Penganiayaan oleh Kaum Protestan (bagian 2)

KAUM BAPTIS DIANIAYA PADA ZAMAN RATU ELIZABETH I

Ratu Elizabeth I mengambil alih takhta dari Ratu Mary yang berhaluan Roma Katolik, dan Elizabeth menyetir Gereja Inggris ke atas dasar yang lebih Protestan.

1. Walaupun Elizabeth memberikan kebebasan kepada kaum Protestan dan memperlakukan kaum Katolik dengan toleran (walaupun mereka terus menerus berkomplot melawan tahktanya dan bahkan nyawanya), dia memperlakukan kaum Baptis dengan keras.

2. Kaum Baptis bertambah banyak di Inggris dan tersebar di banyak bagian negeri itu. Langley, dalam bukunya English Baptists, sebelum tahun 1602, menyebut gereja-gereja di sembilan wilayah county yang berasal dari sekitar 1576 hingga 1600. Jemaat-jemaat ini tumbuh dari pemberitaan Injil orang Inggris asli yang telah berlangsung untuk waktu yang lama. Mereka juga mulai ber-emigrasi dari Belanda, dan Perancis, dan tempat-tempat lain, dengan harapan bahwa Ratu Protestan di Inggris akan memberikan mereka lebih banyak kebebasan daripada negara asal mereka.

3. Didukung oleh para uskup Gereja Inggris, dalam hitungan bulan dia naik takhta, Elizabeth mengeluarkan sebuah proklamasi bahwa kaum Anabaptis harus ditemukan dan ditransportasi keluar dari Inggris, dan jika mereka tidak pergi, mereka akan dihukum. Dia mengatakan bahwa kaum Anabaptis “terjangkit oleh pendapat-pendapat yang berbahaya.”

Pada 4 Februari 1559, High Commision Court (sejenis Pengadilan Tinggi) dibentuk oleh Parlemen. Sang Ratu mengeluarkan larangan untuk mengkhotbahkan doktrin apapun yang bertentangan dengan Gereja Inggris. Dia melarang penerbitan buku “sesat” manapun. Dia juga memulai “pembesukan kerajaan,” yaitu perwakilan Raja/Ratu akan mengelilingi negara dalam satu putaran, dengan kuasa untuk mencari semua penyesat.

Pada akhir tahun 1559, Undang-Undang Keseragaman Agama diberlakukan. Undang-undang ini membuat doktrin dan praktek Gereja Inggris menjadi hukum bagi negeri itu.

 

4. Pada Juni 1575, dua orang Anabaptis Belanda dibakar hingga mati di Smithfield. Awalnya sebelas orang dihukum bakar setelah sebuah pengadilan dewan gereja di Katedral St. Paul, tetapi sembilan orang lainnya akhirnya diusir saja.

Salah satu yang dibakar adalah HENDRICK TERWOOKT. Dia adalah seorang muda, sekitar 25 tahun, yang baru saja menikah beberapa minggu. Dia telah lari ke Inggris untuk menghindari penganiayaan di Fleming, dengan anggapan bahwa Ratu Elizabeth yang Protestan akan lebih berbelas kasihan.

Orang yang satu lagi, JAN PIETERS, adalah seorang yang lebih tua, dengan seorang istri dan sembilan anak yang bergantung pada hasil kerjanya. Istrinya yang pertama telah dimartir di Flanders, dan istrinya yang sekarang adalah janda seorang martir. Sekarang wanita itu menjadi janda seorang martir untuk kedua kalinya.

Surat pemutusan kematian bagi kedua orang tersebut, yang dikeluarkan oleh sang Ratu Protestan, hampir sama persis dengan yang dikeluarkan oleh Ratu Katolik, Mary.

“Sang Ratu tidak mau mengalah. Pada tanggal 15 Juli, dia menandatangani surat eksekusi untuk dua orang dari antara mereka, memerintahkan para sheriff London untuk membakar mereka hidup-hidup di Smithfield. Sebuah salinan surat tersebut saat ini ada di hadapan saya. Juga ada di hadapan saya sebuah salinan surat pembakaran Uskup Agung Cranmer dari zaman Ratu Mary. Kedua surat ini secara substansi sangat mirip. Bahkan, mereka memakai gaya bahasa yang hampir sama, kata demi kata. Mary, sang pemuja Paus, mematikan sang Protestan, dan Elizabeth, sang Protestan, memerintahkan pembunuhan sang Baptis, menggunakan alasan-alasan yang sama dan memakai bentuk tulisan yang sama. Keduanya menyebut korban-korban mereka sebagai “penyesat.” Keduanya mengasumsikan diri ‘berjuang demi keadilan.’ Keduanya adalah ‘pembela iman yang Katolik’ (Editor: universal maksudnya). Keduanya mendeklarasikan keteguhan mereka untuk ‘mempertahankan dan membela gereja yang kudus, hak-hak dan kebebasan gereja itu.’ Keduanya menegaskan kegigihan mereka untuk ‘mencabut dan membinasakan kesesatan dan kesalahan.’ Keduanya menyatakan bahwa para penyesat yang disebut dalam surat telah diadili dan dijatuhi hukuman ‘sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan negeri.’ Keduanya memerintahkan para sheriff untuk membawa orang-orang tahanan mereka ke ‘tempat yang publik dan terbuka,’ dan di sana untuk ‘menyerahkan mereka ke dalam api,’ di hadapan orang-orang, dan untuk membuatkan mereka ‘sungguh terbakar’ dalam api yang disebut di atas. Keduanya memperingatkan para sheriff akan bahaya bagi mereka jika mereka gagal” (John Cramp, Baptist History, 1852).

 

Sang ratu tidak memiliki alasan untuk mengklaim bahwa orang-orang ini berbahaya bagi takhtanya. Mereka telah menyerahkan kepada sang ratu pernyataan iman berikut:

“Kami percaya dan mengakui bahwa para magistrasi (hakim-hakim) telah ditetapkan oleh Allah, untuk menghukum kejahatan dan melindungi yang baik; dan magistrasi itu hendak kami taati dari hati kami, sebagaimana tertulis dalam 1 Petrus 2:13, ‘Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia.’ ‘Karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang’ (Roma 13:4). Dan Paulus mengajari kita untuk menaikkan ‘permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan’ (1 Tim. 2:1-4). Lebih lanjut lagi dia mengajarkan kita untuk ‘tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik’ (Titus 3:1). Jadi, kami memohon kepada paduka yang mulia, untuk dengan baik memahami maksud kami; yaitu, bahwa kami tidak merendahkan sang ratu yang eminen, terhormat dan penuh kurnia, dan juga dewannya yang bijak, tetapi kami menganggap mereka pantas untuk segala kehormatan, dan kepada mereka kami mau taat dalam segala hal yang dapat kami perbuat. Sebab kami mengaku, sama seperti Paulus di atas, bahwa sang ratu adalah hamba Allah, dan bahwa jika kami menolak kuasa ini, kami menolak perintah Allah; sebab ‘pemerintah bukanlah musuh kebaikan, tetapi musuh kejahatan.’ Jadi kami mengakui berada di bawah dia, dan siap untuk memberikan, penghargaan, pajak, hormat, dan rasa takut, sebagaimana Kristus sendiri telah mengajar kita, dengan berkata, ‘Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah’ (Mat. 22:21). Jadi, karena Ratu adalah hamba Allah, kami dengan lembut memohon kepadanya yang mulia, agar ia berkenan untuk menyatakan belas kasihan kepada kami tahanan-tahanan yang menderita, sama seperti Bapa kita di sorga juga penuh belas kasihan (Luk. 6:36). Kami dengan cara yang sama tidak setuju dengan orang-orang yang menentang magistrasi; tetapi mengakui dan mendeklarasikan dengan seluruh hati bahwa kami taat dan berada di bawah mereka, sebagaimana kami tulis di sini” (Von Braght, Martyr’s Mirror, hal. 929).

5. Pada tahun 1593, dua pelayan puritan, Copping dan Thacker, digantung karena mengajarkan yang tidak sesuai (J.J. Stockdale, The History of the Inquisitions, 1810, hal. xxx).

6. Sekitar waktu kekalahan armada Spanyol pada tahun 1588, Elizabeth menunjuk John Whitgift sebagai Uskup Agung Canterbury. Dalam semangatnya untuk membuat semua orang tunduk kepada Gereja Inggris, dia memenuhi penjara dengan kaum Baptis. “…pada akhirnya, sekitar lima puluh dua ditahan untuk periode waktu yang lama dalam ‘liang-liang penjara yang paling buruk dan kotor,’ tanpa tempat tidur atau bahkan jerami untuk berbaring.” Dalam khotbahnya, Whitgift menyebut kaum Anabaptis “orang-orang yang melenceng dan sombong.” Ada yang melarikan diri dari negeri, tetapi banyak yang tetap tinggal dan dianiaya.

 

7. Penganiayaan secara umum memaksa kaum Baptis untuk menghilangkan diri dari pandangan umum semasa pemerintahan Elizabeth, tetapi kita tahu bahwa mereka terus eksis. Sejarahwan Strype menggambarkan sebuah gereja di London pada tahun 1588 dengan pandangan “anabaptis.” Dia berkata bahwa mereka berkumpul secara rutin pada hari Minggu, mengkhotbahkan Firman Allah, mengambil persembahan, mengirimkan bantuan kepada saudara-saudari mereka yang dianiaya dalam penjara, tidak menganggap gereja Inggris sebagai gereja yang sejati, menolak baptisan bayi, dan berpendapat bahwa negara tidak seharusnya mencampuri masalah kepercayaan iman.

 

KAUM BAPTIS DIANIAYA SELAMA MASA RAJA JAMES I

Ketika Elizabeth meninggal, James I (1603-25) naik ke atas takhta Inggris. Dia adalah raja yang mengotorisasi penerjemahan maha karya Kitab Suci Inggris itu, Alkitab King James, yang muncul pada tahun 1611.

1. Dia juga menganiaya kaum Baptis dengan berapi-api. Mereka dipenjarakan, barang-barang mereka disita, dan satu orang dibakar.

2. Orang terakhir yang dibakar hidup-hidup di Inggris oleh karena iman kepercayaannya adalah EDWARD WIGHTMAN, seorang Baptis, di Smithfield pada tanggal 11 April 1612, di bawah pemerintahan James I. (Satu bulan sebelumnya, Bartholomew Legate juga telah dibakar. Dikatakan bahwa ia adalah seorang Arian, yang berarti dia menyangkali keilahian Kristus). Ada banyak jenis “kesesatan” yang dituduhkan pada Wightman, tetapi sebagaimana Thomas Crosby, penulis dari The History of the English Baptists (1738) mengobservasi: “Banyak dari kesesatan yang mereka tuduhkan padanya adalah hal yang sedemikian konyol dan tidak konsisten, sehingga membatalkan apa yang mereka katakan. Jika ia sungguh berpegang pada kepercayaan seperti itu, pastinya ia seorang idiot atau seorang gila, dan mestinya didoakan dan dibantu, daripada dimatikan dengan sedemikian kejam” (Crosby, I, hal. 108). Tiga hal yang karenanya Wightman dibakar adalah sebagai berikut: ‘Bahwa pembaptisan bayi adalah suatu kebiasaan yang keji: Bahwa Perjamuan Tuhan dan Baptisan tidak seharusnya dirayakan sebagaimana sekarang ini dipraktekkan dalam gereja Inggris: Bahwa kekristenan tidak sepenuhnya diakui dan diberitakan di gereja Inggris, melainkan hanya sebagiannya saja.” Mengenai ketiga hal ini, saya setuju dan berdiri teguh bersama dengan sang martir Baptis kuno ini! Adalah fakta yang menarik bahwa baik martir pertama maupun martir terakhir yang dibakar di Inggris karena agamanya adalah orang Baptis. “Yang pertama yang dimatikan dengan cara yang kejam ini di Inggris adalah William Sawtre, katanya karena dapat dibuktikan ia menolak baptisan bayi; dan lalu orang ini, yang terakhir yang mendapat kehormatan merasakan kemartiran seperti ini, juga secara tegas dikecam karena pendapat yang sama: sehingga sektenya mendapat kehormatan untuk membuka jalan, sekaligus menjadi penutup dari semua martir yang dibakar hidup-hidup di Inggris” (Crosby, I, hal. 109).

3. Orang-orang lain ada yang mati selama pemerintahan James I, tetapi bukan dengan cara pembakaran. Mereka mati dalam penjara. Ini bukan karena kebaikan hati sang raja, tetapi karena teriakan protes publik melawan pembakaran. Sejarahwan Thomas Fuller mencatat, “Raja James, karena alasan politik, lebih suka agar setelah ini para penyesat, walaupun sudah dijatuhi hukuman, lebih baik dengan senyap dan tersendiri habis dalam penjara, daripada mendapat kehormatan, sekaligus menjadi tontonan publik, untuk menghadapi eksekusi publik, yang menurut penilaian populer mirip dengan penganiayaan” (Fuller, The Church History of Britain). Thomas Crosby setuju: “Raja James memilih agar di masa depan, hanya untuk menyita rumah dan tanah mereka, dan menghabiskan kehidupan mereka secara tersembunyi di penjara-penjara yang kotor, daripada memberi mereka kehormatan kemartiran publik, yang tidak terhindarkan akan disebut sebagai penganiayaan” (The History of the English Baptists, I, hal. 110).

4. Pada tahun 1610, kaum Baptis mengajukan petisi ke House of Lords, untuk dilepaskan dari penjara, tempat mereka ditahan karena hati nurani.

Mendekat kepada sidang dengan rendah hati dan lembut, petisi Baptis tersebut mengandung kata-kata menyentuh berikut: “Sebuah permohonan yang rendah hati dari berbagai tahanan miskin, dan banyak lagi yang lain dari antara rakyat Raja yang pribumi dan setia, yang siap untuk bersaksi dengan sumpah kesetiaan dengan segala ketulusan, yang permasalahannya sungguh disayangkan, hanyalah karena masalah hati nurani.”
Petisi ini disimpan oleh Perpustakaan House of Lords, dan ditandai, “Telah dibaca dan ditolak.”

5. Sedikitnya enam orang yang terlibat dalam penerjemahan Alkitab King James berpartisipasi dalam penganiayaan terhadap kaum Baptis dan kaum separatis lainnya pada tahun 1590an.

Richard Bancroft, yang membuat instruksi untuk penerjemahan tersebut, telah bekerja secara erat dengan Uskup Agung Canterbury, Whitgift, “mencabut jemaat-jemaat Separatis di London” (Adam Nicholson, God’s Secretaries, hal. 86). Bancroft sangat agresif dalam aktivitas ini, mengirimkan berbagai mata-mata untuk mencari kaum separatis [Editor: separatis di sini bukan dalam pengertian politik, tetapi orang yang tidak mau bergabung dengan gereja Inggris]. Ketika Bancroft mengambil alih sebagai Uskup Agung Canterbury menggantikan Whitgift, dia meneruskan pekerjaan penganiayaan melawan semua kaum “non-conformist” [Editor: kaum yang tidak mau menurut].

Sangat menyedihkan bahwa Lancelot Andrewes terlibat dalam urusan yang parah ini. Dia bertanggung jawab untuk menginterogasi para separatis [Editor: bukan separatis negara, tetapi separatis dari Gereja resmi], di bawah Bancroft, dan dia turun secara pribadi ke “sel-sel yang buruk,” dalam usaha untuk menemukan kesesatan dalam diri korban-korban inkuisisi Anglikan tersebut. Dia menginterogasi Henry Barrow, seorang pemimpin separatis, pada bulan Maret 1590 di Penjara Fleet. Barlow memulai dengan menekankan bahwa satu-satunya standar yang dia pegang adalah Alkitab, bahwa “Kitab Allah seharusnya menentukan secara damai semua kontroversi kita.” Dia bersaksi, “Saya dengan rela menyerahkan seluruh iman saya untuk dicobai dan diadili oleh firman Allah.” Andrewes menjawab bahwa orang Kristen harus membiarkan “gereja” untuk menafsirkan Kitab Suci dan bahwa mereka tidak boleh menuntut hak untuk penafsiran pribadi, tidak boleh, meminjam istilah yang dia pakai, memiliki “roh pribadi.” Barrow mengeluh tentang pemenjaraan selama tiga tahun dan bahwa “kesendirian, hilangnya sensasi, kondisi lingkungan yang sangat buruk, telah membuat dia masuk ke dalam depresi yang mendalam” (Nicholson, hal. 91). Respons Andrewes terhadap permintaan yang penuh kesedihan ini, adalah sesuatu yang memalukan baginya. Dia berkata: “Untuk pemenjaraan ini, kamu paling berbahagia. Kehidupan yang sendirian dan penuh perenungan adalah kehidupan yang saya anggap paling bahagia. Itu adalah kehidupan yang saya sendiri akan pilih.” Barlow memahami betapa bodohnya pernyataan tersebut dan menjawab: “Anda berbicara secara filosofis, tetapi tidak secara Kristiani. Sedemikian manisnya harmoni kasih karunia Allah bagi saya dalam jemaat, dan juga dalam persekutuan orang-orang kudus dalam segala waktu, sehingga saya membayangkan diri saya seekor burung pipit di atap rumah ketika saya diusir sama sekali. Akankah anda juga bahagia, Mr. Andrewes, jika tidak mendapat olahraga dan udara segar sedemikian lama? Hal-hal ini juga penting untuk tubuh alamiah.” Andrewes sungguh telah menjawab secara filosofis, tetapi tidak secara Kristiani. Tidaklah Kristiani untuk menganiaya mereka yang percaya hal yang berbeda, untuk melemparkan mereka ke dalam sel-sel penjara dan untuk membakar mereka. Barrows dimatikan pada tanggal 6 April 1593, setelah enam tahun pemenjaraan, dan Andrewes berbicara dengan dia lagi pada malam kematiannya. Barrows dihukum mati karena “menyangkali otoritas para uskup, menyangkali kekudusan gereja Inggris dan liturginya dan menyangkali otoritas ratu atas gereja.”

Henry Saville juga terlibat dalam interogasi-interogasi ini. Dia menginterogasi Daniel Studley di Penjara Fleet.

Thomas Sparkes menginterogasi Roger Waters yang berusia 18 tahun, yang ditaruh dalam penjara selama setahun “dalam rantai-rantai dalam lubang-lubang paling bau di penjara Newgate, yang dikenal sebagai Limbo” (Nicholson, God’s Secretaries, hal. 88).

Thomas Ravis menggantikan Bancroft sebagai uskup London, dan melanjutkan jejak penganiayaannya. “Segera setelah ia naik ke posisinya di London, dia mengulurkan tangannya untuk mempersulit kaum Puritan yang tidak mau tunduk [pada gereja resmi]. Di antara lain, dia memanggil ke hadapannya, orang yang kudus dan diberkati itu, Richard Rogers, yang selama lima puluh tahun telah melayani dengan setia di Weathersfield, dang yang tentangnya diberikan kesaksian, ‘Tuhan tidak menganugerahi kepada orang lain lebih lagi dari pada dia, dalam hal pemenangan jiwa.’ Dalam hadirat orang yang hebat ini, yang karena kedekatannya pada Allah dijuluki Henokh zaman itu, Uskup Ravis memprotes, ‘Dengan bantuan Yesus, saya tidak akan membiarkan ada satu pengkhotbah pun dalam wilayah ini, yang tidak tunduk dan ikut.’ Namun petinggi gereja itu harus mengalami kekecewaan; karena dia mati, sebelum misinya itu dia mulai dengan sungguh, pada tanggal 14 Desember 1609” (Alexander McClure, The Translators Revived, 1855).

George Abbot, yang menjadi Uskup Agung Canterbury, adalah seorang penganiaya. “Dia tidak akan bertangguh, belakangan dalam karirnya, untuk menggunakan siksaan terhadap pada penjahat, dan untuk menghukum mati pada Separatis” (Nicholson, hal. 157).

6. Pada tahun 1615, kaum Baptis menyampaikan petisi kepada Raja James untuk kebebasan beragama. Mereka menyatakan doktrin mereka secara gamblang dan membuktikannya lewat Kitab Suci bahwa bukanlah kehendak Kristus bahwa orang-orang Kristen menganiaya mereka yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Hal ini juga ditolak.

7. Joseph Ivimey mengobservasi bahwa kaum Baptis “menderita amat sangat dari tahun 1590 hingga 1630.” Berikut ini adalah sebuah gambaran yang ditulis oleh seorang Baptis dalam tahanan:

“Kesengsaraan kami adalah pemenjaraan yang panjang dan berkelanjutan selama banyak tahun di berbagai county di Inggris, dan dalam semua itu banyak yang mati dan meninggalkan janda-janda dan anak-anak kecil; penyitaan barang-barang kami, dan hal-hal sejenis, yang sebenarnya dapat kami jelaskan dengan baik; bukan karena kurangnya kesetiaan kepada raja, atau untuk melukai manusia manapun, biarlah musuh-musuh kami dapat menjadi hakim; tetapi hanya karena kami tidak berani untuk menyetujui, dan mempraktekkan dalam penyembahan pada Allah, hal-hal yang sama sekali kami tidak imani, karena itu adalah dosa terhadap Yang Mahatinggi” (dari traktat “Permohonan yang Paling Rendah Hati dari Rakyat Raja yang Setia; yang dianiaya (hanya karena berbeda dalam hal agama), berlawanan dengan kesaksian ilahi dan manusia,” dikutip oleh John Cramp, Baptist History).

8. Sikap yang kejam dari banyak pelayan Anglikan terhadap kaum Baptis, terlihat dalam contoh pada tahun 1644, dengan penerbitan “THE DIPPERS DIPT; atau, Kaum Anabaptis Dicemplungkan dan Dibenamkan melewati Kepala dan Telinga dalam Perdebatan di Southwark.” Penulis Anglikan yanb berpengaruh, Daniel Featley, menggambarkan kaum Anabapstis di Vienna, diikat bersama dengan rantai, dan ditenggelamkan di sungai. Dia lalu mengobservasi dengan dingin, “Di sini anda melihat tangan Allah dalam menghukum anggota-anggota sekte ini untuk dosa-dosa mereka….” Berikut adalah contoh lain dalam publikasi tersebut:

“Dari semua penyesat dan pemecah belah, kaum Anabaptis harus diperhatikan paling seksama dan dihukum dengan berat, jika bukan dicabut sepenuhnya dan diusir dari gereja dan negara. … Mereka mengkhotbahkan, dan mencetak, dan mempraktekkan ketidakkudusan mereka yang sesat secara terbuka; mereka menggelar pertemuan mereka secara mingguan di kota-kota terbesar kita dan daerah-daerah sekitarnya, dan di sana mereka bergiliran bernubuat [Editor: dalam pengertian menyampaikan firman Tuhan di sini]. …Mereka bergerombol dalam jumlah besar ke sungai-sungai Yordan mereka, dan baik lelaki maupun wanita masuk ke dalam sungai, dan dicelupkan sesuai dengan cara mereka seolah di bawah sihir, yang berisikan paham-paham mereka yang salah. … Dan sambil mereka menajiskan sungai-sungai kita dengan pemandian mereka yang kotor, dan mimbar-mimbar kita dengan nubuat palsu mereka dan antusiasme mereka yang fanatik, demikianlah percetakan-percetakan mengeluh di bawah beban penghujatan mereka” (Featley, The Dippers Dipt).

 

 

KAUM BAPTIS DIANIAYA DI INGGRIS 1626-1689

Gereja Anglikan berlanjut menganiaya orang-orang yang berusaha untuk menyembah Tuhan secara independen, hingga hampir akhir abad 17.

1. Banyak pengkhotbah Baptis menderita hukuman penjara yang panjang selama abad 17 di Inggris.

Francis Bampfield mati di penjara setelah menghabiskan sembilan tahun hidupnya dalam rantai.

John Miller dipenjarakan selama sepuluh tahun.

Henry Forty menghabiskan dua belas tahun dalam penjara.

John Bunyan menulis Perjalanan Seorang Musafir-nya yang terkenal sementara mendekam di penjara selama 12 tahun yang panjang, tanpa dapat menunjang istrinya dan putrinya terkasih yang buta.

Joseph Wright terbaring di penjara Maidstone selama dua puluh tahun.

George Fownes mati di penjara Gloucester.

Samuel Howe mati di penjara pada tahun 1640 dan dikuburkan disamping sebuah jalan karena Gereja Inggris menolak untuk mengizinkan dia dikuburkan di tempat pemakaman.

Thomas Delaune dan keluarganya mati di Penjara Newgate yang penuh sengsara.

Delaune tumbuh besar dalam sebuah keluarga Roma Katolik di Irlandia, mendapatkan pendidikan yang bagus, dan dimenangkan kepada Kristus oleh seorang pengkhotbah Baptis. Dia pindah ke London dan menjadi seorang kepala sekolah dan adalah anggota sebuah gereja Baptis.

Benjamin Calamy, seorang rohaniwan yang melayani raja, menerbitkan sebuah khotbah yang menantang para non-conformist (orang-orang yang tidak mau ikut gereja resmi dari negara) untuk menuliskan doktrin dan ketidaksetujuan mereka terhadap Gereja Inggris. Delaune menjawab tantangan tersebut dan menuliskan “Plea for the Nonconformists” (Permohonan bagi Para Nonconformists). Ketika buku itu diterbitkan, segera disita oleh seorang utusan raja dan Delaune dipenjarakan.

Dari dalam penjara dia menulis kepada Calamy dan memintanya untuk mengintervensi baginya, tetapi orang itu tidak mau menolongnya atau bahkan menjawab surat Delaune.

Pada Januari 1684, Delaune didenda 100 mark, dan akan dipenjarakan hingga denda itu dibayar, untuk menjamin setahun ke depan, dan buku-bukunya harus dibakar. Karena kini dia tidak memiliki pekerjaan, dia tidak dapat membayar dendanya, dan dia beserta keluarga jatuh miskin. Istrinya dan dua orang anak yang masih kecil harus hidup bersama dia dalam penjara karena tidak adanya penghidupan, dan situasi yang tidak sehat di sana merenggut nyawa mereka satu per satu.

 

2. Orang-orang yang percaya Alkitab dianiaya secara kejam selama pemerintahan Raja Charles II (1660-1685) dan Raja James II (1685-1688).

 

3. “Undang-Undang Keseragaman” pada tahun 1662, membuat banyak orang dipukuli dan dipenjarakan.

Undang-undang Conventicle yang pertama, pada tahun 1664, melarang semua pertemuan agamawi yang tidak sejalan dengan Gereja Inggris. Hukuman-hukuman yang diancamkan antara lain denda yang berat dan pemenjaraan, dan bagi pelanggaran ketiga, pengusiran ke koloni Amerika selama tujuh tahun.

Undang-undang Five-Mile pada taun 1665 melarang para pengkhotbah non-conformist untuk masuk dalam radius lima mil ke kota atau desa apapun yang mengandung sebuah jemaat Gereja Inggris di dalamnya. UU ini juga melarang mereka untuk mengajar di sekolah umum ataupun pribadi mana pun. Hukuman untuk setiap pelanggaran adalah denda yang berat yang melampaui kemampuan kebanyakan orang.

Undang-undang Conventicle kedua pada tahun 1670 lebih parah lagi.

Selain pemenjaraan dan siksaan lainnya, juga akan ada denda berat bukan hanya atas semua pengkhotbah dan pengikut non-conformist, tetapi juga atas semua pemilik gedung yang dipakai untuk pertemuan-pertemuan non-conformist.

Denda-denda tersebut dibayar oleh penjualan harta milik orang-orang percaya, yang sering terjual dengan harga sangat rendah dibandingkan nilai sejati mereka. Karena sepertiga dari harga denda akan diberikan kepada informan, banyak orang termotivasi untuk melaporkan para separatis dari Gereja Inggris tersebut.

Banyak yang jatuh miskin melarat. Ayah-ayah yang mendekam dalam penjara tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong keluarga mereka yang miskin papa.

Antara tahun 1660 dan 1689, sekitar 70.000 lelaki dan wanita menderita di bawah penganiayaan agamawi di Inggris; 8.000 orang mati; dan puluhan juta dolar dibayarkan lewat denda.

 

4. Tangan panjang Gereja Anglikan juga menimbulkan penganiayaan kepada orang-orang yang percaya Alkitab di Amerika, sebelum kemerdekaan. Koloni Virginia adalah koloni Anglikan, dan pada tahun 1643, sang gubernur menjalankan penganiayaan terhadap orang-orang yang tidak sepaham. Banyak orang yang dicambuk, dicap besi panas, dipenjarakan, didenda, dan diusir dari koloni tersebut.

 

5. Akhirnya, pada tahun 1689, Undang-undang Toleransi dimunculkan di Inggris, yang mengurangi jauh tekanan pada semua penentang, memberikan kepada mereka kebebasan hati nurani dan menjadikan tindakan kriminal siapapun yang mengganggu tindakan agamawi orang lain. Jadi, barulah 155 tahun setelah pembentukannya, Gereja Inggris berhenti menganiaya.

 

PENGANIAYAAN OLEH KAUM PROTESTAN DI AMERIKA

Kaum Protestan yang tinggal di Amerika, walaupun sendirinya melarikan diri dari penganiayaan agamawi, ternyata sendirinya juga menganiaya kaum Baptis dan Quaker dan kaum-kaum lain yang berbeda dengan mereka, hingga sekitar waktu Kemerdekaan Amerika dan dibentuknya Konstitusi (semacam Undang-undang Dasar) Amerika. Kami akan memberikan dua contoh akan hal ini.

 

MASSACHUSETTS

1. Negara bagian Massachusetts didirikan oleh koloni para Pilgrim di Plymouth pada tahun 1620, dan oleh kaum Puritan dari Massachusetts Bay Colony di tahun 1630.

Para pilgrim adalah kaum separatis yang telah dipaksa untuk melarikan diri dari penganiayaan Gereja Inggris. Mereka menghabiskan waktu sejenak di Belanda, lalu berperjalanan dengan kapal ke Amerika. Sementara di Belanda, mereka menikmati sampai tahap tertentu kebebasan beragama, tetapi mereka tidak memberikan hak yang sama kepada orang-orang lain. Mereka mempraktekkan baptisan bayi dan mengutuki kaum Anabaptis.

Kaum Puritan adalah orang-orang Anglikan yang menginginkan semacam reformasi pada Gereja Inggris, tetapi yang tidak memisahkan diri dari Gereja Inggris tersebut. Mereka membawa bersama mereka dari Inggris, konsep yang salah tentang gereja negara dan semangat penganiayaan.

2. Berikut adalah beberapa contoh penganiayaan oleh kaum Prostestan dalam sejarah awal Massachusetts, sebelum terbentuknya negara Amerika:

 

ROGER WILLIAMS diusir dari Massachusetts pada tahun 1635.

Seorang terpelajar yang gigih, yang bisa membaca Alkitab dalam bahasa Yunani dan Ibrani, Williams tiba di Amerika dari Inggris, dengan istrinya yang belum lama dinikahi pada Februari 1631.

Dia adalah seorang hamba Tuhan Anglikan yang telah ditahbiskan, dan pada waktu ia tiba di Amerika, ia masih berpegang pada baptisan bayi.

Sementara tinggal di Plymouth, Williams berkhotbah kepada orang-orang Indian asli. Dia mempelajari bahasa mereka dan membuat banyak sahabat di antara mereka, termasuk dua orang kepala suku mereka.

Pada bulan Agustus 1634, dia ditunjuk sebagai gembala sidang dari jemaat Anglikan di Salem.

Tetapi pada 9 Oktober 1635, dia diusir dari koloni tersebut karena mengkhotbahkan “pendapat-pendapat yang baru dan berbahaya.” Dia diberikan waktu enam minggu untuk pergi, dan pada bulan Januari dia dipaksa ke padang belantara di tengah musim dingin New England (daerah itu secara umum disebut New England) yang brutal.

Orang-orang Indian membantu dia, dan pada bulan Juni, dia berperjalanan dengan kanoe ke Rhode Island dan mendirikan pemukiman yang disebut Providence.

Orang-orang lain bergabung dengan dia dari Massachusetts, dan tempat itu menjadi benteng kebebasan beragama. Mereka menyatakan tujuan mereka sebagai “membuat suatu eksperimen yang menarik, bahwa suatu pemerintahan sipil yang berkembang dapat berdiri dan dipertahankan dengan cara terbaik, melalui kebebasan penuh dalam hal beragama.”

Pada bulan Maret 1639, Roger William secara publik diselamkan dalam baptisan, dan gereja Baptis pertama di Rhode Island terbentuk. Ini secara umum dianggap gereja Baptis paling tua di Amerika.

Pada bulan Maret 1644, William mendapatkan surat resmi dari raja Inggris untuk mendirikan koloni Rhode Island.

Williams menulis “The Bloody Tenet of Persecution for Cause of Conscience,” dan di dalam tulisan ini dia dengan berani mempertahankan kebebasan hati nurani.

Walaupun berbagai fitnah ditujukan kepada Roger Williams oleh berbagai sejarahwan, banyak penulis Baptis yang terpelajar (dan orang-orang lain juga), telah mencatatkan peristiwa yang sebenarnya. Lihat buku-buku sejarah oleh Thomas Armitage dan David Benedict, sebagai contoh.

Pada tahun 1634, Lady Deborah Moody, yang memiliki sebuah lahan pertanian sebesar 400 acre, di kota Swampscott, dipaksa untuk pindah ke Long Island, New York, untuk tinggal di antara orang-orang Belanda, guna melarikan diri dari penganiayaan di Massachusetts. “Kejahatan”nya adalah bahwa dia menolak baptisan bayi.

Hukum pertama yang dibuat untuk melawan kaum Baptis di Amerika, dibuat di Massachusetts di November 1644. Undang-undang tersebut mengancamkan hukuman-hukuman berat melawan kaum Anabaptis. Pada tahun itu, Thomas Painter dicambuk karena menolak baptisan bayi.

Pada Februari 1646, William Witter dan John Wood dari Lynn, secara publik ditegor dan didenda karena menolak baptisan bayi. John Spur didenda pada Jlui 1651 untuk “kejahatan” yang sama.

Pada tahun 1651, beberapa orang Baptis ditangkap dan satu dicambuk dengan brutal di Massachusetts. Nama-nama mereka yang ditangkap adalah John Clark, Obadiah Holmes, dan John Crandal.

Mereka berasal dari sebuah gereja Baptis di Newport, Rhode Island, dan mereka sedang berkunjung ke rumah William Witter yang telah disebut di atas, seorang saudara Kristen yang sudah tua, di kota Lynn, Massachusetts. Pada waktu itu, tidak ada gereja Baptis di Massachusetts.

Pada hari Minggu, mereka mengadakan kebaktian rohani di rumah Witter; dan sementara Mr. Clark sedang berkhotbah dari teks Wahyu 3:10, dua polisi mendobrak masuk ke rumah itu, menangkap mereka, dan membawa mereka ke penjara di Boston.

Holmes dicambuk dengan 30 kali pukul dari cambuk bercabang tiga. Dalam sebuah surat kepada sebuah gereja Baptis di Inggris, Holmes menceritakan kembali kemurahan Tuhan yang menguatkan dia dalam pencobaan tersebut:

“… karena dalam kebenarannya, sambil cambukan demi cambukan jatuh pada diri saya, saya memiliki suatu manifestasi rohani kehadiran Allah yang sedemikian rupa, yang belum pernah saya miliki atau alami, dan yang tidak dapat diekspresikan oleh lidah daging, dan rasa sakit eksternal itu begitu jauh dari diri saya, sehingga sungguh saya tidak dapat memberitahukannya kepada kalian, itu mudah bagi saya, saya dapat menanggungnya dengan baik, ya, dan dengan suatu cara, saya tidak merasakannya, walaupun para penonton menggambarkannya sangat berat, orang itu memukul dengan segenap tenaganya (ya, meludah ke tangannya tiga kali, sebagaimana ditegaskan banyak orang), dengan cambuk bercabang tiga, memberikan kepada saya tiga puluh pukulan. Ketika di melepaskan saya dari tiang cambuk, dengan rasa sukacita dalam hati saya, dan keriangan dalam muka saya, sebagaimana diobservasi oleh para penonton, saya memberitahu para pejabat, kalian telah memukul saya, seperti dengan mawar….”

Walaupun dia bersaksi bahwa dia tidak menderita waktu dipukuli itu, dia menderita berat dari efek selanjutnya. Pencambukan itu sedemikian keras pada punggung, sisi, dan perutnya, sehingga Holmes tidak bisa berbaring selama berhari-hari selanjutnya.

Sekitar waktu itu, dua orang Baptis lainnya, John Hazel dan John Spur, dipenjarakan karena mereka mendukung dan menghibur Holmes setelah dia dicambuk.

Setelah gereja Baptis pertama akhirnya terbentuk di Massachusetts pada kira-kira tahun 1656, anggota-anggota gereja itu “menghabiskan kebanyakan waktu mereka di pengadilan dan penjara; mereka sering didenda, dan beberapa dari mereka diusir.” Gembala gereja ini, Thomas Gould, dipenjarakan karena imannya. Ketika gereja ini belakangan membangun sebuah gedung pertemuan, para otoritas sipil, pada tahun 1680, memaku tutup pintu-pintunya dan memerintahkan mereka untuk tidak bertemu.

Gereja Baptis yang kedua tidak terbentuk di Massachusetts hingga tahun 1749. Ini adalah di kota Sturbridge, dan banyak anggotanya yang dipenjara, didenda, dan disita hartanya.

Gereja Baptis lainnya terbentuk di tahun 1761, di kota Ashfield, dan diperlakukan dengan cara yang sama. Banyak anggota gereja yang seluruh tanah dan perkebunan anggur mereka disita.

3. Penganiayaan ini berlangsung terhadap banyak gereja Baptis lainnya yang didirikan pada zaman itu, dan hal ini tidak berakhir hingga Massachusetts menjadi sebuah koloni dari Amerika Serikat, dan membentuk Undang-undang Dasar Negara Bagian, pada tahun 1780. Melalui usaha kaum Baptis dan kaum-kaum lain yang mencintai kebebasan beragama, UUD Negara Bagian ini mengandung Jaminan Hak yang menjamin kebebasan beriman.

 

VIRGINIA

1. Yang pertama tinggal di Virginia, kebanyakan berasal dari Inggris, dan mereka mendirikan gereja-gereja Anglikan.

2. Melalui undang-undang tahun 1623, 1643, dan 1661, semua warga diharuskan untuk mengikuti agama dan doktrin tersebut.

3. Undang-undang Virginia, tahun 1659, 1662, dan 1663, mengharuskan semua anak untuk dibaptis dan juga melarang perkumpulan kaum Quakers dan penentang lainnya.

4. Hamba-hamba Tuhan didukung oleh pajak dari warga negara.

5. Berikut adalah contoh-contoh penganiayaan oleh kaum Prostestan di Virginia:

Pada 4 Juni 1768, beberapa orang Baptis ditangkap di Spottsylvania, dan dipenjarakan. Di antara mereka adalah John Waller, Lewis Craig, dan James Childs. Mereka mendekam hampir enam minggu di penjara.

Pada bulan Desember 1770, William Webber dan Joseph Anthony ditangkap dan dicampakkan ke dalam penjara karena berkhotbah di Chesterfield, Virginia. Mereka tetap dalam penjara hingga Maret 1771.

Webber sekali lagi ditangkap pada bulan Agustus, ketika ia berkhotbah di Middlesex. Juga ditangkap pada waktu itu adalah John Waller, James Greenwood, Robert Ware, dan Thomas Waford. Waller, Greenwood, Ware, dan Webber ditahan dalam penjara selama sebulan.

Thomas Waford dipukuli dengan berat dengan sebuah cambuk, dan membawa bekas luka hingga ke kubur.

Pada Agustus 1772, James Greenwood dan William Loveall ditangkap dan dipenjarakan di daerah King and Queen selama 16 hari.

Pada 13 Maret 1774, semua pengkhotbah Baptis di Piscataway ditangkap dan dikirim ke penjara. Mereka adalah John Waller, John Shackleford, dan Robert Ware.

Semuanya, sekitar 30 pengkhotbah Baptis pernah dipenjarakan di Virginia, ada yang sampai empat kali.

6. Semua penganiayaan ini berlanjut hingga Virginia masuk menjadi bagian dari Amerika Serikat.

7. Walaupun sema ini terjadi, gereja-gereja Baptis berkembang pesat di Virginia pada waktu itu. Gereja Baptis pertama terbentuk pada tahun 1767, dan yang kedua pada 1769. Dalam waktu empat tahun telah ada sekitar 50 gereja.

 

 

KESIMPULAN

Semua ini mengingatkan saya akan perumpamaan Tuhan tentang orang yang dihapuskan hutangnya. Dia berhutang pada tuannya 10.000 talenta perak, yang adalah jumlah uang yang besar, tetapi ketika dia tidak bisa membayarnya, dia memohon kepada tuannya untuk berbelas kasihan padanya, dan tuannya itu dengan bebas mengampuninya akan keseluruhan hutang itu. Namun, orang yang sama itu lalu berbalik, dan menganiaya orang lain yang berhutang padanya jumlah yang sangat kecil (Mat. 18:23-25).

Demikain juga, kaum Protestan dengan sungguh-sungguh mencari kebebasan beragama dari kaum Katolik. Ketika mereka mendapatkannya, mereka menolak untuk memberikan hal yang sama kepada kaum Baptis, walaupun kaum Baptis ini memohon kepada mereka dengan rendah hati dan mengutipkan Firman Tuhan dengan cara yang sangat logis dan saleh.

Sebagai contoh, ketika Hans Muller dihadapkan pada dewan kota Protestan, Zurich, karena penolakannya akan baptisan bayi, dia memohon dengan cara demikian: “Janganlah memaksakan hati nurani saya, karena iman adalah karunia Allah yang bebas, dan bukanlah milik bersama. Rahasia ilahi tersembunyi, seperti harta karun di ladang, yang tidak dapat ditemukan siapapun, kecuali dia yang ditunjukkan oleh Roh Kudus. Jadi saya memohon pada kalian, para hamba-hamba Allah, biarkanlah iman saya berdiri dengan bebas” (John Christian, A History of the Baptists). Permohonan Muller diabaikan, sama seperti puluhan ribu kaum Baptis lainnya pada zaman itu.

Berdasarkan otoritas Firman Tuhan, misalnya perumpamaan Tuhan, dan juga nada keseluruhan Kitab Suci Perjanjian Baru, kita bisa yakin bahwa Tuhan tidak menganggap enteng dosa besar ini, dan Dia tidak mengecilkannya seperti yang dilakukan oleh banyak sejarahwan Prostestan. Banyak yang memakai alasan “ketidaktahuan pada zaman itu,” tetapi orang-orang Prostestan yang menganiaya pada zaman itu memiliki Alkitab dan mengakui Alkitab sebagai satu-satunya otoritas atas iman dan praktek mereka. Jadi, mereka sama sekali tidak miliki alasan untuk tidak tahu kehendak Tuhan. Zaman-zaman itu memang gelap, tetapi kaum Baptis, dengan Alkitab yang sama di tangan mereka, melihat terang yang lebih besar, dan terang itu adalah iman Perjanjian Baru yang tidak terkotori oleh tradisi manusia, dan iman itu tidak memberikan otoritas kepada siapapun untuk menganiaya orang-orang yang tidak percaya hal-hal yang sama dengan kita. Kita bisa berkhotbah melawan kesalahan. Kita bisa mendisiplinkan anggota-anggota gereja yang berdosa. Kita bisa menolak kesesatan. Tetapi kita tidak boleh memukul mereka dengan tangan kita, dan memaksa mereka untuk percaya seperti kita percaya. Itu adalah sifat serigala, bukan sifat domba.

 

This entry was posted in Penganiayaan / Persecution, Sejarah dan Doktrin Baptis. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *