(Berita Mingguan GITS 20 Januari 2018, sumber: www.wayoflife.org)
“Yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim. 2:4). C.H. Spurgeon menyebut dirinya sendiri seorang Kalvinis, dan kita tidak meragukan bahwa dia seorang Kalvinis, tetapi dia adalah tipe Kalvinis yang unik sendiri. Dia tidak disukai oleh para Kalvinis yang lebih kuat di zamannya, karena dia menyerukan supaya semua orang diselamatkan (lihat buku Spurgeon vs. the Hyper-Calvinism oleh Iain Murray.) Spurgeon menafsirkan 1 Timotius 2:4 secara literal dan tidak berusaha untuk menghilangkan maknanya lewat penjelasan yang rumit berdasarkan theologi Kalvinis. Dia mengkhotbahkan, “Akankah kita mencoba untuk menaruh makna lain dalam teks ini selain dari yang tercantum secara jelas? Saya katakan tidak. Pastilah, kebanyakan kalian, mengenal metode yang dipakai oleh teman-teman Kalvinis kita yang lebih tua untuk menghadapi teks ini. ‘Semua orang’ kata mereka, yaitu maksudnya ‘sebagian orang’; ‘semua orang,’ kata mereka, yaitu ‘sebagian dari semua jenis orang.’ Roh Kudus melalui sang Rasul telah menulis ‘semua orang,’ dan tanpa diragukan Dia memaksudkan semua orang. … Saya baru saya membaca ekposisi dari seorang doktor yang sangat mumpuni yang menjelaskan teks ini sehingga meniadakan maknanya; dia menaruh bubuk mesiu grammatis ke atasnya, dan meledakkanya dengan cara meneranginya. … Kecintaan saya pada konsistensi pandangan doktrin pribadi saya, tidak cukup besar untuk mengizinkan saya secara sadar mengubah satu teks Kitab Suci mana pun. Saya lebih senang seratus kali terlihat tidak konsisten dengan diri saya sendiri daripada tidak konsisten dengan Firman Allah. … Kiranya Allah menghindarkan saya dari memotong atau mengubah, sekecil apapun, ekpresi ilahi mana pun. Jadi teks sudah berbunyi demikian, dan demikianlah harus kita pahami, ‘Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran’” (C.H. Spurgeon, “Salvation by Knowing the Truth,” Park Street and Metropolitan Tabernacle Pulpit). Gereja Metropolitan Tabernacle, pada zaman Charles Spurgeon, adalah organisasi dengan usaha penginjilan yang besar. Ribuan orang diselamatkan, dengan bukti hidup-hidup yang berubah (sebagai didokumentasikan dalam Wonders of Grace: Original testimonies of converts during Spurgeon’s early years). Gereja itu mengoperasikan 27 Sekolah Minggu dan Sekolah untuk anak-anak tidak mampu, dengan sekitar 600an guru yang melayani lebih dari 8.000 anak-anak.
Termasuk antek2 212?
Ya, Tuhan ingin semua orang diselamatkan. Ketika manusia diselamatkan, mereka berubah.
Kalau si Anies? Apa tidak mending diracun hingga tewas? (membalaskan si Ahok)
Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. (Rom 12:19 ITB)
Daripada satu bangsa dihukum Tuhan (dan yg tak bersalah ikut menjadi korban) apakah tidak lebih baik misalnya 20 juta pendukung hukum syariat/anggota fpi/212/PKS dimasukkan kamp konsentrasi dan aktivis2nya dihilangkan paksa kyk jaman orba?
Melawan kejahatan haruslah dengan cara yang baik. Kalau extra-judicial killing, sangat rentan untuk disalahgunakan. Ini konsep yang sama: daripada penyesatan berlangsung, menyesatkan banyak orang, ini para penyesat dihilangkan saja. Pemikiran seperti itulah yang ada dibalik inkuisisi dan semua penganiayaan lainnya. Akhirnya Iblis tunggangi, dan yang dianiaya akhirnya justru pihak yang benar.
Semua sesuai hukum saja. Kalau ada orang yang aktivis menggulingkan NKRI, mendirikan negara Islam, ya harus diproses.
Orang-orang seperti saya yang sampai terlintas pikiran untuk menyarankan pembunuhan ekstrajudisial untuk aktivis Islam mempunyai satu alasan: Proses terlalu lama. Negara lain sudah ke bulan kita masih jalan di tempat.
Bagaimana dengan cara menghilangkan pelaku dan pemimpin teroris dengan rudal dan drone yang dipraktikkan AS atau Israel? (Targeted killing) Apakah itu sebuah Inkuisisi gaya baru?
Relakah kalau anggota DPR atau aktivis Islam di Indonesia diperlakukan demikian? Demi negara lho..
Harus dibedakan apa yang dilakukan oleh negara, dengan yang dilakukan oleh gereja. Inkuisisi dilakukan oleh gereja (dengan meminjam tangan pemerintah).
Targeted killing sebenarnya cukup bermasalah, karena hukuman mati harus melalui proses hukum. Kalau tidak, maka ada potensi penyelewengan yang besar. Kalau seseorang bisa dibuktikan lewat pengadilan (walaupun in-absentia) layak untuk mendapat hukuman mati, maka mungkin bisa ada pembenaran untuk “eksekusi” tetapi sekali lagi proses harus transparan.
Memang, saya juga tergiur dengan hal seperti ini. Tetapi saya tahu, bahwa proses seperti ini pasti akan ditunggangi, dan sulit dikendalikan.
Jadi lebih baik prosesnya lama dan mungkin ada orang bersalah bebas daripada “pakai cara cepat” seperti extrajudicial killing dan beresiko membuat jutaan nyawa melayang, yang belum tentu bersalah dalam hal politik islam dan kejahatan politis lainnya?
Bukankah lebih baik “mempercepat” penghakiman agar kita cepat majunya?
Kalau diperhadapkan pilihan:
1. Mengutamakan agar orang baik tidak dihukum, walaupun bisa sebagian orang jahat yang lolos.
2. Mengutamakan agar orang jahat dihukum secepatnya, walaupun bisa orang baik ikut kena hukum.
Yang mana mau dipilih? 🙂
Kalau saya pilih nomor 1. Kalau orang jahat lolos, toh dia tidak akan lolos dari hukuman Tuhan.
Sedangkan kalau orang baik kena hukum, maka itu berarti sistem sudah gagal.