(Berita Mingguan GITS 5 Mei 2018, sumber: www.wayoflife.org)
Untuk pertama kalinya sejak akhir Perang Korea, tahun 1953, seorang pemimpin Korea Utara menginjakkan kaki pada tanah Korea Selatan. Hal ini terjadi pada Jumat pagi, 27 April, ketika diktator Korea Utara, Kim Jon Un, menyeberangi perbatasan di Panmunjom, ke dalam sektor Korea Selatan untuk bertemu dengan Presiden Moon Jae-in. Kim menulis dalam buku tamu di tempat pertemuan itu, “Suatu sejarah baru dimulai sekarang – pada titik permulaan sejarah dan era perdamaian.” Pada bulan Mei atau Juni, Kim dicanangkan akan bertemu dengan Presiden AS, Donald Trump. Ini akan menjadi pertama kalinya seorang pemimpin Korea Utara bertemu dengan seorang Presiden AS yang sedang menjabat, sejak Perang Korea. Tentu bisa saja semua hal ini tidak membawa dampak apa-apa, tetapi bisa juga memimpin kepada semakin terbukanya Korea Utara dan pengenduran berbagai hukum yang keras menentang kebebasan beragama di sana. Maka hal itu akan menjadi jawaban atas doa-doa banyak orang-orang kudus yang telah memohon kepada Tuhan untuk mengizinkan pemberitaan Injil secara terbuka di negeri yang telah lama diperbudak itu. Kim Jong Un adalah cucu dari Kim Il-sung, yang mendirikan dinasti Kim pada tahun 1948. Di Korea Utara, mereka disebut Garis Keturunan Gunung Paektu. “Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim. 2:1-4).