Sekolah Illinois Mencuci Otak Anak-Anak PAUD dengan Agenda LGBT

(Berita Mingguan GITS 26 Oktober 2019, sumber: www.wayoflife.org)

Berikut ini disadur dari “Illinois Schools Promoting Transgenders to Preschoolers,” The Stream, 14 Okt. 2019: “Semua sekolah umum di Illinois sekarang harus mengajarkan sejarah LGBT. Mereka hanya boleh membeli buku sejarah yang memasukkan hal tersebut. Dan suatu ide yang sangat spesifik tentang sejarah tersebut. ‘Undang-Undang Kurikulum Inklusif’ ditandatangani pada bulan Agustus. UU ini akan mulai berlaku sejak 1 Juli 2020, untuk membiarkan para guru mempersiapkan bahan pelajaran tahun ajaran 2020-2021. Hukum ini juga melingkupi sejarah kelompok wanita dan minoritas. California, Colorado, New Jersey, dan Oregon, juga telah mengesahkan undang-undang yang serupa. Mengapa? Kepala dari grup lobi LGBT, Equity Illinois, menjelaskan. ‘Sebagai mantan guru kelas satu, saya tahu bagaimana sistem pendidikan yang inklusif dapat menciptakan perubahan dalam sebuah komunitas.’ … Undang-Undang ini hanyalah memaksakan apa yang sudah dilakukan oleh banyak sistem sekolah. Misalnya, sekolah-sekolah di Evanston/Skokie. Sistem sekolah di sini menampilkan kurikulum minggu LGBT-nya secara online. Anak-anak preschool (PAUD) dan TK akan ‘menjelajahi konsep-konsep tentang keluarga, mainan dengan jenis kelamin tertentu, dan stereotip berpakaian, warna dan arti, bendera, menjadi teman, dan identitas.’ Anak-anak kelas 1 akan belajar untuk menggunakan kata ganti ‘they’ untuk seorang individu. Anak-anak kelas 4 dan 5 akan menonton sebuah film dokumentar PBS tentang seorang anak perempuan yang memimpikan menjadi pemimpin dari pasukan Hula yang eksklusif laki-laki. … Kurikulum ini mengajarkan anak-anak untuk menyetujui keluarga yang dipimpin oleh orang tua sesama jenis. Salah satu caranya adalah untuk membandingkan keluarga demikian dengan keluarga yang orang tuanya dari suku berbeda dan keluarga adopsi. Cara kedua adalah dengan menormalisasi hal ini. Dalam sebuah video, seorang anak lelaki berkata bahwa dia memiliki dua orang ayah dan dua orang ibu. Materi-materi yang disuguhkan termasuk foto-foto pasangan sesama jenis bersama anak-anak, yang mengajarkan para murid untuk menyebut ini sebagai sebuah keluarga. … Kurikulum mengambarkan orang-orang transgender sebagai orang-orang yang membuat keputusan yang sangat normal. Tetapi berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa 20% orang yang transgender, akhirnya kembali ke jenis kelamin awal mereka. Hal ini sering terjadi setelah seorang muda diterapi dengan hormon dan melakukan operasi ganti kelamin. Mereka lalu sangat menyesal telah melakukan perubahan-perubahan fisik tersebut. Kurikulum ini tidak memperingatkan anak-anak mengenai hal ini. Mereka tidak diberitahu bahwa banyak orang transgender menyadari kesalahan mereka dan berbalik. Anak-anak juga tidak diberitahu bahwa 41% dari kaum transgender akan mencoba untuk bunuh diri. Juga bahwa penyakit mental mendera 60-90% dari kaum transgender. Dan bagaimana dengan sudut pandang yang lain? Banyak orang tua dengan keras tidak setuju dengan ide-ide di balik transgenderisme. Orang-orang Kristen, Yahudi, dan Muslim berpegang kepada kepercayaan yang berbeda tentang lelaki dan perempuan. Kurikulum ini tidak menawarkan alternatif kepada ide LGBT, tidak menjelaskan bagaimana sebagian agama menentang gaya hidup demikian. Ini adalah ‘pendidikan’ satu sisi. Ia tidak mengajarkan anak-anak unutk memikirkan isu ini. Perbedaan pendapat tidak diperbolehkan. Anak-anak hanya diizinkan untuk menyetujui gaya hidup LGBT, dan mereka didorong keras ke arah sana.”

This entry was posted in Kesesatan Umum dan New Age, LGBT. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *