(Berita Mingguan GITS 27 Agustus 2016, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari “Homeschooling is the smartest way to teach kids in the 21st century,” Business Insider, 20 Agus. 2016: “Alison Davis tidak melihat homeschooling sebagai suatu alternatif yang aneh dari sekolah tradisional. Bahkan, kata ibu dari kota Williamstown, New Jersey tersebut, ketika membesarkan kedua anaknya, dia melakukan hal yang masuk akal. ‘Seseorang tidak akan masuk ke dunia kerja yang semua orang berasal dari sekolah yang sama dan semua orang berusia sama,’ kata dia kepada Business Insider. ‘Menurut pendapat saya, atmosfir sekolah tradisional tidak sama dengan dunia nyata sama sekali.’ ‘Homeschooling,’ katanya, ‘itulah dunia nyata.’ Kini semakin banyak orang tua di AS yang sama seperti Davis, menemukan kepuasan dalam mempertahankan anak-anaknya di luar dari sekolah publik dan sekolah privat, sesuai dengan data terbaru yang dikumpulkan oleh Departemen Pendidikan bahwa homeschoolilng bertumbuh 61,8% dalam 10 tahun terakhir, sampai kini dua juta anak – 4% dari populasi muda – kini belajar dari kenyamanan rumah mereka sendiri. Bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa homeschooling menghasilkan orang-orang anti-sosial yang tidak bisa masuk masyarakat, kenyataannya adalah bahwa sebagian murid-murid yang paling berprestasi dan paling seimbang sedang mempelajari soal-soal matematika dari meja makan, bukan di meja sekolah. Menurut riset pegagogi (pendidikan anak) yang terbaru, pengajaran di rumah bisa jadi adalah yang paling relevan, bertanggung jawab, dan efektif, untuk mendidik anak di abad 21.
Davis mengatakan bahwa putranya, Luke, kesulitan membaca pada awalnya. Bahkan sampai memasuki kelas dua, dia tidak menikmati membaca dan merasa kesulitan. Di sekolah lain, guru-guru bisa jadi tidak akan memiliki waktu untuk membantu Luke secara khusus karena mereka harus memperhatikan 20 anak lain juga. Tetapi tidak demikian di keluarga Luke. ‘Saya bisa menghabiskan waktu ekstra dengan dia,’ kata Davis. Plus, waktu membaca menjadi lebih dari sekedar usaha membuat Luke melek huruf; itu juga menjadi waktu perekatan hubungan Mommy-Luke – sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh sekolah formal. ‘Sekarang, dia menghabiskan buku dalam sekejap, bisa dalam satu minggu atau kurang,’ katanya. Efek jangka panjang dari pendidikan yang dipersonalisasikan juga besar. Menurut sebuah studi tahun 209 tentang ujian standar, anak-anak yang dididik homeschool, rata-rata nilainya ada pada persentil 86. Hasil ini tetap berlaku setelah mempertimbangan variabel kontrol seperti tingkat pemasukan, pendidikan, kemampuan mengajar orang tua, maupun tingkat regulasi dari negara bagian. Riset juga mengindikasikan bahwa anak-anak homeschool lebih sering berhasil masuk ke perguruan tinggi dan berprestasi lebih tinggi di dalam perguruan tinggi.
Stereotip terbesar yang berkenaan dengan homeschool adalah bahwa pengajaran satu-banding-satu yang terjadi akan membuat anak kekurangan sosialisasi yang mereka butuhkan untuk berkembang. Tetapi tidak demikian. Anak-anak homeschool sama dengan anak-anak lain bisa bermain sepak bola dan melakukan proyek grup dengan murid lain. Keluarga Davis terlibat aktif dalam gereja lokal mereka, jadi Luke dan kakaknya Amanda memiliki teman di paduan suara. Mereka keduanya memainkan instrumen musik, jadi mereka punya teman di kelompok orkestra homeschool. … Anak-anak homeschool bukan hanya dapat menikmati berbagai hal positif; tetapi mereka juga tidak perlu mengalami banyak hal negatif yang sering terjadi di sekolah formal – misalnya peer-pressure (tekanan dari teman-teman) dan pembentukan grup/gang/kelompok sendiri. Dalam beberapa kesempatan, kata Alison, anak-anak lain menyatakan mereka cemburu bahwa Luke dan Amanda bisa belajar di rumah, lepas dari hirarki sosial di sekolah mereka.”
Bagaimana dalam konteks negara kita? Tidak semua orang bisa mengerti konteks keluarga negara asing. Terimakasih. Tuhan Yesus memberkati.
Di Indonesia, homeschooling belum memiliki sejarah seperti di AS, tetapi sudah mulai. Saya sendiri mendidik anak-anak dengan cara homeschooling.
Program Paket A, Paket B, dan Paket C yang disedikan pemerintah bisa dipakai sebagai ujian penyaaman.
Sayangnya masih ada stigma orang yang memegang ijazah persamaan tersebut. Misalnya sulit masuk universitas (utamanya negeri) atau sekolah tinggi lainnya seperti perguruan tinggi kedinasan (akmil, akpol, AAL, AAU, STIP, STPI, dll)
Meski saya pernah dengar beberapa PTS mau saja menerima lulusan homeschool seperti contohnya UPH.
Ya, memang bisa ada stigma. Tetapi stigma itu bisa perlahan hilang.
Lagipula, anak homeschooling bisa juga mengikuti ujian persamaan luar negeri, misalnya, sistem Singapura, sistem Inggris, yang banyak mulai tersedia untuk diikuti di Indonesia ini.
Satu hal lagi, menurut saya (koreksi jika saya salah) dalam konteks Indonesia homeschooling relatif lebih “viabel” di kota2 besar atau ibukota provinsi (infrastruktur yg belum merata di seluruh Indonesia).
Apa opini anda? Tuhan memberkati.
Ya dan tidak. Homeschooling justru tidak butuh “infrastruktur” yang khusus seperti ruang kelas, dll, melainkan bisa dilakukan di kenyamanan rumah sendiri. Tetapi, memang benar bahwa semakin keluarga itu memiliki akses ke berbagai materi, itu lebih baik. Tapi dengan adanya internet, sudah terjadi pemerataan yang luar biasa, satu-satunya yang sulit bagi daerah terpencil mungkin adalah akses ke buku-buku tertentu.
Mungkin di negeri ini satu2nya hal yg tdk bs dilakukan anak HS adalah ikut olimpiade sains nasional dan internasional (misalnya anak tsbt dgn kerajinannya setelah diuji cocok masuk contohnya “brilliant class” maaf sebut merek). Apa opini anda?
Ya, salah satu kelemahan homeschool mungkin adalah lebih sulit untuk masuk ke kegiatan kelompok atau kompetisi yang terkadang hanya dibuka bagi sekolah formal. Tetapi tidak berarti absolut tidak bisa. Juga, jika semakin banyak homeschooler, dan semakin masyarakat melek tentang hal ini, jalan akan semakin terbuka. Di Amrik, pemenang lomba Spelling Bee nasional biasanya dari kaum homeschool.
Apakah anda sebenarnya percaya, secara biblikal, bahwa pendidikan itu bukan domain pemerintah? Saya percaya rata2 keluarga HS apalagi di Amerika memiliki motivasi untuk meminimalkan peran negara yang banyak dianggap sudah melebihi batas.
Di dalam Alkitab, peran pemerintah sebenarnya adalah menegakkan keadilan (lihat Roma 13), dan ini cocok dengan mandat pemerintah waktu pertama kali dibentuk oleh Tuhan di Kejadian 9, yaitu membalaskan manusia yang jahat (orang yang menumpahkan darah akan ditumpahkan darahnya oleh manusia). Mendidik anak, di dalam Alkitab, selalu adalah tanggung jawab orang tua (lihat Amsal, Ulangan 6, dsb). Orang tua bisa menggunakan alat-alat untuk menolong dalam hal ini, termasuk sekolah, tetapi orang tua juga bisa melakukannya sendiri.
Dan bagaimana keadaan pendidikan di Indonesia menurut bapak dan apa hubungannya dengan keunggulan homeschool? Tuhan memberkati
Keunggulan homeschooling ada banyak. Saya hanya akan beri beberapa saja.
1. Secara rohani: Orang tua bisa lebih mengawasi apa yang menjadi input terhadap anak. Orang tua bisa memfilter informasi apa yang layak anak dapatkan pada usia yang sesuai. Orang tua sebagai guru memberikan pelajaran agama/Alkitab yang cocok dengan paham orang tua. Orang tua membahas topik-topik seperti evolusi, seks, kekerasan, dll, sesuai dengan paham mereka dan pada waktu yang sesuai, bukan anaknya dapat dari gosip sesama teman atau majalah porno yang diedarkan di ruang kelas.
2. Secara akademis: Orang tua bebas mengikuti kurikulum yang mereka anggap paling baik untuk anak. Orang tua bisa membuat kurikulum yang sesuai dengan kekuatan/kelemahan anak mereka. Pengajaran yang one-on-one. Orang tua memastikan anak benar paham pelajaran, bukan mengejar materi sehingga anak yang 90% tidak paham harus les lagi setelah sekolah. Orang tua bisa menghabiskan waktu lebih untuk bagian yang lemah bagi anak. Orang tua biasanya bisa lebih care pada anak daripada guru.
3. Secara keluarga: Orang tua lebih kenal anaknya. Orang tua menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak, lebih banyak aktivitas keluarga bersama, lebih efektif menghindari anak-anak yang akan tumbuh besar memberontak, tidak respek orang tua, atau berada di dunia sendiri tanpa orang tuanya ikut campur. Kakak adik juga menjadi teman baik, bukan musuh.
4. Secara ekonomi: Biasanya lebih murah dibandingkan dengan sekolah (apalagi sekolah elit), dengan hasil akademis yang sama / lebih dengan sekolah elit. Uang lebih bisa dipakai untuk jalan-jalan akademis keluarga ke museum, field-trip, dll.
5. Secara umum: Jadwal keluarga lebih fleksibel, jadwal liburan lebih fleksibel, jalan-jalan bisa menghindari high-season. Tidak perlu menghabiskan waktu untuk antar jemput ke sekolah.
Ada banyak situs-situs homeschooling yang bisa memberikan daftar yang lebih komprehensif lagi.
Informasi menarik, tetapi belum menjawab pertanyaan saya apa hubungannya “bagusnya” HS dengan masalah pendidikan di negara kita. Karena perlu diingat situasi di Indonesia tidak sama dengan Amerika.
Field trip, sayangnya izinnya harus rombongan apalagi jika fieldtripnya pabrik (apapun tergantung minat si anak, elektronik, pangan, pertahanan, tekstil, dll)
Field trip itu terserah kreativitas dan kesempatan yang bisa ditemukan oleh guru/orang tua.
Mengenai hubungan kebaikan Homeschooling (HS) dengan sistem pendidikan nasional, saya tidak melihat ada hubungan langsung, tetapi hubungan tidak langsung, antara lain:
1. Anak-anak Homeschooling bagaimana pun termasuk ke dalam pendidikan suatu negara (pendidikan bisa dibagi menjadi formal, semi-formal, homeschooling, dll). Jadi, jika sekian persen (yaitu persentase homeschooling) anak-anak murid di suatu negara semakin maju, berarti mendorong juga kemajuan secara umum.
2. Sistem homeschooling dan sistem sekolah formal bisa saling belajar satu sama lain, saling melihat level masing-masing dan saling memacu satu sama lain.
Pada akhirnya, pilihan orang tua untuk melakukan homeschooling adalah pilihan karena situasi pribadi dan target pribadi, tidak banyak berhubungan dengan apa yang terjadi secara nasional, kecuali dalam pengertian bahwa bila pendidikan nasional semakin buruk, maka keputusan untuk homeschooling semakin sering/mudah dibuat.
Sekarang, menurut anda bagaimana sebenarnya sistem dan cetak biru pendidikan yang terbaik untuk Indonesia yang majemuk ini?
Jelas tidak mungkin kita menghapuskan sistem pendidikan negara (public school) yang kita kenal dalam semalam karena berisiko memicu disintegrasi yang bapak pasti tidak menghendaki sebagai sesama warga Indonesia.
Terimakasih dan merdeka!
Sistem pendidikan negara memang tidak boleh dihapuskan. Sekolah negeri masih banyak gunanya, terutama bagi daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh sekolah jenis lain.
Mengenai cetak biru pendidikan nasional? Wah, saya sih belum mikirin ke sana.. Ha ha… Saya baru tahap memikirkan untuk pribadi dan kalangan, apa yang terbaik untuk anak saya, dan juga anak-anak yang saya kenal.
Tapi intinya, sebagai orang Kristen, tentu kita mau anak-anak dididik dalam Tuhan.
Jika anda memiliki ide soal pendidikan nasional, baiklah dituangkan dalam bentuk artikel (berdasarkan Kekristenan tentunya, untuk melawan Islam)
Kalau paham saya tentang pendidikan, terutama mengenai agama, malah bahwa di sekolah umum, itu tidak perlu ada pelajaran agama. Karena agama itu diajarkan di rumah, dan di gereja / mesjid, dll. Kalau sekarang, apalagi di pelosok, seringkali tidak ada guru agama untuk agama tertentu (yang minoritas pastinya).
Di dalam Kristen saja, ada banyak pendapat, kadang yang diajar oleh guru agama di sekolah Kristen, belum tentu cocok yang diinginkan orang tua. Jadi, sebaiknya agama itu ranah pribadi saja.
Meski kalau soal islam lebih rawan lagi karena kalau diserahkan ke keluarga lebih besar kemungkinan terinfeksi virus teroris. Di sekolah saja masih ada kemungkinan itu apalagi kalau semata-mata diserahkan ke keluarga.
Kalau Kristen sih iya masih bisa setuju soal ini.
Yang jadi masalah adalah Islam. Dikontrol pemerintah saja banyak masalahnya apalagi lepas kontrol; bisa-bisa kita jadi Pakistan.
Kebanyakan yang radikal itu bukan yang dari pemerintah justru, tetapi dari yang pesantren-pesantren. Jadi, dengan dihilangkannya pelajaran agama dari sekolah publik, tidak berpengaruh kepada mereka yang di sekolah private.