(Berita Mingguan GITS 24 Maret 2018, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari “A Key Commonality,” DailyWire.com, 26 Feb. 2018: “Setelah peristiwa tragis penembahan di SMA South Florida [tanggal 14 Februari], yang berakhir dengan 17 kematian, kelompok Demokrat [AS] dan para sekutu mereka di media massa mainstream, melancarkan serangan penuh kepada National Rifle Association (NRA), politikus-politikus Republikan, dan juga warga-warga Amerika pemiliki senjata api, dan juga Amandemen Kedua [yang menjamin kebebasan memiliki senjata]. Dan sementara ada berbagai obrolan mengenai ‘maskulinitas toksik’ yang muncul di berbagai blog sayap-kiri, ada keheningan yang luar biasa mengenai satu hal yang menjadi faktor yang sama yang terdapat dalam mayoritas penembakan di sekolah-sekolah: yaitu rumah tangga tanpa ayah. Sebagaimana diperhatikan oleh Profesor Brad Wilcox dari University of Virginia, tahun 2103, ‘hampir semua penembakan tahun lalu, dalam daftar yang ada di Wikipedia tentang penembakan di sekolah-sekolah AS, melibatkan seorang lelaki muda yang orang tuanya bercerai atau yang orang tuanya tidak pernah menikah sejak awalnya.’ Lebih lanjut lagi, sebuah studi tentang penembak-penembak lelaki yang lebih tua, juga menemukan koneksi yang serupa kepada faktor tumbuh besar tanpa figur ayah. Menulis dalam The Federalist, tahun 2015, Peter Hasson menggarisbawahi fakta bahwa semua penembakan dalam daftar yang dibuat CNN berjudul ‘27 Penembakan Massal paling Mematikan dalam Sejarah AS,’ yang dilakukan oleh lelaki-lelaki muda, hanya satu yang dibesarkan oleh ayah kandungnya sendiri. Penembak sekolah Florida yang paling baru ini, juga tidak memiliki figur ayah, karena ayah angkatnya mati ketika tersangka masih anak kecil. Hasson juga menyarikan korelasi yang mengguncang antara rumah tangga tanpa ayah dengan kekerasan lelaki pada umumnya: “Kekerasan? Ada hubungan langsung antara anak-anak tanpa ayah dan kekerasan remaja. Bunuh diri? Anak-anak tanpa ayah lebih dari dua kali lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri. Putus sekolah? Tujuh puluh satu persen anak yang putus sekolah berasal dari latar belakang tanpa ayah. Penggunaan narkoba? Menurut Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia AS, ‘Anak-anak tanpa ayah menghadapi resiko yang jauh lebih tinggi untuk jatuh pada penyalahgunaan obat dan alkohol.’ Bagaimana dengan senjata api? Dua korelasi paling tinggi dengan pembunuhan menggunakan senjata api adalah tumbuh besar dalam rumah tangga yang tidak memiliki ayah, dan putus sekolah, yang sendirinya berhubungan langsung dengan tiadanya ayah yang aktif atau hadir.” Koneksi yang jelas ini diabaikan secara sengaja dan malas oleh kalangan Kiri, dan kalaupun disinggung, dipakai sebagai bukti untuk lebih lanjut lagi menghantam maskulinitas, yang mereka anggap ‘toksik.’”
Saya ingat anda pernah menyarankan Indonesia perlu ada “2nd amendment” nya sendiri (hak memiliki senjata api) juga.
Apakah anda masih percaya hal demikian?
Percaya saja. Tetapi itu dalam abstrak. Tentu ada banyak hal yang perlu duluan.
Yang paling utama adalah penegakan hukum di Indonesia perlu beres dulu. Ini aja ngga beres, sulit untuk yang lain.
Tetapi secara prinsipiil dan abstrak, kebebasan memiliki senjata api adalah bentuk ekspresi kebebasan yang sudah paling tinggi.
Sebelum bicara kebebasan bersenjata, di Indonesia perlu dibereskan dulu: kebebasan berpendapat / mengemukakan pendapat.
Jadi, perlu dihapuskan pasal penghinaan agama.
Sukmawati bikin puisi bahwa MENURUT DIA, ada hal yang lebih indah dari azan, itu saja mau diperkarakan secara hukum??!!
Jadi, belum bisa bicara bebas bersenjata sebelum yang lebih mendasar: bebas mengemukakan pendapat, FREEDOM OF SPEECH (1st amendemen kalau di AS), itu ada dulu.
Dan bagaimana mengaturnya agar tidak ditunggangi liberal kiri dan politik Islam?
Maksudnya yang ditunggangi apa nih?
Hak berpendapat tadi.
Makanya dalam hal politik islam saya berani dukung kalau mau pakai cara ekstrajudicial untuk menumpasnya dengan cepat.