(Berita Mingguan GITS 17 Maret 2018, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari ““Male Prostitution Big Business at Vatican,” PulpitandPen.org, 6 Mar. 2018: “Dunia terkejut mendengar adanya dunia gelap imam-imam di Vatikan, yang membayar untuk melakukan seks dengan lelaki-lelaki lain. Tetapi mengingat sejarah Gereja Roma Katolik dan kebijakan selibetnya [tidak menikah] yang tragis, homoseksualitas, pedofilia, dan bahkan bestiality adalah hal yang terlalu sering terjadi di kalangan keimamatan mereka. Melarang orang untuk menikah atau melakukan persetubuhan yang kudus dalam pernikahan adalah tanda agama yang kafir atau usaha untuk membenarkan diri melalui pekerjaan (1 Timotius 4:3). Konsekuensi dari tuntutan tidak menikah ini sangatlah buruk dan secara rutin dapat dibaca di koran harian. Seorang pendamping [escort] lelaki bernama Francesco Mangiacapra mengkompilasi sebuah dossier 1200 halaman, yang mengidentifikasi lebih dari 34 imam aktif yang gay dan enam mahasiswa seminari gay di Vatican. Bagaimana dia bisa tahu orang-orang ini? Melalui pengalaman pribadi. Kardinal Cresenzio Sepe dari Keuskupan Naples, mem-forward dossier ini ke Vatikan, walaupun tidak ada imam yang teridentifikasi yang berasal dari Naples, karena dia merasa bahwa korupsi di dekat dan di dalam Vatikan haruslah dibongkar. Dossier yang dikompilasi oleh pelacur pria ini kebanyakan mengandung percakapan dan bukti-bukti yang muncul dari berbagai App yang dipakai untuk berhubungan ‘gay,’ seperti WhatsApp, Grindr, dan Telegram. Di dalamnya, para imam akan mengatur perjumpaan seksual dengan sang gigolo. Informasi yang disediakan dalam platform media sosial seperti Facebook juga ada. Sebuah buku telah diterbitkan mengenai topik budaya imam yang gay di Vatikan, pada bulan Maret tahun lalu, tetapi secara umum diabaikan oleh para pendukung Roma. Oleh sebab itulah, sang pelacur pria itu mengkompilasi data mentah menjadi dossier itu, dan mulai mengirimkannya ke orang-orang yang dia rasa dapat membongkarnya. Dia melakukan hal ini, menurut pengakuannya, karena ia tidak dapat lagi tahan terhadap kemunafikan gereja tersebut. Sama seperti di Amerika, pers agama tidak akan mempublikasikan material ini karena dianggap membahayakan, sehingga harus pers sekuler yang melakukannya. … Ketika Paus Fransiskus berargumen bahwa gereja Roma harus lebih menyambut para homoseksual, sepertinya ini adalah kata-kata yang tidak begitu dibutuhkan lagi. Lihat Jonathan Merritt, ‘This Vatican adviser is moving Catholics toward LGBT inclusion,’ ReligionNews.com, 6 Jun. 2017.”