Walaupun para Reformator Protestan dari abad ke-16 hingga abad ke-18 menuntut kebebasan beragama dari Gereja Roma Katolik, dalam banyak kasus mereka tidak memberikan kebebasan itu kepada pihak lain. Ini adalah fakta yang jarang diceritakan dalam pelajaran sejarah gereja, sehingga tidak banyak orang yang tahu bahwa kaum Protestan dari era Reformasi menganiaya kaum Baptis dan pihak-pihak lain yang berbeda dengan mereka.
ZWINGLI DI ZURICH, SWITZERLAND, ADALAH SEORANG PENGANIAYA
1. Sebelum memegang prinsip-prinsip Baptis, pemimpin Anabaptis, Conrad Grebel (1498-1526), Felix Manz, dan George Cajacob, bekerja sama dengan Zwingli pada permulaan pekerjaan Zwingli di Zurich. Namun berbeda dengan Zwingli, mereka bergerak maju melampaui Protestanisme dan konsep gereja negara menuju iman dan praktek Perjanjian Baru yang sejati.
2. Sampai dengan akhir 1524, Grebel dan Manz telah mengambil posisi menentang baptisan bayi dan mereka mau mendirikan suatu gereja yang sejati yang hanya terdiri dari anggota-anggota yang telah lahir baru dan dibaptiskan, yang hanya melakukan Perjamuan Tuhan secara sederhana hanya sebagai suatu makanan peringatan.
3. Pada 17 Januari 1525, sebuah perdebatan antara Zwingli dan orang-orang yang menentang baptisan bayi dilaksanakan di Zurich di hadapan dewan kota. Keputusan diambil tidak lama setelah itu. Pada hari berikutnya, 18 Januari, dewan kota mendekritkan bahwa semua bayi harus dibaptis dalam waktu delapan hari setelah kelahiran, dan mereka yang tidak mau membaptis bayi mereka akan diusir dari kota itu. Sebuah dekrit lainnya pada 21 Januari melarang semua penentang baptisan bayi untuk berkumpul bersama atau berbicara di hadapan publik.
4. Pada hari peraturan kota yang pertama itu diserukan, Grebel, Manz, Cajacob, dan orang-orang lain yang sepikiran, berkumpul bersama untuk menentang dekrit itu dalam ketaatan kepada Firman Tuhan dan menetapkan hati untuk membentuk suatu gereja yang didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitab sebagaimana mereka pahami dalam hal ini. Cajacob pertama dibaptis oleh Grebel berdasarkan pengakuan imannya pada Kristus; Cajacob, setelah itu, membaptis yang lainnya. Baptisan itu pertama mereka lakukan dengan cara menuang, tetapi belakangan mereka menyadari bahwa yang benar adalah menyelam, dan setelah itu mereka memakai penyelaman. Dalam waktu seminggu, 35 orang lagi dibaptis.
5. Pada bulan Maret tahun yang sama, dewan kota yang dipengaruhi oleh Zwingli, mengeluarkan peraturan yang kuat melawan kaum Anabaptis, yang diratifikasi pada bulan November:
“Kalian tahu tanpa keraguan, dan telah mendengar dari banyak orang bahwa sejak waktu yang lama, beberapa orang yang aneh, yang berimajinasi bahwa mereka terpelajar, telah tampil secara mengagetkan, dan tanpa bukti apapun dari Kitab Suci, yang diberikan sebagai alasan oleh orang-orang yang sederhana dan saleh, dan telah mengkhotbahkan, dan tanpa izin dan persetujuan dari gereja, telah memproklamirkan bahwa baptisan bayi tidak berasal dari Allah, tetapi dari Iblis, dan oleh karena itu, tidak boleh dipraktekkan. … Jadi, kami, menetapkan dan menuntut bahwa sejak sekarang semua laki-laki, perempuan, anak lelaki dan anak perempuan, meninggalkan baptisan ulang, dan sejak sekarang ini tidak boleh mempergunakannya, dan harus membiarkan bayi dibaptis; siapapun yang bertindak berlawanan dengan aturan umum ini akan didenda untuk setiap pelanggaran, satu mark; dan JIKA ADA YANG TIDAK TAAT DAN KERAS KEPALA, MEREKA AKAN DIPERLAKUKAN DENGAN KERAS; karena, kami akan melindungi yang taat; yang tidak taat akan kami hukum sesuai dengan yang pantas baginya, tanpa gagal; dengan inilah semua orang harus memperhatikan kelakuannya. Semua ini kami konfirmasikan dengan dokumen publik ini, dicap dengan cap kota kita, dan diberikan pada hari St. Andrew, 1525 AD.”
6. Para Anabaptis dan pemimpin-pemimpin mereka, termasuk Grebel dan Manz, dicampakkan ke dalam penjara.
7. Pada bulan Desember 1527, Felix Manz, Jacob Falk, dan Henry Reiman, dihukum mati dengan penenggelaman. Dewan telah memutuskan, Qui mersus fuerit mergatur, atau “Dia yang menyelamkan akan ditenggelamkan.” Pemimpin Protestan, Gastins, menulis, “Mereka suka penyelaman, jadi baiklah kita menyelamkan mereka” (De Anabaptiami, 8. Basite, 1544, dikutip oleh Christian). Para Baptis itu diserahkan kepada algojo, yang mengikat tangan mereka, menempatkan mereka dalam sebuah perahu dan melemparkan mereka ke dalam air. Ada orang Protestan yang yang dengan nada mengejek menyebut ini “baptisan ketiga.”
Martis Baptis, Felix Manz (atau Mans, Mentz) (1498-1527) adalah seorang yang sangat terpelajar. Sambil dia digiring melewati kota Zurich ke perahu, dia memuji Allah bahwa dia akan mati bagi kebenaran Firman Allah. Ibunya yang tua dan saudara lelakinya yang setia menghibur dia untuk tetap setia hingga kematian. Setelah menyerukan, “Ke dalam tanganmu, Tuhan, aku menyerahkan rohku,” dia dengan kejam ditenggelamkan. Pemimpin Protestan, Henry Bullinger di Jenewa menulis sebuah catatan peristiwa tentang eksekusi Manz dan mendukung hal tersebut (Reformations Geschichte, II. 382, dikuti oleh Christian).
8. Seorang Baptis lainnya yang dianiaya oleh orang-orang berpengaruh di Zurich-nya Zwingli adalah BALTHASAR HUBMAIER.
Dia adalah seseorang yang sangat terpelajar dan pernah menjadi teman dekat Zwingli di tahun-tahun awal, dan mereka pernah berjuang bersama untuk melawan Roma Katolik. Tetapi Hubmaier rindu untuk mengikuti Alkitab dalam semua hal dan dia menolak baptisan bayi dan menjadi seorang Baptis.
Dia menulis buku-buku yang hebat untuk mempertahankan imannya dan salah satunya adalah untuk mempertahankan baptisan orang percaya. Dia berkata, “Perintah Tuhan adalah untuk membaptis mereka yang percaya. Jadi, membaptis orang-orang yang belum percaya, dilarang.” Dia benar sekali.
Dia juga menulis sebuah buku untuk melawan penganiayaan, berjudul “Tentang Para Penyesat dan Orang-Orang yang Membakar Mereka.” Dia mengajarkan bahwa bukanlah kehendak Yesus Kristus untuk membunuh orang karena apa yang mereka percayai, bahwa tugas gereja adalah menyelamatkan manusia, bukan membakar mereka.
Dia dicampakkan ke dalam penjara oleh para Protestan kota Zurich pada Januari 1526 dan ditahan di sana selama empat bulan. Permintaan-permintaan yang dia layangkan kepada teman lamanya, Zwingli, tidak dihiraukan. Istrinya juga ada dalam penjara dan kesehatannya hancur. Dia baru saja keluar dari suatu penyakit yang hampir membunuh dia.
Dalam kondisi yang menyedihkan dan penuh keputusasaan ini, dia disiksa di atas rak oleh otoritas Protestan; dan pada tanggal 6 April 1526, orang yang telah dihancurkan tersebut menarik kembali kepercayaannya.
Orang-orang Zurich dipanggil untuk berkumpul di katedral untuk mendengarkan penarikan kepercayaan oleh pengkhotbah Baptis yang terkenal ini. Zwingli pertama menyampaikan sebuah khotbah tentang para penyesat. Lalu setiap mata tertuju kepada Hubmaier, yang maju untuk membacakan penarikan kembali imannya. Sambil dia memulai dengan suara yang gemetar, dia tak kuasa untuk menahan tangis. Sambil dia terhuyung-huyung dalam derita, tiba-tiba dia dikuatkan oleh Tuhan. Dia berteriak, “BAPTISAN BAYI BUKAN DARI ALLAH, DAN ORANG HARUS DIBAPTIS BERDASARKAN IMAN DALAM KRISTUS!” Kekacauan langsung terjadi. Ada yang berteriak-teriak menghina dia, sementara yang lain meneriakkan pujian. Para otortias Zurich segera membawa dia kembali ke penjara bawah tanah.
Di sana dia menuliskan kata-kata doa yang mulia ini kepada Allah: “O, Allah yang kekal, inilah iman saya. Saya mengakuinya dengan hati dan mulut, dan telah menyaksikannya ke hadapan umum di hadapan Gereja dalam baptisan. Saya dengan setia berdoa agar Engkau dengan rahmat menjagaku sampai pada akhirku, dan seandainya saya dipaksa untuk keluar dari iman ini oleh karena ketakutan dan kepengecutan, oleh karena tirani, siksa, pedang, api, atau air, saya kini meminta kepadaMu. O, Bapa yang penuh kasih, untuk membangkitkanku lagi oleh kasih karunia Roh KudusMu, dan jangan mengizinkan saya untuk pergi tanpa iman ini. Hal ini, saya doakan dari hati saya yang terdalam, melalui Yesus Kristus, AnakMu yang terkasih, Tuhan dan Juruselamat kami. Bapa, dalamMu aku menaruh percayaku, jangan biarkan aku menjadi malu.”
Doa itu dijawab, karena Hubmaier terus berdiri bagi Tuhan dan setia sampai mati. Setelah dia diizinkan untuk meninggalkan Zurich, dia pindah ke Moravia, dan di sana dia memiliki pelayanan yang sangat berbuah dan tuain jiwa yang besar dibawa kepada Tuhan.
Pada tanggal 10 Maret 1528, di Vienna, dia dibakar hingga mati di tiang bakar, dan dia mati dalam iman yang dia khotbahkan. Istrinya yang adalah seorang Kristen yang setia, ditenggelamkan delapan hari kemudian.
9. Sekitar waktu itu, Zwingli menulis sebuah buku yang keras untuk melawan para Anabaptis yang berjudul Elenchus contria Catbaptistas, atau Suatu Bantahan Terhadap Tipuan-Tipuan para Katabaptis atau Para Penenggelam. Dia menyebut kaum Anabaptis sebagai “keledai-keledai liar” dan istilah-istilah hujat lainnya dan mengatakan bahwa penyelaman mereka berasal dari Neraka dan bahwa kaum Anabaptis sendiri akan pergi ke Neraka.
10. Sekitar waktu itu, penganiayaan dilancarkan terhadap kaum Baptis di St. Gall, Switzerland.
Para pengkhotbah Baptis, seperti Konrad Grebel dan Eberle Polt berkhotbah dengan sukses yang besar di St. Gall dan ribuan orang dari seluruh daerah negeri itu mengakui Kristus dan menerima baptisan orang percaya.
Melalui dorongan Zwingli, dewan kota St. Gall menetapkan untuk menganiaya mereka dengan cara penenggelaman jika mereka menolak untuk meninggalkan daerah tersebut. Pada tanggal 9 September 1527, mereka mengeluarkan dekrit berikut:
“Supaya sekte Baptis yang berbahaya, jahat, penuh pergolakan, dan memecah belah itu dapat ditumpas, kami telah mendekritkan yang berikut ini: Jika seseorang dicurigai melakukan baptisan ulang, dia akan diperingatkan oleh magistrasi [semacam jabatan sipil yang menegakkan hukum waktu itu] untuk meninggalkan daerah ini dengan ancaman hukuman yang telah ditentukan (ditenggelamkan). Setiap orang diharuskan untuk melaporkan siapa yang setuju dan simpati dengan baptisan ulang. Siapapun yang tidak menuruti aturan ini, dapat dihukum menurut keputusan magistrasi. Para pengajar baptisan ulang, pengkhotbah baptisan ulang, dan pemimpin pertemuan-pertemuan rahasia HARUS DITENGGELAMKAN. Mereka yang sebelumnya telah dilepaskan dari penjara yang telah bersumpah untuk berhenti dari hal-hal demikian, akan mendapatkan hukuman yang sama. Para Baptis asing harus diusir keluar; jika mereka kembali MEREKA AKAN DITENGGELAMKAN. Tidak seorang pun diizinkan untuk memisahkan diri dari gereja [Zwingli] dan untuk tidak hadir dalam Perjamuan Kudus. Siapapun yang melarikan diri dari satu yurisdiksi ke yang lainnya akan diusir atau diekstradisi sesuai permintaan.”
Dekrit yang dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 1530, bahkan lebih keras lagi: “Semua yang memegang atau bersimpati dengan sekte sesat para Baptis, dan yang menghadiri pertemuan-pertemuan mereka, akan ditimpakan hukuman-hukuman yang paling berat. PARA PEMIMPIN BAPTIS, PENGIKUT-PENGIKUT MEREKA, DAN PELINDUNG-PELINDUNG MEREKA AKAN DITENGGELAMKAN TANPA BELAS KASIHAN. Namun, mereka yang menolong mereka, atau yang gagal melaporkan atau menangkap mereka akan dihukum dengan cara lain pada tubuh atau harta, sebagai rakyat yang merusak dan tidak setia.”
11. Inkuisisi Protestan ini sangat mirip dengan yang dilakukan oleh Roma Katolik. Para Protestan mengharuskan bahwa semua warga negara/kota mereka tunduk kepada doktrin dan praktek mereka, dengan ancaman maut. Mereka mengharuskan bahwa setiap warga menjadi mata-mata untuk melaporkan kehadiran orang-orang yang tidak setuju. Bukan hanya para penentang dianiaya, demikian juga siapapun yang menolong mereka dengan cara apapun, termasuk mereka yang bahkan gagal melaporkan mereka.
12. Zwingli adalah seorang munafik dalam hal penganiayaan. Dia bersuara melawan para Katolik ketika mereka menganiaya kaum Protestan, tetapi dia mendukung penganiayaan terhadap kaum Baptis. Dalam 67 thesisnya melawan Roma, Zwingli berkata: “Tidak boleh ada pemaksaan yang dipergunakan dalam kasus mereka yang tidak mengakui kesalahan mereka, kecuali jika perilaku mereka yang memberontak menganggu perdamaian orang lain.” Namun, dia mengabaikan aturannya sendiri ini dan memaksa orang lain untuk percaya seperti dia percaya. Para Baptis bukanlah kaum yang memberontak. Mereka tidak berusaha untuk menggulingkan pemerintah. Mereka hanya ingin menjalankan iman mereka sendiri dalam kedamaian.
13. Penganiayaan oleh kaum Protestan di Switzerland berlanjut pada abad ke-17. “Pada konsili Jenewa, 1632, Nicholas Anthoine dihukum untuk pertama-tama digantung dan kemudian dibakar karena menentang doktrin Trinitas; dan di Basil dan Zurich, sejak Reformasi, kesesatan adalah suatu kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, sebagaimana dibuktikan dengan sangat jelas oleh kematian David George dan Felix” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. xxviii).
14. Bahkan sampai dengan 1671, tujuh ratus orang, tanpa rumah dan harta, diusir keluar dari Berne. Besar penderitaan yang dialami tua dan muda (Richard Cook, The Story of the Baptists, 1888, hal. 65).
KAUM LUTHERAN DI JERMAN ADALAH PENGANIAYA
1. Memperhatikan posisi Martin Luther tentang penganiayaan
Penting untuk memahami bahwa Luther mengubah posisinya dalam banyak hal yang penting. Pada masa-masa awal Reformasinya, sebagai contoh, Luther mengajarkan bahwa cara yang benar untuk baptisan adalah penyelaman.
Dia berubah masalah baptisan. Dalam Perjanjian Baru bahasa Jerman yang dia buat, dia menerjemahkan “membaptis” dengan kata “mencelupkan,” yang adalah terjemahan yang bagus, karena memang kata tersebut berarti memasukkan ke dalam air dan mengeluarkan dari air. Istilah “menyelamkan,” sebaliknya, tidak memiliki konotasi mengeluarkan lagi dari air.
Pada tahun 1518, dia bukan hanya mengajarkan bahwa kata “baptis” artinya menyelamkan, tetapi juga bahwa arti upacara tersebut menunjuk kepada penyelaman. “Hal ini juga dituntut oleh signifikansi dari baptisan, karena memberikan arti bahwa manusia lama dan kelahiran dosa dari darah dan daging akan sepenuhnya ditenggelamkan melalui kasih karunia Allah. Jadi, seseorang harus melakukan artinya dan tandanya yang sempurna secara cukup. Tandanya itu terletak pada, hal ini, yaitu seseorang memasukkan orang lain ke dalam air dalam nama Bapa, dll., tetapi tidak meninggalkan dia di dalam air itu, tetapi mengangkat dia naik kembali; jadi ini disebut diangkat keluar dari kolam atau kedalaman. Dan jadi haruslah kedua hal ini menjadi tandanya; mencelupkan dan mengangkat naik kembali. Ketiga, artinya adalah kematian dosa yang menyelamatkan dan kebangkitan kasih karunia Allah. Baptisan adalah permandian kelahiran kembali. Juga adalah penenggelaman dosa-dosa dalam baptisan (Luther, Opera Lutheri, I. 319. Folio edition).
Bahasa Luther mirip dengan kaum Baptis dalam poin ini, tetapi pada saat yang sama, dia membela praktek baptisan bayi yang tidak alkitabiah; dan tidak lama setelah itu dia menyerah dalam hal debat tentang baptisan dan menjadi musuh kaum Anabaptis.
Luther juga berubah masalah penganiayaan dan penumpahan darah. Di masal awal karir reformasinya, Luther tidak mendukung hukuman mati bagi para guru-guru palsu, walaupun dia mendukung penganiayaan terhadap mereka asal tidak sampai dihukum mati dan juga mendukung pengasingan mereka. “Walaupun secara alami memiliki emosi yang hangat dan keras, dia tidak suka menghukum para penyesat dengan hukuman mati. Dia berkata dalam tulisan-tulisannya, Saya sangat tidak senang akan penumpahan darah, bahkan dalam kasus-kasus yang pantas; saya lebih lagi menakutinya, karena, sebagaimana para anak buah Paus dan orang Yahudi, dengan alasan yang sama ini, telah menghancurkan para nabi kudus dan orang-orang tidak bersalah, demikianlah saya takut hal yang sama akan terjadi di kalangan kita sendiri, jika, dalam satu saja kejadian, diizinkan untuk menghukum mati para penyesat. Jadi, saya tidak dapat dengan cara bagaimanapun, menyetujui agar guru-guru palsu dibunuh. Tetapi mengenai semua bentuk-bentuk hukuman lainnya, dia berpikir bahwa itu bisa, dengan sah, dilakukan: karena setelah perikop di atas dia menambahkan lagi, bahwa cukuplah sudah mereka itu diasingkan. Cocok dengan prinsip-prinsip ini, dia meyakinkan para elektor di Saxony untuk tidak menolerir, di daerah mereka, para pengikut Zuinglius, dalam pandangan mereka tentang sakramen; dan juga untuk tidak bersekutu dengan mereka dalam hal apapun, demi pertahanan mereka besama melawan usaha para katolik untuk menghancurkan mereka. …Dia juga menulis kepada Albert, Duke dari Prussia, untuk meyakinkan dia untuk mengasingkan orang-orang tersebut dari wilayahnya” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. xxvii, xxviii).
Belakangan Luther berubah secara dramatis. Dia mendukung penghancuran total dari para petani yang memberontak. “Tetapi ketika pada petani Jerman mencoba untuk mengaplikasikan ‘kebebasan’ ini pada diri mereka sendiri dengan cara menggulingkan pada tuan yang kejam dan mendapatkan kemerdekaan, Luther mengamuk terhadap mereka: ‘Para petani tidak mau mendengar; mereka tidak mau mengizinkan siapapun memberitahu mereka apapun; telinga mereka harus dibuka dengan peluru, sampai kepala mereka lepas dari bahu mereka. …Terhadap para petani yang keras kepala, membatu, dan buta itu; janganlah seorang pun menunjukkan belas kasihan, tetapi baiklah semua orang, semampunya, membacok, menusuk, membunuh, dan membabat sekitarnya seolah-olah di antara anjing-anjing, … supaya damai dan keamanan dapat terpelihara….dll.’ [Martin Luther, Werke, Erlangen edition, vol. 24, hal. 294; vol.15, hal. 276; passim.] Tulisan Luther tentang perang-perang dengan kaum petani penuh dengan ekspresi seperti di atas. Ketika dia pada tahun-tahun belakangan dicela karena menggunakan bahasa yang sedemikian kasar, dan karena menggerakkan pada tuan wilayah untuk membantai mereka tanpa ampun (mereka membunuh lebih dari 100.000 petani), dia menjawab dengan penuh perlawanan: “Adalah saya, Martin Luther, yang membunuh semua petani dalam pemberontakan itu, karena saya memerintahkan mereka untuk dibantai. Semua darah mereka ada atas pundak saya. Tetapi saya melemparkannya pada Tuhan Allah kita yang memerintahkan saya untuk berbicara seperti itu.’ [Martin Luther, Werke, Erlangen edition, vol. 59, hal. 284] (William McGrath, Anabaptists: Neither Catholic nor Protestant, http://www.pbministries.org/History/William%20R.%20McGrath/the_anabaptists_part1.htm).
Luther juga berbalik melawan kaum anabaptis yang pernah mendapat simpatinya. “Lebih menyedihkan lagi, Luther bereaksi dengan kekerasan yang sama terhadap kaum Anabaptis yang mencoba untuk menerapkan prinsip ‘kebebasan’ pada diri mereka sendiri. Walaupun dia tahu bahwa ada kaum Anabaptis yang tidak melawan dan sama sekali tidak berbahaya, dan juga ada elemen revolusioner yang pinggiran tetapi radikal, dia mengelompokkan semuanya menjadi satu dan memilih kebijakan untuk menghancurkan semuanya sekaligus” (William McGrath, Anabaptists: Neither Catholic nor Protestant, http://www.pbministries.org/History/William%20R.%20McGrath/the_anabaptists_part1.htm).
2. Pada tahun 1529, aturan DIET OF SPEIRS menyatakan hukuman mati bagi semua Anabaptis. Dewan yang mengeluarkan aturan ini terdiri dari pangeran dan kepala negara Roma Katolik maupun Protetan. Mereka saling membenci, dan bahkan untuk membuat Aturan (Diet) ini pun mereka banyak tidak bisa sepakat, tetapi mereka membenci kaum Anabaptis lebih lagi!
3. Pengumuman Diet (Aturan) ini, sangat mempercepat program pemusnahan yang sudah berjalan. “Empat ratus polisi spesial dipekerjakan untuk memburu kaum Anabaptis dan mengeksekusi mereka di tempat. Angka ini ternyata terlalu sedikit dan ditingkatkan menjadi seribu. …ribuan Anabaptis jatuh korban kepada salah satu penganiayaan paling menyeluruh dalam sejarah Kristen. …Kayu api dan tiang bakar yang menyala menjadi pertanda perjalanan mereka di seluruh Eropa” (Halley).
4. Pada tahun 1538, Elektor Lutheran di Hesse, Jerman, menulis kepada Raja Henry VIII di Inggris dan mendorong dia untuk menganiaya kaum Anabaptis. Dia bersaksi: “Tidak ada pemerintah di Jerman, apakah yang dari pihak Paus, ataupun para penganut doktrin Injil [Protestan], yang membiarkan orang-orang ini jika jatuh ke tangan mereka. Semua orang akan menghukum mereka dengan cepat. Kita menggunakan peraturan yang adil, yang Allah tuntut dari semua pemerintah yang baik. Jika ada yang dengan keras kepala membela kesalahan-kesalahan yang fasik dan jahat dari sekte tersebut, tidak mau menurut kepada orang-orang yang dapat mengajar mereka dengan benar, maka mereka ini ditaruh di tempat di penjara, dan terkadang dihukum dengan berat di sana; namun mereka diperlakukan sedemikian rupa, sehingga kematian tidak akan terjadi untuk waktu yang lama, dengan harapan akan ada perbaikan; dan selama ada harapan, kita lebih memilih untuk menunjukkan kehidupan. Jika tidak ada harapan lagi, maka yang keras kepala dihukum mati” (Evans, The Early English Baptists, pasal 2). Itu adalah “peraturan adil” yang dijalankan Protestan!
5. “Seckendorf juga memberitahu kita, bahwa para pengacara Lutheran di Wittenburg, menghukum mati seorang Pestelius, karena ia dari kelompok Zuinglian, walaupun hal ini tidak disetujui oleh elektor Saxony. Beberapa orang Anabaptis juga dihukum mati, oleh para Lutheran, karena ketegaran mereka untuk terus menyebarkan kesalahan-kesalahan mereka” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. xxviii).
6. URBANUS RHEGIUS adalah seorang pemimpin Lutheran di Augsburg yang menganiaya kaum Baptis.
Dia menerbitkan sebuah buku melawan kaum Baptis pada tahun 1528. Ilustrasi pada halaman judulnya mendemonstrasikan kebencian para Lutheran terhadap sekte ini. Pada halaman sampul terlihat sebuah sungai yang mengalir ke suatu badan air yang besar seperti laut. Para Baptis digambarkan sedang terjatuh ke dalam air dan terbawa ke laut itu ke api yang menyala-nyala. Jadi, air dalam baptisan orang percaya digambarkan sebagai jalan menuju neraka. Ini adalah posisi standar kaum Lutheran pada waktu itu.
Rhegius adalah penggerak utama penganiayaan di kota Protestan, Augsburg. Sejarahwan Philip Schaff, yang sendirinya adalah seorang Lutheran dan jelas tidak bias melawan kaum Protestan, mengatakan, “Rhegius menggerakkan para magistrasi untuk melawan mereka” (Schaff, History of the Christian Church, VI. 578).
Hans Koch dan Leonard Meyster dimatikan pada tahun 1524. Rhegius menyebabkan gembala sidang Baptis, Hans Denk, diusir dari kota pada tahun 1527. Dia menyebabkan gembala Langenmantel ditangkap dan diasingkan pada bulan Oktober tahun itu juga. Leonard Snyder dimatikan pada tahun 1527. Banyak yang mati dalam penjara, termasuk Hans Hut, yang jasadnya dibakar di lapangan umum di Augsburg. Gembala Baptis, Seebold, dimatikan pada bulan April 1528, dan 12 lainnya dibunuh belakangan tahun itu. Banyak yang disiksa dan dicap dengan besi panas. Satu orang dipotong lidahnya karena bersuara menentang baptisan bayi.
7. Tokoh reformator Lutheran, OSIANDER, di Nuremberg, Jerman, menganiaya dan mengancamkan kematian kepada kaum Anabaptis di wilayahnya.
Hans Denk, yang belakangan menggembalakan sebuah gereja Baptis besar di Strasburg, ditunjuk untuk menjadi kepala sekolah sekolah Lutheran St. Sebald di Nuremberg. Pada waktu itu, Denk baru saja mulai mengembangkan paham-paham Anabaptis-nya, dan dia segera berkonflik dengan para Protestan.
Pada Januari 1525, Denk diusir dari kota itu oleh Osiander, dan diperingatkan bahwa jika dia datang lagi dalam jarah 10 mil dari kota, dia akan dibunuh. Denk pindah ke Augsburg, dibaptis di sana oleh pengkhotbah Anabaptis, Hubmaier, dan menjadi gembala sidang dari sebuah gereja Baptis yang kuat di kota itu, dengan keanggotaan mencapai 1.100 orang. Akhirnya, pemimpin Lutheran yang telah disebut di atas, Urbanus Rhegius, menganiaya Denk dan mengusirnya dari Augsburg.
8. Pemimpin Lutheran lainnya yang terkenal adalah MARTIN BUCER (1491-1551). Dia berpengaruh di Augsburg, Jerman, dan berusaha membuat dewan kota menganiaya kaum Anabaptis.
Bucer senantiasa frustrasi dengan Dewan kota karena mereka ragu-ragu untuk menganiaya kaum Anabaptis sekeras yang dia inginkan, dan menyebut hal ini sebagai “dosa dari Senat.”
Dalam kasus Pilgram Marbeck dan beberapa orang lainnya, dia berhasil. Marbeck adalah seorang insinyur sipil yang menonjol, yang terpaksa untuk lari dari kota Tyrol, yang dikuasai Katolik, karena penganiayaan. Dia tiba di Augsburg pada 1530, dan berkhotbah dengan berani bukan hanya melawan kesalahan-kesalahan Roma, tetapi juga kesalahan-kesalahan para Reformator Protestan. Ketika dia menerbitkan dua buku yang mempertahankan pandangannya pada tahun 1531, dewan kota melarang distribusi buku tersebut dan memanggil dia untuk memberikan jawaban. Bucer hadir di sana dan melawan dia, dan pada 18 Desember, dewan kota mengasingkan pengkhotbah Anabaptis ini, di tengah musim dingin, dengan Bucer sepenuhnya mendukung keputusan yang kejam tersebut.
Pada tahun 1529, dewan kota Augsburg, yang dipengaruhi oleh kaum Protestan, memenjarakan pengkhotbah Anabaptis Jacob Kantz dan Reublin di sel-sel tahanan yang gelap di menara kota. Kantz telah menyebut para Reformator sebagai “tukang-tukang yang tidak berketerampilan, yang banyak membongkar, tetapi tidak mampu untuk menyusun apa-apa.” Ini adalah pendapat yang sejati dari sudut pandang Baptis, tetapi kaum Protestan tidak suka dengan gambaran demikian.
Ketika di dalam penjara, para Baptis menulis untuk mempertahankan baptisan orang percaya sebagai simbol ekspresi iman internal kepada Kristus. Mereka mengatakan bahwa “iman yang diakui adalah anggur, dan baptisan adalah papan nama yang digantung di luar untuk menunjukkan anggur yang ada di dalam.”
Pada tahun 1534, dewan kota mengusir semua kaum Baptis dari kota itu, dengan memberikan delapan hari peringatan. Tahun berikutnya, dewan kota Protestan tersebut mengklaim bahwa semua bayi harus dibaptis dan jika tidak orang tuanya akan dihukum, dan tidak ada seorang pun yang boleh memberikan tumpangan atau bantuan kepada kaum Anabaptis.
Pada tahun 1538, karena tidak berhasil menghilangkan semua kaum Anabaptis yang dibenci itu, dewan Protestan di Augsburg memproklamirkan bahwa orang-orang yang kembali ke kota itu [setelah diusir], untuk kali pertama akan kehilangan sebuah jari, dicap di pipi, dan dipasang besi di leher. Jika mereka kembali lagi, mereka akan ditenggelamkan. Dengan seriusnya proklamasi itu menambahkan, “Kami melakukan ini, bukan untuk membuat orang memercayai yang kami percayai. Ini bukan masalah iman, tetapi untuk menghindarkan perpecahan dalam Gereja.” Halo! Perpecahan yang terjadi adalah karena masalah iman!
JOHN CALVIN DI JENEWA ADALAH SEORANG PENGANIAYA
1. Calvin memaksakan doktrin dan prinsip-prinsip Kristiani dengan todongan pedang. Pada Oktober 1563, pemerintah Jenewa membakar hingga mati Michael Servetus karena kesesatan. Servetus berpegang pada pandangan unitarian dan jelas adalah seorang guru palsu, tetapi Perjanjian Baru sama sekali tidak pernah menginstruksikan gereja-gereja Tuhan untuk membunuh guru-guru palsu. Hukuman mati Servetus didukung bukan hanya oleh Calvin, tetapi juga oleh Melanchthon di Jerman dan Bullinger di Jenewa dan pemimpin-pemimpin Protestan lainnya yang dimintai pendapat tentang kasus tersebut.
2. Orang-orang lain juga dihukum mati di bawah pengawasan Calvin. “Sedemikian setujunya dia dengan tindakan-tindakan penganiayaan itu, sehingga dia menulis sebuah buku untuk mempertahankannya, yaitu mempertahankan legalitas mematikan para penyesat; dan dia menerapkan teori-teori kaku ini kepada prakteknya, dalam perlakuan dia terhadap Castellio, Jerom Bolsee, dan Servetus, orang-orang yang nasibnya sudah diketahui umum sehingga tidak perlu diulangi di sini. Pada konsili Jenewa 1632, Nicholas Anthoine dijatuhi hukuman pertama-tama digantung, dan lalu dibakar, karena menentang doktrin Tritunggal…” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. Xxviii).
3. Pada zaman Raja Edward VI di Inggris, Calvin menulis sebuah surat ke Lord Protector Somerset, dan menghimbau dia untuk membunuh para Anabaptis: “Mereka ini semua pantas untuk dihukum dengan pedang, karena mereka sungguh bersekongkol melawan Allah, yang telah menempatkan dia di kursi kerajaannya” (John Christian, A History of the Baptists, Vol. 1, chap. 15).
4. Sejarahwan John Christian mengobservasi bahwa Calvin “bertanggung jawab besar untuk setan kebencian dan perlawanan sengit yang harus dihadapi oleh kaum Baptis di Inggris.”
PENGANIAYAAN OLEH KALVINIS DI BELANDA MELAWAN KAUM ARMINIAN
“Jika kita berpindah ke Belanda, kita juga akan menemukan bahwa para reformator di sana, kebanyakan mereka, mendukung prinsip-prinsip dan tindakan-tindakan penganiayaan. …perselisihan yang paling menggemparkan adalah antara kaum Kalvinis dan Arminian. … Pada saat kedua pihak memiliki suatu dogma untuk diperdebatkan, kontroversi tersebut menjadi tidak lagi dapat diselesaikan, dan dilaksanakan dengan kekerasan yang mencengangkan. Para pelayan dari pihak predestinasi tidak mau sama sekali membuat kesepakatan; para remonstran [non-Kalvinis] menjadi objek semangat mereka yang membara, yang mereka sebut sebagai orang-orang bodoh, setan-setan dan tulah-tulah; menggerakkan para magistrasi untuk menghancurkan mereka; dan ketika waktu pemilihan baru mendekat, mereka meminta kepada Allah orang-orang yang menggebu-gebu, bahkan hingga penumpahan darah, sekalipun harus membayar harga seluruh perdagangan kota-kota mereka. Pada akhirnya, sebuah sidang sinode berkumpul, bertindak dalam tata cara yang biasa; mereka memproklamirkan prinsip-prinsip iman dengan yakin, menghukum doktrin para remonstran; mengusir antagonis mereka dari jabatan-jabatan mereka; dan mengakhiri dengan rendah hati meminta Allah dan para petinggi mereka, untuk mengeksekusi dekrit-dekrit mereka, dan untuk meratifikasi doktrin yang telah mereka ekspresikan. Pemerintah menuruti mereka dalam permintaan yang kristiani yang penuh kasih ini, karena segera setelah sidang sinode berakhir, Barnwelt, seorang teman dari kaum remonstran dan pendapat mereka, dipenggal kepalanya, dan Grotius dijatuhi hukuman penjara seumur hidup; dan karena para pelayan yang berbeda pendapat tidak mau berjanji secara total dan terus menerus untuk tidak menjalankan tugas-tugas religius mereka, negara mengeluarkan resolusi untuk pengusiran mereka, dengan ancaman, jika mereka tidak menerima hal tersebut, bahwa mereka akan diperlakukan sebagai pengganggu ketenangan umum” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. xxviii, xxix).
GEREJA INGGRIS ADALAH PENGANIAYA
Gereja Anglikan dibentuk pada tahun 1534 oleh Raja Henry VIII, dan sejak saat itu hingga hampir akhir abad 17, kaum Baptis dan kelompok-kelompok lainnya yang menolak untuk tunduk kepada gereja negara mengalami penganiayaan.
PENGANIAYAAN KAUM BAPTIS PADA ZAMAN RAJA HENRY VIII, SETELAH DIA BERPISAH DARI ROMA
1. Henry naik takhta pada tahun 1509, dan tiga kali dalam pemerintahannya dia mencela kaum Anabaptis melalui proklamasi resmi. Di sisi lain, ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa sudah ada kaum Baptis di Inggris pada waktu yang awal tersebut.
2. Pada tahun 1534, Henry berpisah dari Roma dan membentuk Gereja Inggris.
3. Pada tahun 1535, 28 orang Belanda ditangkap dan 14 dibakar sampai mati, minimal salah satunya seorang wanita. Sejarahwan Stowe mengatakan bahwa mereka menyangkal bahwa Kristus adalah Allah dan manusia, tetapi tidaklah mungkin sekarang ini untuk tahu secara persis apa yang mereka percayai, selain dari yang dituduhkan oleh musuh mereka pada mereka. Latimer, yang adalah pelayan kapel di bawah raja Henry, dan yang belakangan dibakar juga oleh Ratu Mary, menggambarkan kematian mereka dan mengatakan bahwa mereka maju ke tiang bakar “tanpa rasa takut apapun di dunia, dengan riang gembira.”
4. Menurut Foxe, dengan mengutip catatan-catatan registrar London, sembilan belas Anabaptis lainnya dihukum mati di berbagai tempat di kerajaan itu pada tahun 1535.
5. Pada Oktober 1538, raja menunjuk Thomas Cranmer, Uskup Agung Canterbury yang baru (setelah kematian Warham), untuk mengepalai sebuah komite untuk menuntut para Baptis di mana pun mereka dapat ditemukan. Dia memerintahkan agar buku-buku para Baptis diambil dan dibakar. “Bahkan para reformator kita yang telah melihat api yang dinyalakan oleh kaum Katolik melawan saudara mereka, telah sendirinya menyalakan api juga untuk menghanguskan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Tangan Cranmer berlumuran darah beberapa orang. John Lambert dan Ann Askew akan selalu menjadi saksi semangatnya dalam menghancurkan” (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. Xxix).
6. Pada tahun 1539, dua lagi orang Anabaptis dibakar.
7. Anne Askew dipenjarakan, disiksa, dan akhirnya dibakar hingga mati pada Juli 1546. Dia dibunuh oleh tangan Gereja Inggris setelah Gereja itu berpisah dari Roma.
Setelah wanita berusia 24 tahun itu dijatuhi hukuman mati dan dipenjarakan di Menara London untuk menantikan eksekusi, para penganiaya-nya berusaha untuk membuat dia membocorkan informasi tentang orang-orang percaya lainnya. Mereka juga berharap untuk mendapatkan informasi melawan Ratu Catherine sendiri, yaitu istri dari Henry VIII. Ketika Anne menolak untuk memberikan mereka informasi apapun, mereka menaruh wanita lemah itu di atas rak penyiksaan dan memerintahkan Sir Anthony Knyvet, Letnan di Menara tersebut, untuk menginstruksikan penjaga penjara untuk menyiksa dia. Dia melakukannya, tetapi tidak dengan terlalu keras, meningat sifat feminim dari subjek. Tidak puas dengan penyiksaan rak yang diberikan kepadanya oleh sang Letnan, Thomas Wriothesley, kanselir Inggris, dan Master Rich, Solicitor-General, dengan marah mengambil alih kontrol atas rak penyiksaan dan memperlakukan wanita saleh itu dengan kekejaman yang tidak manusiawi. Sedemikian bertekadnya mereka untuk mendapatkan nama-nama wanita bangsawan manapun yang percaya kepada kasih karunia Yesus Kristus, mereka dengan kejam menyiksanya, menarik tulang-tulang dan pergelangan-pergelangannya keluar dari tempat semestinya, sedemikian rupa sehingga dia tidak bisa berjalan setelah itu dan harus diangkat ke tempat eksekusinya di atas sebuah kursi. Sementara semua itu berlangsung, dia tidak menangis dan menanggung penyiksaan jahat mereka dengan kasih karunia kesabaran yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, menolak untuk membocokan satu pun dari teman-temannya kepada para penyiksa. Dia akhirnya pingsan dari rasa sakit, dan Sir Knyvet membawa dia dengan tangannya dan meletakkan dia di atas lantai. Ketika dia bangun, dan sementara dia masih terbaring di atas lantai batu yang keras, Wriothesley masih tinggal bersama dia dua jam lebih lama, berusaha untuk membuat dia menyangkali pandangan-pandangan agamawinya.
Dalam kesaksian tertulisnya, wanita Kristen yang berani tersebut memberikan suatu kesaksian yang mulia tentang imannya dalam Yesus Kristus dan dalam darahNya dan kasih karunia saja untuk keselamatan, dan dia menyatakan bahwa satu-satunya otoritasnya adalah Alkitab. Walaupun ayahnya, suaminya, dan putranya telah meninggalkan dia karena imannya, dan walaupun dia dibenci oleh para penguasa negaranya sendiri, kita bisa pasti bahwa wanita Kristen yang rendah hati ini, tidaklah ditinggalkan oleh Bapa Sorgawinya. “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku” (Maz. 27:10).
Anne dan tiga orang penentang Gereja Inggris lainnya dibawa ke tempat eksekusi pada tanggal 16 Juli 1546. Ketika mereka dirantai ke tiang, mereka ditawarkan pengampunan jika mereka mau menandatangani surat penyangkalan. Mereka menolak untuk bahkan melihat kertas yang berisikan pengampunan itu dan menyatakan bahwa mereka tidak datang ke tempat tersebut untuk menyangkal Tuhan mereka. Pada waktu itu, api dinyalakan dan Anne dan teman-temannya dalam Kristus dibakar sampai mati oleh otoritas gerejawi.
8. Orang-orang Baptis lainnya menderita selama masa pemerintahan Henry VIII, bapa dari Gereja Inggris.
KAUM BAPTIS DIANIAYA PADA ZAMAN RAJA EDWARD VI
Pada saat kematian Henry pada tahun 1547, putranya Edward, yang masih muda, memerintah selama enam tahun.
1. Edward menghentikan penganiayaan terhadap kaum Protestan, dan bahkan memberikan pengampunan kepada sejumlah kriminal; tetapi penganiayaan terhadap kaum Baptis berlanjut. Sedikitnya dua orang Baptis dibakar di tiang bakar selama pemerintahan Edward.
2. Walaupun demikian, jumlah kaum Baptis terus meningkat pesat. Uskup John Hooper menulis pada tahun 1549 untuk mengeluh tentang “kawanan domba Anabaptis” di London yang “memberikan saya banyak masalah.” Sangatlah jelas melalui pernyataan-pernyataan lain dari otoritas-otoritas gereja pada waktu itu bahwa ada sebuah gereja Baptis yang terorganisir yang menjalankan upacara-upacara Kristiani. Kita telah melihat bahwa kaum Baptis eksis di London pada masa pemerintahan Henry. Juga ada gereja-gereja Baptis di distrik Kent pada paruh pertama tahun 1500an. Pada Juni 1550, Uskup Hooper menulis, “Distrik itu tergoncang oleh semangat Anabaptis lebih dari bagian kerajaan yang lain manapun” (Ellis, Original Letters, I. 87).
3. Humphrey Middleton adalah seorang Baptis yang dipenjarakan selama bertahun-tahun pada masa pemerintahan Edward. Taktik yang brutal ini didukung oleh reformator Protestan, Thomas Cranmer. “Ketika Cranmer menjatuhkan hukumannya yang berat [melawan Middleton], si tokoh Baptis yang pintar itu menjawab, “Tuan reverend, jatuhkanlah hukuman apa yang menurutmu pantas untuk kami. Tetapi supaya jangan nanti anda berkata anda tidak diperingatkan, saya bersaksi sekarang bahwa berikutnya bisa saja giliranmu.” Hanya beberapa tahun kemudian, sang Protestan Cranmer, yang telah mendukung pemenjaraan dan pembakaran kaum Baptis, dirinya sendiri dibakar oleh Ratu Mary yang Katolik (Evans, Early English Baptists, volume 1; Foxe, Martyrs).
4. Pada Mei 1549, Joan Boucher ditangkap. Dia adalah seorang wanita Anabaptis dari Kent, kemungkinan seorang anggota sebuah jemaat kecil di kota Eythorne. Dia adalah seorang wanita yang memiliki cukup banyak harta dan sering berkunjung ke istana kerajaan selama zaman Henry VIII dan Edward. Dia juga adalah teman dekat dari Anne Askew yang saleh, yang dibakar pada zaman Henry VIII, dan seperti Anne, mencintai Perjanjian Baru Tyndale dan mendistribusikan salinan-salinannya kepada orang-orang lain dengan bahaya besar untuk dirinya sendiri. Dia juga mengunjungi orang-orang tahanan dan memakai kekayaannya untuk meringankan orang-orang yang menderita demi iman mereka.
Pada saat dia ditangkap, Joan dituduh mempercayai “bahwa Kristus tidak menjadi daging dari Perawan Maria,” tetapi tuduhan itu sama sekali tidak benar. Dia memegang kepercayaan yang eksentrik dan salah bahwa Maria memiliki dua benih, satu benih alami dan satu rohani, dan bahwa Kristus adalah dari benih rohani. Jika membaca catatan pengadilan, sulit untuk mengetahui persisnya apa yang dia maksudkan, tetapi satu hal ini jelas: dia dengan jelas bersaksi bahwa Maria adalah seorang perawan ketika Yesus dilahirkan dan bahwa dia menerima Kristus sebagai baik manusia maupun Allah dan sebagai Anak Allah yang lahir dari perawan. Jadi, jika dia mempercayai hal-hal aneh mengenai benih Maria, jelas itu bukanlah kesalahan yang lebih besar dari baptisan bayi dan regenerasi melalui baptisan, dan ketidakberdosaan Maria, yaitu kesalahan-kesalahan yang dipegang oleh orang-orang yang menghukum Joan.
Gereja Inggris membakar Joan dari Kent hingga mati pada 2 Mei 1550.
5. Tokoh Baptis lainnya yang mengalami kemartiran di bawah rezim Edward VI adalah George van Pare (atau Parris), seorang ahli bedah dari Jerman. Adalah suatu noda hitam yang menyedihkan atas nama yang sangat bagus, yaitu penerjemah Alkitab Miles Coverdale, karena dia duduk sebagai hakim atas pengadilan Pare. Pare dibakar hidup-hidup pada April 1551. “Dia menderita dengan keteguhan pikiran yang kuat, dan mencium tiang bakar dan kayu bakar yang akan dipakai untuk menghanguskannya” (Burnet, History of the Reformation, II).
6. Contoh lain penganiaya dari pihak Protestan di Inggris adalah John Hooper. Dia adalah seorang pemimpin di Gereja Inggris selama pemerintahan Edward, dan pada tahun 1549, dia menulis kepada pemimpin Protestan, Henry Bullinger di Jenewa, untuk mengeluh masalah “kawanan Anabaptis” yang “membuat banyak masalah bagi saya” (Ellis, Originial Letters Relative to the English Reformation, I. 65). Hooper, sang Protestan yang menganiaya kaum Baptis itu, belakangan dibakar juga oleh Ratu Mary yang Katolik.
7. Contoh lain adalah Nicholas Ridley, yang dibakar oleh Ratu Mary pada 17 Oktober 1555 (pada waktu yang sama dengan Latimer). Seperti Thomas Cranmer, Ridley terlibat dalam penghukuman mati Joan Bucher (Joan dari Kent) selama pemerintahan Edward VI. Ridley juga terlibat dalam pembakaran George van Pare pada tahun 1551. Hukuman mati tokoh Anabaptis ini ditandatangani oleh Ridley, Cranmer, dan Coverdale.
8. Tokoh Protestan, John Philpot, yang dibakar oleh Ratu Mary pada 18 Desember 1555, juga mendukung pembakaran Joan dari Kent. Philpot bersaksi, “Mengenai Joan dari Kent, dia adalah seorang wanita murahan (saya mengenal baik dia), dan sungguh seorang penyesat, sangat pantas untuk dibakar…” (Philpot’s Work’s, Parker Society, hal. 55). Demikian juga yang dikatakan oleh Ratu Katolik Mary tentang sang Protestan Philpot.
9. Contoh lain lagi dalam urusan yang menyedihkan ini adalah John Rogers. Dia juga mendukung pembakaran Anabaptis, Joan Boucher. Sejarahwan John Foxe, yang memperlihatkan kebaikan dirinya, menentang pembakaran tersebut, dan mencoba untuk menyelamatkan wanita tersebut dari pengadilan itu. Foxe memohon temannya Rogers untuk membantunya. Rogers menolak, dengan berkata bahwa dia [Joan] perlu dibakar dan berbicara tentang kematian melalui pembakaran sebagai sesuatu yang ringan. Foxe menarik tangan Rogers dan menjawab, “Nah, bisa jadi bahwa kamu sendiri akan suatu hari diperhadapkan kepada pembakaran yang ringan ini” (Thomas Armitage, A History of the Baptists, 1890). Kita bertanya-tanya apakah Rogers ada memikirkan pernyataan tersebut, ketika beberapa tahun kemudian dia digiring keluar ke setumpuk kayu bakar dan dibakar di hadapan istri dan 11 anaknya oleh Ratu Katolik Mary.
10. Hugh Latimer juga adalah seorang reformator Protestan lainnya yang terkenal yang mendukung penganiayaan dan pembakaran kaum Baptis pada zaman Edward. Latimer dibakar oleh Ratu Katolik Mary pada 17 Oktober 1555, tetapi sebelum itu dia sendiri tangannya berlumuran darah orang-orang kudus. Dia adalah uskup London di bawah Edward VI, dan walaupun dikabarkan bahwa dia adalah seorang yang baik hati, kebaikan itu tidak berlaku bagi kaum Anabaptis. Dalam salah satu khotbah yang dia sampaikan di hadapan Raja Edward, Latimer menyebut para Anabaptis “penyesat-penyesat beracun” dan mengacu kepada pembakaran mereka, dengan dingin berkata, “Ya, biarkan mereka pergi” (Cranmer’s Sermons, Parker Society, vol. v).
Mengenai martir mereka sendiri, kaum Protestan jelas tidak menunjukkan sikap yang sama, “Ya, biarkan mereka pergi” — dengan kata lain, bagus sekalian hilang sana. Mereka sama sekali tidak memiliki sikap ini. Para sejarahwan Protestan, seperti Foxe dan Wylie dan ribuan lainnya, telah mendirikan peringatan-peringatan besar untuk ingatan akan martir-martir mereka, tetapi sejarahwan-sejarahwan yang sama ini secara umum tidak menyinggung sedikit pun kecuali cercaan bagi ingatan akan kaum Baptis.
(Bersambung minggu depan untuk tokoh-tokoh reformator lainnya)