jadi, sangatlah dapat dipahami bahwa bahkan sebagian evolusionis kini berbicara mengenai akumulasi berbagai ‘masalah fatal’ bagi teori seleksi seksual, mengacu kepada berbagai studi kasus yang memperlihatkannya ‘selalu salah’ dan oleh karena itu ‘perlu diganti’ (Roughgarden, J., Oishi, M. and Akcay, E. “Reproductive social behavior: cooperative games to replace sexual selection,” Science 311 (5763):965-969, 2006, and Catchpoole, D., “Peacock poppycock?” Creation 29 (2): 56, 2007; creationtheweb.com/poppycock).
Ketiga, riset telah menemukan bahwa burung merak betina tidak memiliki ketertarikan yang signifikan terhadap bulu ekor merak jantan.
“Sungguh, riset baru telah secara empiris menjatuhkan teori ini, dengan menunjukkan bahwa burung merak betina tidak terpukau oleh pertunjukan merak jantan, dan mereka lebih peduli kepada suara panggilan kawinnya. Para peneliti merangkum studi mereka selama tujuh tahun:
‘Kami tiak menemukan bukti bahwa merak betina menunjukkan preferensi apapun terhadap merak jantan dengan ekor yang lebih indah (yaitu ekor yang memiliki lebih banyak ocelli, yang polanya lebih simetris atau yang lebih panjang), mirip dengan studi-studi lain atas galliform menunjukkan bahwa yang betina tidak mempedulikan bulu yang jantan. Dikombinasikan dengan hasil kami yang pertama, penemuan ini mengindikasikan bahwa ekor merak jantan (1) bukanlah target universal dari pilihan betinanya, (2) memperlihatkan variasi yang sedikit saja di antara populasi jantan dan (3) berdasarkan pemahaman fisiologis kita sekarang, tidak secara mantap merefleksikan kondisi jantannya” (Takahashi, M. et al. “Peahens do not prefer peacocks with more elaborate trains,” Animal Behavior 2007, dio-10, 1016/j.anbehav.2007.10.004).
Laporan lain lagi tentang riset ini mencatat:
“Bulu ekor pada merak jantan adalah salah satu atribut fisik yang paling menakjubkan dan indah dalam alam, tetapi ia gagal untuk menarik perhatian, apalagi membuat tergila-gila, merak betina, demikian kata riset terbaru. Penemuan ini mengacaukan kepercayaan yang telah lama berkembang bahwa bulu merak jantan berevolusi sebagai respons dari pemilihan pasangan betinanya. Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa fitur-fitur kompleks lainnya dalam kelompok galliform, yaitu kelompok binatang yang meliputi kalkun, ayam, belibis, puyuh, dan burung pegar, bersama dengan merak, bisa jadi tidak berhubungan dengan kebugaran dan kesuksesan kawin” (Viegas, J., “Female Peacocks Not Impressed by Male Feathers,” Discovery News, March 26, 2008; discovery.com/news/2008/03/26/peacock-feathers-females.html).
Para peniliti ini bukan sengaja mau menentang apa yang Darwin katakan. Sebaliknya, mereka awalnya berharap dapat mengkonfirmasikannya.
Jadi, “teori” Charles Darwin tentang seleksi seksual adalah salah dan gagal untuk menjelaskan hal yang ingin dia jelaskan melalui teori ini (Jonathan Sarfati, By Design, hal. 60, 61).
Setiap mekanisme yang Darwin ajukan sebagai kuasa kreatif untuk menimbulkan evolusi (misal seleksi alam, seleksi seksual, Lamarkisme, gemmule), semuanya telah terbantahkan.
MANUSIA-MANUSIA GUA FUEGIAN
Darwin mengunjungi orang Indian Fuegian di Tierra del Fuego, di ujung selatan dari Amerika Selatan, dan merasa bahwa mereka sangat “primitif.” Dia percaya bahwa bahasa mereka hanya terdiri dari 100 bunyi yang berbeda (Michael Pitman, Adam and Evolution, hal. 240). Orang-orang ini dianggap sisa-sisa “manusia gua” pre-historik oleh Darwin dan para pengikutnya. Bagi Darwin, kaum Fuegian ini lebih dekat dalam sifatnya kepada binatang daripada manusia:
“Saya tidak bisa percaya betapa lebar perbedaan antara orang-orang biadab ini dengan manusia yang berbudaya; lebih besar bedanya daripada antara binatang liar dan binatang peliharaan, karena dalam manusia ada kemungkinan untuk perbaikan yang lebih besar … Perbedaan antara seorang Tierra del Fuegian dan seorang Eropa lebih besar daripada antara seorang Tierra del Fuegian dan seekor binatang” (Darwin, cited from V. Barclay, Darwin Is Not for Children, 1950).
Hal ini dibuktikan salah oleh misionari Inggris, Thomas Bridges, yang tinggal di antara mereka.
“Dia menemukan bahwa orang-orang asli di sana bersifat moral, baik hati, dan sangat sosial. Mereka menghormati kehidupan keluarga dan bukanlah kanibal. Mr. Bridges menguasai bahasa suku tersebut. Dia membuat suatu kamus yang tidak menyeluruh, tetapi memuat 32.000 kata dan bunyi. Kosa kata mereka kaya dan berbagai konstruksi grammar muncul” (Pitman, hal. 241).
Darwin salah tentang kaum Fuegian.
UNIFORMITARIANISME
Darwin termakan habis oleh doktrin uniformitarian geologi yang dikembangkan oleh Charles Lyell. Menurut doktrin ini, lapisan-lapisan geologis yang berturut-turut, mewakili jutaan tahun penumpukan yang perlahan-lahan. Lyell mengatakan “Masa kini adalah kunci untuk masa lalu,” maksudnya bahwa fitur-fitur di dunia semuanya dapat dijelaskan berdasarkan proses-proses yang dapat diobservasi sekarang ini (penumpukan perlahan-lahan) dan tidak memberi ruang adanya bencara masa lalu yang berperan vital dalam membentuk permukaan bum. Darwin dengan antusias menerima prinsip Lyell, dan mengatakan bahwa Lyell telah “menghasilkan suatu revolusi dalam ilmu alam.”
Sampai dengan pertengahan abad 20, uniformitarianisme sudah mulai ditinggalkan. Pada tahun 1988, Davis Young menulis,
“Komunitas geologi telah meninggalkan uniformitarianisme substantif sejak lama” (Christianity and the Age of the Earth, hal. 142).
Uniformitarinisme semakin mendapat serangan hari ini dari bukti-bukti yang semakin bertambah bahwa fitur-fitur yang tadinya dianggap memerlukan ribuan atau bahkan jutaan tahun untuk terjadi, ternyata dapat terjadi dengan cepat.
Sedimentasi
Guy Berthault melakukan eksperimen laboratorium yang ekstensif untuk mendemonstrasikan bahwa sedimen-sedimen secara alami dan cepat akan membentuk lapisan-lapisan ketika berada dalam air yang bergerak cepat dan bahwa sedimen ini akan tersortir dengan cara yang sama yang ditemukan di “kolum geologis.” Hasil dari riset ini diterbitkan pada akhir 1980an dan diajukan kepada National Congress of Sedimentologists di Brest tahun 1991 (Richard Milton, Shattering the Myths of Darwinism, hal. 77).
Pekerjaan laboratorium ini disuplementasi oleh observasi lapangan dari Gunung St. Helens dan tempat-tempat lain, memberikan bukti bahwa fenomena-fenomena seperti pembentukan ngarai, yang dulunya dipikir membutuhkan ribuan bahkan jutaan tahun, dapat terjadi dalam hitungan hari, bahkan jam.
Stalagmit
Dulu dipikir bahwa stalagmit terbentuk secara sangat lambat, dan bahwa in imembuktikan usia tua dari berbagai gua. Bahkan, stalagmit dipakai sebagai icon evolusi selama puluhan tahun. Sekarang sudah diketahui bahwa stalagmit dapat terbentuk dengan sangat cepat. “Di Gua-Gua Sequioa, stalaktit yang dilindungi terpisah dari turis, bertumbuh 10 inci atau 1 inci / tahun dari 1977-1987. Dengan laju seperti ini, mereka bisa mencapati 100 meter hanya dalam 3600 tahun” (http://creationwiki.org/Stalactites_and_Stalagmites).
Pohon-Pohon yang Membatu
Juga telah dipahami bahwa kayu bisa menjadi batu secara cepat dan formasi-formasi seperti yang di Petrified Forest National Park di Arizona tidak harus terbentuk melalui waktu yang panjang sekali, sebagaimana diperkirakan dulu (Andrew Snelling, Earth’s Catastrophic Past, Vol. 2, hal. 958).
Batubara
Kaum evolusionis telah sejak lama menggunakan cadangan batu bara yang banyak tersebar di seluruh bumi sebagai bukti dari usia bumi yang tua, karena dipercaya bahwa jutaan tahun diperlukan untuk membentuk batu baru. Namun, kini telah didemonstrasikan secara ilmiah bahwa asumsi ini salah (Snelling, Earth’s Catastrophic Past, Vol. 2, hal. 584-586).
Ngarai dan Stratifikasi
Ledakan Gn. St. Helens di tahun 1980 dan transformasi daerah di sekitarnya yang sangat dramatis setelah itu, telah menyediakan suatu laboratorium alami untuk mempelajari pembentukan ngarai dan stratifikasi. Sebuah ngarai dengan kedalaman 700 kaki (sekitar 240 meter), dan panjang beberapa mil, terukir (di beberapa tempat bahkan ke dalam dasar batu) oleh aliran lumpur yang keras. Ada satu seri ngarai yang berukuran seperempatpuluh Grand Canyon di Arizona, dengan masing-masing ngarainya berkedalaman hingga 140 kaki (hampir 50 meter), dengan tebing yang curam yang naik ke atas hingga hampir 100 kaki (30an meter) (Earth’s Catastrophic Past, Vol. 2, hal. 718). Ledakan itu juga menimbulkan terbentuknya hingga 600 kaki (200 meter) strata, yang terjadi karena longsor, air mengalir dari Danau Spirit, aliran pyroclastic, aliran lumpur, angin, dan semburan air.
Sangat jelas bahwa ngarai-ngarai besar dan stratifikasi-stratifikasi besar dapat terjadi dengan sangat cepat dan tidak diperlukan jutaan tahun untuk pembentukan hal-hal ini.
Model uniformitarianisme juga telah dilemahkan oleh teori-teori evolusi yang baru bahw dunia telah menyaksikan rangkaian bencana global, misalnya bencana yang katanya memunahkan dinosaurus. Bagian fosil dari Field Museum di Chicago, diatur dan dipresentasikan dalam rangkaian enam “kepunahan massal” yang katanya menghilangkan hampir semua bentuk kehidupan. Katanya peristiwa-peristiwa ini disebabkan oleh hal-hal seperti, benua yang bergeser, aktivitas gunung berapi, meteor, dan “pemanasan global.”
Jika kepunahan massal disebabkan oleh peristiwa-peristiwa global yang dramatis, maka jelaslah bahwa pandangan uniformitarianisme yang awal itu salah secara mendasar, tetapi justru inilah doktrin yang menyebabkan para ilmuwan menolak Alkitab pada awalnya! Fakta bahwa mereka tidak mau mengakui suatu kesalahan besar telah dilakukan dan bahwa Alkitab perlu dipertimbangkan ulang, adalah bukti bahwa kita bukan berhadapan dengan ilmu pengetahuan yang rasional dan empiris, tetapi dengan agama yang dibungkus sebagai ilmu pengetahuan.
Darwin salah mengenai uniformitarianisme.
CATATAN FOSIL
Darwin tahu bahwa catatan fosil, yang tersedia pada zamannya, tidak mendukung doktrinnya tentang “modifikasi keturunan,” karena dia tahu bahwa seharusnya ada tak terhitung banyaknya fosil-fosil bentuk intermediat antara satu spesies ke spesies lain.
“Beberapa kesulitan yang dibahas di sini, yaitu bahwa kita tidak menemukan dalam formasi-formasi yang berurutan, sejumlah besar mata rantai transisional antara berbagai spesies, yang kini ada atau yang pernah ada; lalu bagaimana kelompok-kelompok spesies muncul secara tiba-tiba dalam formasi-formasi Eropa kita ini; hampir tidak adanya, sejauh kita tahu sekarang, formasi fosil di bawah strata Silurian, semuanya adalah kesulitan yang sangat memberatkan. Kita melihat ini dengan sangat jelas dari fakta bahwa semua paleontologis yang terkenal, yaitu Cuvier, Owen, Agissiz, Barrande, Falconer, E. Forbes, dll, dan semua geologis besar kita, seperti Lyell, Murchison, Sedgwick, dll., telah secara serentak, terkadang dengan gigih, mempertahankan immutabilitas spesies” (On the Origin of Species, hal. 646, 647).
Darwin yakin bahwa jawaban terhadap dilema ini adalah karena catatan fosil pada zaman dia belum lengkap.
“Tetapi, kalau menurut teori ini begitu banyak bentuk transisi seharusnya eksis, mengapa kita tidak menemukan mereka tertanam dalam jumlah yang tak terhitung di permukaan bumi? … Saya percaya jawabannya terutama adalah karena catatan kita masih jauh dari kondisi ideal yang biasanya dikira” (On the Origin of Species, hal. 560)
Darwin percaya bahwa riset-riset selanjutnya akan mendukung doktrinnya, tetapi faktanya berlawanan, sebagaimana diakui oleh banyak evolusionis.
Dalam buku The Myths of Human Evolution, Niles Eldredge dan Ian Tattersall dari American Museum of Natural History, membuat pengakuan berikut ini:
“Harapan standar kita tentang evolusi – kemajuan yang perlahan, bertahap, dan berubah seiring waktu yang panjang – sungguh adalah suatu mitos … JIKA PERNAH ADA YANG NAMANYA MITOS, INI ADALAH MITOS, YAITU BAHWA EVOLUSI BERARTI PROSES PERUBAHAN KONSTAN. DATA, ATAU OBSERVASI MENDASAR, ATAU BIOLOGI EVOLUSIONARIS PENUH DENGAN PESAN KESTABILAN. Perubahan sulit terjadi dan jarang terjadi, bukan sesuatu yang pasti dan terjadi terus menerus. Begitu berevolusi, spesies dengan adapatasi, perilaku dan sistem genetika mereka sendiri, sangatlah konservatif, dan sering tidak berubah lagi selama jutaan tahun” (The Myths of Human Evolution, hal. 2, 3).
“Darwin, terusik oleh catatan fosil yang keras kepala karena tidak mau memberikan banyak-banyak contoh perubahan gradual, mengkhususkan dua bab (bukunya) tentang catatan fosil. Untuk mempertahankan argumennya, dia terpaksa menyatakan bahwa catatan fosil terlalu tidak lengkap, terlalu penuh lobang, untuk memberikan pola perubahan yang dia harapkan. Dia bernubuat bahwa generasi paleontologis masa depan akan mengisi lobang-lobang ini melalui pencarian yang teliti dan kemudian thesis besar dia – bahwa perubahan evolusi terjadi secara gradual dan progresif – akan terbukti benar. Setelah melalui seratus dua puluh tahun riset paleontologis setelah itu, kini menjadi sangat jelas bahwa catatan fosil tidak akan pernah mengkonfirmasi prediksi Darwin yang satu ini. DAN MASALAHNYA BUKANLAH CATATAN FOSIL YANG MISKIN. CATATAN FOSIL HANYA MENYATAKAN BAHWA PREDIKSI INI SALAH. Pengamatan bahwa spesies adalah entitas yang sangat konservatif dan statis selama periode waktu yang lama, mirip dengan baju kaisar yang baru: semua orang mengetahuinya tetapi mengabaikannya. Para paleontologis, diperhadapkan dengan catatan yang tidak bersahabat, dengan keras kepala tidak mau melepaskan pola yang diprediksi oleh Darwin, sebaliknya memalingkan muka. …Barulah belakangan ini sejumlah paleontologis yang substansial meniup peluit mereka dan mulai melihat apa implikasi evolusi dari pola ketidakberubahan – stabilitas – di dalam spesies, yang mendominasi catatan fosil tentang kehidupan. …PREDIKSI DARWIN TENTANG PERUBAHAN YANG TERLIHAT DI MANA-MANA, WALAUPUN PERLAHAN, YANG MEMPENGARUHI SEMUA GARIS KETURUNAN SUDAH TERBANTAH. Catatan fosilnya tersedia, dan catatan itu berbicara mengenai konservatisme anatomis yang sangat kuat. …SPESIES BERSIFAT STABIL DAN TERPISAH SATU SAMA LAIN, BAIKM DALAM WAKTU MAUPUN DALAM RUANG” (hal. 46, 48).
Eldredge dan Tattersall, yang bekerja di salah satu museum alam terbesar di dunia, museum yang penuh dengan fosil, mengakui bahwa Darwin telah dibantah oleh catatan fosil. Mereka berbicara mengenai perlunya “meniup peluit” atas orang-orang yang berkata sebaliknya.
Walaupun berkata-kata demikian, orang-orang ini dan teman-teman mereka yang membuat pengakuan serupa (seperti almarhum Stephen Jay Gould) tetaplah pada posisi Darwinis. Website pribadi Niles Eldredge, memperlihatkan dia sedang beridir di depan foto besar Charles Darwin di bagian Ekshibisi Darwin di museum it. Walaupun mengakui bahwa spesies “muncul secara tiba-tiba” dan misterius, dan berlanjut tanpa perubahan signifikan selama “jutaan” tahun, dan mengakui bahwa mekanisme Darwin tidak dapat menjelaskan kehidupan, orang-orang ini tetap menjadi musuh sengit dari bentuk creationisme atau “intelligent design” manapun.
Mereka mengklaim diri ilmuwan yang berdedikasi “hanya kepada fakta-fakta,” tetapi mereka ternyata tidak bisa tetap pada “ilmu” empiris yang riil. Mereka terus menerus masuk ke metafisika dan dengan demikian memaparkan bahwa “ilmu” mereka juga adalah agama mereka.
Darwin juga mengklaim bahwa catatan fosil tidak mempreservasi detil-detil dari binatang purba. Dalam On the Origin of Species dia mengatakan, “Tidak ada organisme yang sepenuhnya lunak yang bisa tersimpan.”
Pada kenyataannya, catatan fosil mengandung sejumlah besar makhluk dan struktur “bertubuh lunak”, termasuk fosil ubur-ubur, telur ikan, sisik, kulit dan fiber otot, engsel rapuh dari moluska bivalvia, bahkan fosil bakteria yang mikroskopik. Dalam kasus-kasus tertentu, insang ikan terpelihara sedemikian rupa sehingga pembuluh darah arteri dan venanya masih utuh. Di lapisan-lapisan lignite di Geiseltal, Jerman, jamur telah teridentifikasi di daun-daun dan klorofil yang terpelihara. Mata majemuk milik trilobite telah terfosilisasi sedemikian mendetilnya sehingga para ilmuwan dapat mempelajarinya secara mikroskopik untuk menentukan bahwa sebagian makhluk-makhluk ini memiliki 15.000 lensa pada satu mata.
Darwin sangat salah mengenai catatan fosil dan sejumlah hal lainnya.