(Berita Mingguan GITS 23 November 2019, sumber: www.wayoflife.org)
Metropolitan Tabernacle di London, Inggris, pada masa penggembalaan Charles Spurgeon (1854-1882), adalah suatu contoh gereja yang berdoa. Khotbah di sana efektif dan gereja itu agresif dalam penginjilan (misal khotbah di jalan, pembagian traktat yang agresif, 27 Sekolah Minggu yang melayani lebih dari 8000 anak-anak dengan 612 guru). Ribuan orang diselamatkan dan dibuktikan dengan hidup yang berubah, dan Spurgeon menyatakan bahwa semua hal ini adalah berkat dari doa. “Spurgeon menganggap kebaktian doa sebagai ‘kebaktian yang paling penting dalam seminggu.’ Dia sering mengatakan bhawa tidaklah heran jika gereja-gereja tidak bertumbuh, ketika mereka menganggap kebaktian doa sedemikian tidak berarti, sehingga satu malam dalam seminggu dianggap cukup untuk kombinasi lemah dari kebaktian sekaligus pertemuan doa. …A.T. Pierson, yang melayani di Tabernacle selama masa sakit Spurgeon yang terakhir, mengatakan, ‘Metropolitan Tabernacle ini adalah sangat jelas sekali suatu rumah doa … doa dinaikkan terus hampir tiada henti. Ketika satu pertemuan tidak sedang berlangsung, ada yang lain yang sedang berlangsung. … Ada pertemuan-pertemuan doa sebelum khotbah, dan ada lagi setelah khotbah. …Tidak heran bahwa khotbah Mr. Spurgeon sedemikian diberkati. Dia sendiri mengatakan itu adalah terutama berkat doa yang berkuasa dari orang-orangnya’” (Wonders of Grace: Original testimonies of converts during Spurgeon’s early years, hal. 14). Spurgeon memperingatkan tentang sikap tidak berdoa yang menjadi ciri banyak gereja Baptis di zamannya. Dia mengatakan bahwa “penurunan” doktrin di Baptist Union adalah karena kondisi rohani yang lemah dari gereja-gereja itu. Dia menulis, “Apakah gereja-gereja berada dalam kondisi yang baik jika mereka hanya memiliki satu pertemuan untuk doa dalam seminggu, dan itupun hanya sekadarnya saja? Gereja-gereja yang memiliki pertemuan-pertemuan doa beberapa kali selama hari Tuhan, dan sering dalam seminggu, masih merasakan betapa mereka memerlukan lebih banyak lagi doa; tetapi bagaimana dengan mereka yang jarang mempraktekkan penaikan doa bersama? Apakah hanya ada sedikit pertobatan? Apakah jemaat semakin berkurang? Siapakah yang heran bahwa semua ini terjadi ketika roh berdoa telah hilang?” (The Sword and the Trowel, Aug. 1887).