(Berita Mingguan GITS 9 Juni 2018, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari “Report: ‘Praying, Singing Hymns, and Reading the Bible’ Can Lead to Prison Camp,” CNSNews.com, 30 Mei 2018: “Beberapa minggu sebelum Presiden Trump dijadwalkan akan bertemu dengan Kim Jong Un, sebuah laporan Departemen Luar Negeri yang dikeluarkan hari Selasa, memberi gambaran suram berbagai penganiayaan agamawi yang dilakukan oleh rezim Stalinis tersebut – termasuk ‘eksekusi, penyiksaan, pemukulan, dan penangkapan’ orang-orang beriman. Laporan tersebut mengatakan bahwa sebagian dari hingga 120.000 orang Korea Utara yang ditahan di kamp-kamp penjara ‘dalam kondisi yang mengerikan’ berada dalam tahanan itu karena alasan agama. Laopran itu mengutip berbagai orang yang telah berhasil lari dari Korea Utara, dan berbagai organisasi internasional non-pemerintah, yang melaporkan bahwa ‘aktivitas agama apapun yang dilaksanakan di luar dari yang disetujui pemerintah, termasuk berdoa, menyanyikan himne, dan membaca Alkitab, dapat menyebabkan hukuman berat, termasuk pemenjaraan di kamp-kamp penjara politik.’ Sebuah NGO (Non-Governmental Organization) dari Korea Selatan telah mencatat 1.304 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Korea Utara selama tahun yang dimaksud, termasuk 119 pembunuhan dan 87 orang yang menghilang. Penangkapan menyumbang 770 insiden lainnya. …’Kira-kira 80.000 hingga 120.000 tahanan politik, sebagiannya karena dipenjara karena alasan agama, dipercaya sedang ditahan dalam sistem kamp penjara politik di tempat-tempat terpencil dengan kondisi yang mengerikan.’ Laporan itu mengutip suatu grup advokasi kebebasan beragama, Christian Solidarity Worldwide, yang mengatakan bahwa rezim itu sering menerapkan kebijakan ‘bersalah karena asosiasi,’ yang menargetkan bukan hanya orang-orang Kristen tetapi juga menahan keluarga mereka, tidak peduli apa yang mereka percayai. Pertemuan Trump-Kim yang dicanangkan di Singapura, berfokus pada krisis program senjata nuklir Korea dan isu-isu keamanan yang berputar sekitar ittu. Tetapi para aktivis mendorong sang presiden untuk juga memasukkan agenda hak asasi manusia juga. …Duta Departemen Luar Negeri untuk kebebasan beragama internasional, Sam Brownback, mengatakan, ‘Presiden memiliki sikap yang tepat dalam menghadapi Korea Utara. Dia sangat peduli hal ini, seperti anda ketahui. Menteri Luar Negeri (Mike Pompeo) sangat terlibat dalam hal ini. Dan saya rasa mereka akan menyinggung semua hal-hal ini,’ katanya. …Brownback mengingat bahwa pada zaman waktu di masih di Senat – dia adalah senator Republikan dari Kansas periode 1996-2011 sebelum menjabat sebagai gubernur Kansas – dia memunculkan isu Korea Utara, ‘tetapi tidak ada seorang pun yang mau bertindak.’ ‘Nah, presiden ini sekarang sedang bertindak dan dia mau menyelesaikan isu ini, walaupun isu ini telah mengancam kita selama bertahun-tahun, jika bukan puluhan tahun.’”