(Berita Mingguan GITS 6 Oktober 2018, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari “China Berusaha Menulis Ulang,” Christian Post, 28 Sept. 2018: “Rev. Bob Fu, seorang mantan pemimpin gereja rumah di Cina, yang telah berimigrasi ke Amerika Serikat tahun 1997, dan mendirikan sebuah organisasi pemberi peringatan penganiayaan, China Aid, memberikan banyak detil-detil dalam sebuah presentasi di hadapan House of Representatives (semacam DPR) AS, pada hari Kamis, tentang sebuah rencana yang dibuat oleh denominasi-denominasi yang diakui pemerintah di Cina, untuk ‘meng-sino-sasi’ [yaitu ‘meng-cina-kan’] kekristenan di sana. Sementara Cina semakin gencar menekan kebebasan beragama, yang mengakibatkan banyak gereja-gereja rumah dihancurkan dan ribuan salib dihilangkan dari gereja-gereja di seluruh negeri itu, Fu memperingatkan [bahwa] ‘kebebasan beragama di Cina telah menyentuh level yang paling parah yang belum pernah terjadi sejak permulaan Revolusi Budaya oleh Pemimpin Mao [Zedong] pada tahun 1960an.’ . . . Sebagai pusat dari peningkatan level penganiayaan yang tinggi ini adalah peraturan baru Cina tentang urusan agama, yang dikeluarkan tahun lalu tetapi ditetapkan tanggal 1 Februari. Menurut Fu, revisi peraturan-peraturan keagamaan dimaksudkan untuk secara aktif membimbing agama untuk ‘beradaptasi kepada suatu masyarakat sosialis.’ Dalam sebuah kesaksian tertulis, Fu mengatakan bahwa di bawah aturan-aturan baru ini, tempat-tempat kegiatan keagamaan akan ‘menerima bimbingan, supervisi, dan inspeksi dari departemen-departemen yang relevan dari pemerintah lokal, mengenai manajemen personel, keuangan, aset, akuntansi, sekuriti, perlindungan terhadap kebakaran, perlindungan relik-relik, pencegahan penyakit, dan lain0lain.’ . . . Salah satu cara yang mereka rencanakan untuk ‘mengcinakan’ kekristenan, Fu berkata, adalah dengan ‘menerjemahkan ulang’ Perjanjian Lama da memberikan komentari baru pada Perjanjian Baru untuk membuat ide-ide sosialis dan budaya Cina terkesan lebih ilahi. . . . Menurut outline paling terakhir, kata Fu, sebuah terjemahan ulang akan merupakan rangkuman dari Perjanjian Lama dengan sebagian Kitab Suci Buddha dan pengajaran Konfusius, dan komentari baru atas Perjanjian Baru. . . . Fu menambahkan bahwa rencana lima tahunan ini mengusahakan ‘memasukkkan elemen-elemen Cina ke dalam kebaktian-kebaktian di gereja, himne-himne dan lagu-lagu, pakaian kependetaan, dan gaya arsitektural dari bangunan gereja. Ini termasuk mengedit dan menerbitkan lagu-lagu penyembahan dengan karakteristik Cina dan mempromosikan proses peng-cina-an musik penyembahan, memakai bentuk-bentuk seni yang khas Cina . . . Pada permulaan setiap kebaktian gereja, paduan suara gereja harus menyanyikan beberapa lagu-lagu revolusi komunis, dan memuji partai komunis sebelum mereka boleh menyanyikan lagu-lagu penyembahan, Fu memberikan keterangan. . . . Ratusan pemimpin kristen di Cina menandatangani sebuah pernyataan yang menyerang peraturan-peraturan baru ini, meningkatnya penganiayaann dan kendali yang dilakukan oleh partai terhadap gereja-gereja. ‘[Kami] percaya dan diwajibkan untuk mengajar semua orang percaya bahwa semua gereja-gereja sejati di Cina yang adalah milik Kristus harus memegang prinsip separasi gereja dan negara, dan harus memproklamirkan Kristus sebagai satu-satunya kepala dari gereja. . . . Demi Injil, kami siap untuk menanggung segala kerugian – bahkan hilangnya kebebasan kami dan hidup kami.’ demikian bunyi pernyataan tersebut. . . . Dalam acara Ministerial to Advance Religious Freedom pada bulan Juli, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan sebuah pernyataan resmi yang mengritik Cina karena pelanggaran-pelanggaran kebebasan beragama. Tetapi, pernyataan itu hanya ditandatangani oleh tiga negara.”