oleh Dr. Steven E. Liauw
Dalam kekristenan hari ini, ada kelompok (biasanya kelompok Pantekosta, dan belakangan diperluas lagi dengan gerakan kharismatik) yang mengklaim bahwa mereka masih memiliki dan mempraktekkan berbagai karunia rohani yang bersifat ajaib, seperti karunia bernubuat, karunia menyembuhkan, karunia berkata-kata dengan bahasa-bahasa, dan karunia melakukan mujizat. Mencuat sejak akhir abad 19 atau awal abad 20, kelompok ini berbeda pendapat dengan mayoritas kekristenan lainnya pada waktu itu, yang melihat bahwa karunia-karunia ajaib tersebut diberikan oleh Tuhan pada waktu pewahyuan kitab-kitab Perjanjian Baru sedang berlangsung, yaitu untuk mendukung Rasul-Rasul dan proses pewahyuan yang terjadi melalui Rasul-Rasul, sehingga ketika masa pewahyuan itu selesai pada akhir abad pertama dan jabatan Rasul selesai, maka karunia-karunia ajaib tersebut juga dihentikan oleh Tuhan.
Kelompok yang menyatakan bahwa karunia-karunia ajaib ini masih terus berlangsung dapat disebut sebagai kelompok yang percaya continuanism (disebut continuationist), dan kelompok yang percaya bahwa karunia-karunia ajaib ini sudah selesai disebut sebagai cessationist (percaya cessationism). Para cessationist pada umumnya tidak mengatakan bahwa semua karunia rohani itu telah tiada, karena karunia mengajar, menasihati, memimpin, memberikan, dll., masih beroperasi pada hari ini; tetapi cessationist percaya bahwa karunia-karunia yang berhubungan dengan pewahyuan telah berhenti sejak selesainya kanon Perjanjian Baru.
Kaum cessationist dapat memakai berbagai argumen untuk posisi mereka, antara lain dukungan sejarah kekristenan (tidak adanya karunia-karunia pewahyuan itu di kalangan Kristen umum selama abad 2-20), maraknya penyimpangan doktrinal dan praktikal yang mengiringi munculnya continuationism, dan banyak argumen lainnya. Namun demikian, argumen yang paling kuat tentunya adalah yang berasal dari Alkitab itu sendiri.
Itulah sebabnya artikel ini ditulis, yaitu suatu eksegesis terhadap salah satu perikop yang berkenaan langsung dengan masalah cessasionism/continuationism, 1 Korintus 13:8-13. Oleh banyak theolog, 1 Korintus 13:8-13 dipahami sebagai pernyataan Tuhan akan berhentinya karunia bernubuat dan bahasa lidah setelah selesainya kanon Alkitab. Para continuationist belakangan mengajukan keberatan-keberatan akan pandangan ini, dan memberikan pemahaman alternatif. Kebenaran dapat diperoleh dengan penyelidikan yang mendalam akan Firman Tuhan, karena Tuhan memaksudkan umatNya untuk memahami apa yang telah Ia singkapkan. Mari kita memulai eksegesis perikop yang penting ini dengan melihat konteks, kemudian satu per satu dari ayat-ayat yang bersangkutan, dan juga berbagai pertimbangan lain yang muncul.
I. Konteks dari 1 Korintus 13:8-13
A. Konteks 1 Korintus
Penulis surat 1 Korintus mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai Paulus (1:1; 16:21), yaitu Rasul Paulus yang dulunya adalah Saulus, penganiaya jemaat yang kemudian bertobat dalam perjalanan ke Damsyik. Paulus telah ditunjuk oleh Kristus sendiri untuk menjadi Rasul untuk orang non-Yahudi (Gal. 1:16; 2:7-8), dan ia menuliskan surat kepada jemaat Korintus dengan penuh otoritas dan dalam pengilhaman Roh Kudus. Paulus berkata, “Jika seorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan” (1 Kor. 14:37).
Surat 1 Korintus ditulis dari kota Efesus (1 Kor. 16:8), kemungkinan besar pada waktu Paulus berada di Efesus selama dua tahun lebih, sebagaimana tercatat dalam Kisah Para Rasul 19. Dengan demikian, waktu penulisan surat 1 Korintus adalah tahun 50an M, dan jika mau dipersempit, sekitar tahun 54-55 M. Surat 1 Korintus bukanlah surat Paulus yang pertama, karena 1 dan 2 Tesalonika sudah ditulis terlebih dahulu, dan bisa jadi juga surat Galatia, tetapi 1 Korintus merupakan salah satu surat atau kitab Perjanjian Baru yang cukup awal. Kemungkinan besar Injil Matius juga sudah dituliskan pada waktu itu.1 Jadi, pada waktu surat 1 Korintus ini ditulis, mayoritas kanon Perjanjian Baru belum eksis, dan ini cocok dengan penekanan pada karunia bernubuat dalam surat ini.
Karena Paulus pernah menghabiskan waktu yang signifikan di kota Korintus pada waktu ia memulai jemaat di sana, sang Rasul mengenal secara pribadi anggota-anggota jemaat Korintus, dan juga memahami situasi mereka. Oleh karena itu, surat 1 Korintus dituliskan secara spesifik untuk membahas berbagai masalah dan pertanyaan yang muncul dalam jemaat. Jemaat Korintus yang sudah dikuduskan secara posisi dalam Tuhan Yesus (1:2), masih perlu banyak berbenah dalam hal kekudusan praktis (5:6). Masalah dalam jemaat yang dibahas oleh Rasul Paulus meliputi: perpecahan dalam jemaat (pasal 1), kedagingan dan gagal bertumbuh (pasal 3), gagal mendisiplinkan anggota jemaat yang berzinah (pasal 5), sesama anggota jemaat saling menggugat di pengadilan umum (pasal 6), pertanyaan mengenai pernikahan (pasal 7), pertanyaan tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala (pasal 8 dan 10), pertanyaan tentang perempuan dan masalah perjamuan Tuhan (pasal 11), pertanyaan tentang kebangkitan (pasal 15), dan penyalahgunaan karunia-karunia rohani (pasal 12-14). Topik yang terakhir ini yang menjadi fokus pembahasan sekarang.
B. Konteks 1 Korintus 12-14
Salah satu masalah yang muncul di Korintus adalah perpecahan dan persaingan tidak sehat dalam jemaat. Mereka membuat kelompok-kelompok (mencatut nama Paulus, Petrus, Apolos, bahkan Yesus, 1:12), dan saling meninggikan diri. Persaingan dan perpecahan ini muncul juga dalam area penggunaan karunia-karunia rohani. Di awal surat, Paulus sudah menegaskan bahwa jemaat ini “tidak kekurangan suatu karunia pun” (1:7), sehingga masalah mereka bukanlah kekurangan karunia, tetapi pemakaian karunia secara salah. Mereka menggunakan karunia-karunia itu sebagai ajang perselisihan dan kesombongan mereka, sehingga masing-masing mencoba mendapatkan karunia yang kelihatan lebih “hebat” (karunia berbahasa asing) dan semuanya berlomba-lomba untuk mempraktekkan “karunia”nya, menimbulkan kekacauan dalam jemaat.
Dengan latar belakang kondisi jemaat yang demikian, Paulus menuliskan pasal 12-14 untuk meluruskan mereka dengan pengajaran yang alkitabiah mengenai karunia rohani. Beberapa prinsip penting yang Paulus sampaikan adalah sebagai berikut:
Pertama, bahwa karunia-karunia rohani berasal dari satu Allah, satu Tuhan, satu Roh (12:4-6), dan oleh karena itu bukanlah untuk dipakai untuk memecah belah jemaat.
Kedua, bahwa karunia-karunia rohani diberikan oleh Tuhan untuk kepentingan bersama, atau kepentingan jemaat, bukan kepentingan pribadi (12:7; 14:4-5, 19). Setiap karunia rohani dirancang oleh Tuhan untuk membawa manfaat bagi tubuh Tuhan, yaitu jemaat.2
Ketiga, bahwa jemaat adalah tubuh Tuhan (12:27), dan sebagaimana tubuh memiliki anggota yang berbeda-beda, dengan fungsi yang berbeda-beda, maka Tuhan juga memberikan kepada anggota-anggota jemaat karunia yang berbeda-beda. Tidak semua anggota jemaat akan mendapatkan karunia yang sama, semuanya sesuai dengan fungsi masing-masing sebagaimana ditentukan oleh Tuhan (12:8-11, 28-30). Oleh karena itu tidak mungkin semua orang “berbahasa lidah,” misalnya.
Terlihat jelas dari poin kedua dan ketiga, bahwa karunia-karunia rohani ini sangat terkait erat dengan jemaat. Ketika terjadi pergantian zaman dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, Roh Kudus memainkan peran yang baru karena muncul institusi yang baru, yaitu ekklesia, atau jemaat. Di zaman ekklesia ini (disebut juga zaman Perjanjian Baru), Roh Kudus mendiami hati orang percaya, dan juga memberikan mereka karunia rohani untuk dipakai dalam jemaat tempat mereka bergabung. Jadi, karunia-karunia rohani ini khas untuk zaman gereja. Ini bukan berarti sebelum zaman gereja Roh Kudus tidak bekerja. Tentu Roh Kudus sudah aktif bekerja di zaman PL, memampukan orang-orang kudus untuk melayani. Tetapi orang-orang PL tidak melayani dalam jemaat. Orang-orang percaya PB yang didiami Roh Kudus, melayani dalam jemaat, dan diberikan karunia-karunia rohani yang khas untuk masa gereja ini.
Keempat, bahwa sekalipun mendambakan karunia-karunia rohani adalah hal yang baik, ada hal yang lebih penting lagi dari karunia rohani, yaitu kasih (pasal 13). Jemaat Korintus harus mengejar kasih, lebih dari pada mengejar karunia rohani.
Kelima, bahwa karunia berbahasa asing yang banyak diminati oleh jemaat Korintus, sama sekali tidak berguna jika tidak diterjemahkan (pasal 14), dan berpotensi menimbulkan kekacauan jika tidak dilakukan sesuai dengan aturan Tuhan, yang Paulus jabarkan sebagai berikut: maksimum 2-3 orang, harus satu per satu, harus ada yang menerjemahkan supaya dimengerti, dan tidak boleh perempuan (14:27-34).
C. Konteks Khusus 1 Korintus Pasal 13
Berhubungan dengan prinsip keempat yang disebutkan di atas, pasal tiga belas pantas untuk mendapat perhatian khusus, karena ini adalah konteks terdekat dari teks inti yang akan kita eksegesis. Pasal 12 diakhiri dengan kata-kata: “Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi” (12:31). Paulus menekankan bahwa walaupun karunia-karunia rohani memang bermanfaat dalam jemaat, ada sesuatu yang lebih utama lagi, dan sesuatu itu adalah kasih. Banyak orang mengenal 1 Korintus 13 sebagai pasal yang agung tentang kasih, namun banyak yang tidak sadar bahwa pembahasan Paulus tentang kasih adalah dalam konteks hubungannya dengan karunia rohani. Kasih, Paulus tegaskan, adalah lebih utama dari pada karunia rohani dalam dua kriteria besar.
Pertama, dari ayat 1 sampai ayat 7, Paulus menegaskan bahwa kasih lebih penting dalam hidup kekristenan daripada karunia rohani. Dengan bahasa yang hiperbolik, Paulus membandingkan bahwa sekalipun ia memiliki berbagai karunia rohani hingga taraf maksimal (dapat menggunakan semua bahasa, mengetahui segala rahasia, memindahkan gunung, dll.), namun jika ia tidak memiliki kasih, maka semuanya itu sama sekali tidak berguna. Orang yang memiliki karunia tanpa memiliki kasih, akan menggunakan karunia itu untuk kepentingan dan ego diri sendiri (seperti yang terjadi di Korintus), yang akhirnya bertentangan dengan tujuan awal dari karunia-karunia rohani. Paulus lalu dari ayat 4 hingga 7 menggambarkan kasih dengan indah, puitis, dan agung.
Kedua, dari ayat 8 sampai ayat 13, Paulus menegaskan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani. Dan inilah teks inti yang menjadi pembahasan, oleh sebab itu, kita akan masuk ke dalam eksegesis mendetil dari perikop ini:
II. Pembahasan Teks: 1 Korintus 13:8-13
8 Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. 9 Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. 10 Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. 11 Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. 12 Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. 13 Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Indonesia Terjemahan Baru
8 Charity never faileth: but whether there be prophecies, they shall fail; whether there be tongues, they shall cease; whether there be knowledge, it shall vanish away. 9 For we know in part, and we prophesy in part. 10 But when that which is perfect is come, then that which is in part shall be done away. 11 When I was a child, I spake as a child, I understood as a child, I thought as a child: but when I became a man, I put away childish things. 12 For now we see through a glass, darkly; but then face to face: now I know in part; but then shall I know even as also I am known. 13 And now abideth faith, hope, charity, these three; but the greatest of these is charity. King James Version
8 ? ????? ???????? ????????? ???? ?? ??????????, ???????????????? ???? ???????, ?????????? ???? ??????, ??????????????. 9 ?? ?????? ??? ??????????, ??? ?? ?????? ????????????? 10 ???? ?? ???? ?? ???????, ???? ?? ?? ?????? ??????????????. 11 ??? ???? ??????, ?? ?????? ???????, ?? ?????? ????????, ?? ?????? ??????????? ??? ?? ?????? ????, ????????? ?? ??? ??????. 12 ???????? ??? ???? ??? ???????? ?? ?????????, ???? ?? ???????? ???? ????????? ???? ??????? ?? ??????, ???? ?? ??????????? ????? ??? ??????????. 13 ???? ?? ????? ??????, ?????, ?????, ?? ???? ?????. ?????? ?? ?????? ? ?????. Textus Receptus
Teks Yunani yang disuguhkan diambil dari Textus Receptus, karena penulis percaya, berdasarkan janji-janji Alkitab, bahwa Allah pasti memelihara FirmanNya.3 Namun demikian, perikop 1 Korintus 13:8-13 tidak memiliki varian tekstual yang secara signifikan dapat mengubah penafsirannya, sehingga isu tekstual tidak bermain di sini.
A. Ayat 8
8 Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
8 Charity never faileth: but whether there be prophecies, they shall fail; whether there be tongues, they shall cease; whether there be knowledge, it shall vanish away.
8 ? ????? ???????? ????????? ???? ?? ??????????, ???????????????? ???? ???????, ?????????? ???? ??????, ??????????????.
Setelah di ayat 1-7 Paulus mengajarkan bahwa kasih jauh lebih penting daripada karunia rohani, di ayat 8 ini Paulus menekankan aspek lain dalam perbandingan antara “kasih” dengan “karunia-karunia rohani,” yaitu aspek ketahanan (longevity) masa beroperasi. Dalam aspek ini pun, karunia rohani tidak dapat dibandingkan dengan kasih. Kasih (agape, ?????) tidaklah berkesudahan. Kata “tidak berkesudahan” berasal dari kata ekpipto (secara literal: jatuh ke luar), artinya tidak akan pernah kadaluarsa, tidak akan pernah tidak dibutuhkan lagi, tidak akan pernah habis fungsinya. Hal ini kontras dengan karunia-karunia rohani, dan Paulus mengajukan tiga karunia sebagai contoh, yaitu: karunia nubuat (profeteia, ?????????), karunia bahasa-bahasa (glossa, ??????), dan karunia pengetahuan (gnosis, ??????).
Tiga karunia yang Paulus sebut di ayat 8 ini semuanya berhubungan dengan pewahyuan. Nubuat adalah suatu bentuk pewahyuan. Karunia berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain4 juga adalah suatu bentuk pewahyuan, sebagaimana Paulus tegaskan dalam 14:5, bahwa: “orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa [roh], kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun,” yang berarti bahwa karunia bahasa lain, jika tidak diterjemahkan adalah inferior terhadap nubuat, tetapi jika diterjemahkan menjadi sama dengan nubuat. Berarti konten karunia bahasa-bahasa adalah sama dengan nubuat, hanya saja dalam bahasa lain, dan berarti adalah suatu bentuk pewahyuan juga. Demikian juga dengan karunia pengetahuan.
Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan “pengetahuan” di ayat-ayat ini, bukanlah pengetahuan akal sehat atau pengetahuan umum. Ada orang-orang yang salah menafsirkan dengan berkata bahwa karena sekarang ini manusia masih bisa berpikir dan punya berbagai pengetahuan sains, maka artinya perikop ini belum digenapi. Tetapi, pengetahuan umum demikian tidak akan hilang sampai di Surga sekalipun. Tidak mungkin nanti di Surga orang-orang yang diselamatkan kehilangan “pengetahuan” dalam artian cara berpikir, logika, ataupun pengetahuan tentang fakta-fakta umum. Sebaliknya, justru di Surga pengetahuan kita menjadi sempurna. Jelas dari konteks bahwa “pengetahuan” mengacu kepada karunia berkata-kata dengan pengetahuan yang ada disebut juga oleh Paulus di pasal 12:8. Ini adalah pengetahuan yang didapatkan secara spesial melalui penyingkapan Tuhan. Salah satu contoh bisa jadi adalah ketika Petrus bisa “mengetahui” bahwa Ananias dan Safira berbohong mengenai jumlah uang yang mereka dapatkan dari menjual tanah mereka. Karunia pengetahuan dalam bentuknya yang paling hebat dijadikan contoh hipotetis oleh Paulus di 13:2, “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan.” Manusia tidak mungkin memiliki “seluruh pengetahuan” (pasan ten gnosin, ?????? ???? ???????) dengan sendirinya. Jadi jelas bahwa karunia pengetahuan ini berkaitan dengan penyingkapan atau pewahyuan spesial dari Tuhan.
Tiga karunia yang berhubungan dengan pewahyuan akan berakhir. Paulus menggunakan dua istilah kata kerja, yang pertama untuk karunia bernubuat dan karunia pengetahuan spesial, yaitu bahwa mereka akan “diakhiri,” bentuk future pasif dari kata kerja katargeo (????????).5 Karena Tuhan yang memberikan karunia-karunia ini, maka Tuhan pula yang berkuasa untuk menghentikan mereka ketika saatnya tiba. Alasan nubuat dan pengetahuan spesial akan diakhiri oleh Tuhan akan diberikan di ayat 9 dan 10 nanti. Kata kerja yang lain yang dipakai adalah untuk karunia bahasa-bahasa, yaitu bahwa karunia ini akan berhenti sendiri, bentuk future middle dari kata kerja pauo (????).6
Menarik bahwa Paulus menggunakan dua kata kerja ini, dan juga menggunakan dua voice yang berbeda (pasif dan middle). Ini mengindikasikan bahwa sementara karunia bernubuat dan pengetahuan spesial akan diakhiri secara final oleh suatu faktor eksternal, karunia bahasa-bahasa akan berhenti dengan sendirinya karena suatu faktor internal. Faktor internal itu adalah berakhirnya fungsi bahasa lidah. Fungsi utama bahasa lidah, sebagaimana dijabarkan oleh Paulus dalam 1 Korintus 14:21-22 adalah untuk menjadi tanda bagi orang-orang Yahudi7 yang tidak percaya, yaitu tanda penghakiman Allah atas penolakan mereka terhadap Mesias, sehingga Allah untuk sementara mengesampingkan mereka (tetapi tidak menolak mereka secara final)8 sebagai alat pemberita kebenaran dan beralih menggunakan jemaat-jemaat yang multinasional dan multi-bahasa sebagai Tiang Penopang dan Dasar Kebenaran (1 Tim. 3:15). Dapat dipahami bahwa pada masa-masa awal kekristenan, ketika hubungan Kristen dengan Yahudi masih begitu erat, dan orang-orang Yahudi masih menjadi target utama penginjilan sekaligus musuh utama Injil, karunia ini memainkan fungsi yang penting. Namun, seiring dengan semakin meluasnya Injil di kalangan non-Yahudi, karunia ini semakin tidak dibutuhkan. Puncaknya adalah ketika Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M, yang merupakan tanda penghakiman Allah atas bangsa Israel yang jauh lebih nyata lagi. Oleh sebab itulah, karunia bahasa lidah hanya disebut di beberapa surat Paulus yang awal, dan tidak pernah disebut lagi di surat-surat yang belakangan. Karunia bahasa-bahasa sungguh “berhenti dengan sendirinya” seperti yang Paulus nyatakan di teks ini.
B. Ayat 9
9 Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna.
9 For we know in part, and we prophesy in part.
9 ?? ?????? ??? ??????????, ??? ?? ?????? ?????????????
Di ayat 9, Paulus menjelaskan mengapa ketiga karunia yang ia sebutkan, yang berhubungan dengan pewahyuan, akan diakhiri. Alasannya adalah karena “kita mengetahui” dan “kita bernubuat” secara parsial. Diterjemahkan “tidak lengkap” dan “tidak sempurna” oleh LAI, frase yang dipakai oleh Paulus adalah ek merous (?? ??????). Kata meros berarti suatu bagian dari suatu keseluruhan, atau satu potong dari suatu keutuhan. Frase ek merous muncul 5 kali dalam Perjanjian Baru, tetapi hanya dalam dua perikop saja. Empat kali ek merous muncul di 1 Korintus 13:9-12, yaitu perikop yang sedang dibahas sekarang ini. Satu kali lagi, ek merous muncul di 1 Korintus 12:27, yang berbunyi: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” Oleh LAI, frase ek merous diterjemahkan “masing-masing” di ayat ini, mengindikasikan bahwa tiap-tiap anggota jemaat Korintus adalah satu bagian/porsi dari tubuh secara keseluruhan. Jadi, ek merous mengindikasi sesuatu yang bersifat sebagian, sepenggal-sepenggal, sepotong-sepotong, artinya belum keseluruhannya, belum seutuhnya.
Dalam hal apakah nubuat dan karunia pengetahuan pewahyuan dari Tuhan dapat dianggap sepotong-sepotong? Tentunya bukan dalam pengertian bahwa nubuat dari Tuhan itu salah. Nubuat Tuhan tidak pernah salah.9 Tetapi ketika seseorang di abad pertama menerima dan menyampaikan suatu nubuat dari Tuhan, tentu nubuat tersebut hanyalah suatu bagian, suatu penggalan, suatu potongan, dari keseluruhan wahyu yang Tuhan ingin sampaikan kepada jemaat-jemaatNya.
Karunia bahasa-bahasa tidak disebut di ayat 9 ini, karena sebagaimana sudah dijabarkan sebelumnya dari 1 Korintus 14:5:10 pewahyuan dalam bahasa asing yang lalu diterjemahkan sudah sama nilainya dengan nubuat. Satu-satunya alasan mengapa Tuhan masih memberikan karunia bahasa-bahasa asing pada tahun 50an Masehi itu adalah sebagai tanda kepada orang Yahudi yang tidak percaya (1 Kor. 14:21-22), bahwa Tuhan beralih dari memakai satu bangsa (dengan satu bahasa mereka: Ibrani) kepada ekklesia-ekklesia yang multinasional dengan berbagai bahasa. Jika bukan karena ingin memberikan tanda kepada orang Yahudi, maka jauh lebih efektif bagi Tuhan untuk memberikan karunia bernubuat daripada karunia bahasa-bahasa, karena toh Tuhan mengharuskan karunia bahasa-bahasa untuk diterjemahkan. Mengapa harus dua kali jalan: sekali dalam bahasa asing, lalu sekali lagi penerjemahannya? Sekali lagi karena Tuhan mau itu menjadi tanda bagi orang Yahudi yang tidak percaya. Jadi, karena konten “bahasa lidah” adalah sama dengan konten nubuat (hanya dalam bahasa asing), maka tanpa perlu disebut pun, bahasa lidah sudah termasuk dalam yang “tidak lengkap” di ayat 9 ini, karena ia termasuk dalam nubuat. Jika nubuat berakhir, pastilah karunia bahasa ini berakhir pula. Bahkan, karunia bahasa-bahasa bisa berakhir lebih cepat dari nubuat, sebagaimana sudah disinggung di poin ayat 8.
C. Ayat 10
10 Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.
10 But when that which is perfect is come, then that which is in part shall be done away.
10 ???? ?? ???? ?? ???????, ???? ?? ?? ?????? ??????????????.
Poin di ayat 9 berlanjut secara alami ke ayat 10. Paulus menegaskan bahwa ketika yang “sempurna” itu tiba, maka yang “tidak sempurna” akan lenyap. Kata “lenyap” persis sama dengan kata kerja yang di ayat 8, yaitu katargeo dalam bentuk future pasif, yaitu “diakhiri.” Ayat 10 menjawab pertanyaan yang timbul dari ayat 8, bahwa nubuat akan diakhiri, yaitu kapan? Jawabannya adalah ketika “yang sempurna” tiba, maka yang “tidak sempurna” akan diakhiri.
Kata “tidak sempurna” persis sama dengan frase ek merous di ada di ayat 9, yaitu sesuatu yang belum utuh, belum lengkap, masih bersifat parsial dan sebagian, yang jelas mengacu kepada nubuat dan karunia pengetahuan pewahyuan yang disebut di ayat 9. Frase “yang sempurna” berasal dari bahasa Yunani to teleion (?? ???????), suatu kata sifat dalam bentuk Netral dan singular, yang dipakai secara substantif. Kata teleios ini muncul 19 kali dalam Perjanjian Baru.11 Bentuk dasar (maskulin) dari kata ini adalah teleios, dan memiliki arti: sempurna, dewasa, lengkap, komplit. Berdasarkan konteks, yaitu adanya perbandingan/kontras dengan nubuat dan pengetahuan spesial yang bersifat “tidak lengkap” atau “parsial,” maka to teleion di sini menekankan kelengkapan atau terselesaikannya sesuatu, yaitu sesuatu yang berkaitan (satu kategori) dengan yang hal “tidak lengkap” di awal itu. Bahwa Roh Kudus memakai gender netral untuk “yang sempurna” ini, memberitahu bahwa yang dimaksud adalah suatu hal atau benda, yang pada saat penulisan 1 Korintus masih akan datang, atau masih bersifat future.
Dengan demikian, Paulus dalam inspirasi Roh Kudus di sini mengajarkan bahwa nubuat-nubuat dan karunia pengetahuan spesial dari Tuhan, yang adalah pewahyuan parsial, akan diakhiri ketika yang lengkap datang. Jadi, mengacu kepada apakah yang lengkap itu?
Yang lengkap atau yang sempurna di 1 Korintus 13:10 mengacu kepada Alkitab, yaitu kanon yang sudah selesai atau lengkap. Hal ini menjadi jelas berdasarkan pertimbangan kontekstual, grammatikal, dan theologis. Terakhir ada juga pertimbangan gugurnya alternatif.
Pertimbangan kontekstual. Paulus sedang membicarakan kasih sebagai sesuatu yang jauh lebih penting dari karunia-karunia rohani, dan termasuk dalam hal durasi fungsi. Paulus menegaskan bahwa karunia nubuat, karunia bahasa-bahasa, dan karunia pengetahuan spesial, akan berakhir karena semuanya merupakan pewahyuan yang bersifat parsial, dan tidak lengkap. Lalu, Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa ketika “yang lengkap” (yang sempurna) datang, maka yang tidak lengkap ini akan berakhir. Kata sifat “lengkap” bukan dipakai secara atributif dengan anteseden yang tersurat, melainkan secara substantif, sehingga antesedennya tersirat di dalam frase ek merous itu. Dengan kata lain, Paulus mengaitkan secara erat benda “yang lengkap” (to teleion) ini dengan “yang sebagian” (ek merous), mengajarkan bahwa kepergian yang sebagian adalah karena datangnya yang lengkap, dan dengan demikian memastikan bahwa keduanya berada dalam kategori yang sama. Sebagai contoh, jika kita membaca kalimat demikian: “saat ini para aktor masih bekerja dengan naskah drama yang belum lengkap atau parsial, tetapi ketika yang lengkap/sempurna tiba, maka yang belum lengkap ini tidak akan dipakai lagi;” maka kita akan langsung memahami, berdasarkan konteks, bahwa yang lengkap/sempurna di sini pastilah mengacu kepada naskah yang lengkap, atau sejenisnya. Tidak mungkin kita memahami yang lengkap/sempurna ini kepada sutradara yang sempurna, atau acting yang sempurna, atau lain-lainnya, karena tidak satu kategori dengan “yang tidak lengkap” dalam kalimat itu, yaitu naskah. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa secara kontekstual, pastilah yang dimaksud adalah pewahyuan yang lengkap/sempurna, karena yang tidak lengkap di ayat 9 dan 10 adalah nubuat dan karunia pengetahuan spesial, yang adalah bentuk pewahyuan. Pewahyuan yang lengkap untuk zaman gereja ini adalah Alkitab yang ada di tangan orang Kristen hari ini, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang selesai ditulis pada akhir abad pertama. Alkitab bisa juga disebut sebagai nubuat Tuhan yang sudah lengkap bagi orang percaya PB hari ini.
Selain itu, ada juga konteks luas Alkitab secara keseluruhan. Kata teleios (sempurna/lengkap) dipakai untuk mengacu kepada Firman Tuhan dalam kitab Yakobus. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yak. 1:25). Hukum yang dimaksud di ayat ini adalah Firman Tuhan (lihat ayat 23), yang bagaikan cermin dapat menyatakan kondisi seseorang. Firman Tuhan mendapat predikat sempurna atau lengkap untuk tujuannya. Di dalam Perjanjian Lama, Taurat Tuhan juga dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna: “Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa” (Maz. 19:8).
Pertimbangan grammatikal. Orang Kristen lahir baru tentunya percaya bahwa Tuhan mengilhami FirmanNya secara keseluruhan dan secara kata-per-kata (Verbal Plenary Inspiration). Bukanlah suatu kebetulan bahwa suatu kata, atau suatu poin grammatis dipergunakan. Seringkali ada makna theologis di balik penggunakan bentuk grammatis tertentu. Ada beberapa contoh yang langsung ditunjukkaan dalam Alkitab sendiri.
Tuhan Yesus mengargumentasikan realita kebangkitan orang mati kepada kaum Saduki dengan mengutip Perjanjian Lama: “Tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah…Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mat. 22:31-32). Frase “Akulah Allah Abraham” dalam teks bahasa asli berbunyi: ego eimi ho Theos Abraam (??? ???? ? ???? ??????,). Roh Kudus menggunakan kata kerja eimi, yang adalah Present Tense untuk membuat pengajaran yang kuat, bahwa Allah saat sekarang ini, bukan dulu saja, tetapi sekarang ini, adalah Allah Abraham. Berarti Abraham masih eksis di suatu tempat, tidak hilang lenyap pada saat kematian. Jadi penggunaan Present Tense di kata kerja eimi di ayat ini, adalah krusial untuk pemahaman doktrin ini dengan tepat.
Contoh lain pentingnya grammar dalam mengambil kesimpulan theologi adalah pernyataan Paulus dalam Galatia 3:16, “Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan ‘kepada keturunan-keturunannya’ seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: ‘dan kepada keturunanmu’, yaitu Kristus.” Paulus memakai fakta bahwa kata keturunan dalam bahasa Ibrani, yaitu zera, berada dalam bentuk singular, sehingga hanya mengacu terutama kepada satu keturunan utama, yaitu Yesus Kristus.
Jadi, teliti memperhatikan kata-kata dan poin-poin grammatis dalam Kitab Suci adalah keharusan bagi pelajar Alkitab yang serius dan akurat. Dalam perikop 1 Korintus 13 ini, Roh Kudus yang mengilhami Rasul Paulus, memilih untuk menggunakan kata to teleion yang memiliki gender netral. Ini berarti bahwa Roh Kudus tidak memaksudkan seorang pribadi, karena jika yang dimaksud adalah pribadi, maka Ia akan memakai gender maskulin (jika pribadinya laki-laki), ataupun gender feminim (jika pribadinya perempuan). Pemakaian gender netral untuk kata sifat to teleionmemberitahu pembaca yang teliti bahwa yang Tuhan maksudkan adalah suatu hal atau benda. Hal atau benda apakah yang dimaksud? Cocok dengan pemahaman kontekstual adalah hal selesainya kanon Firman Tuhan, atau kalau mau disebut benda, maka kanon atau Alkitab yang sudah selesai, itulah yang akan mengakhiri karunia-karunia yang berhubungan dengan pewahyuan.
Pertimbangan theologis. Mayoritas kekristenan percaya kepada doktrin kanon tertutup. Doktrin kanon tertutup adalah pemahaman bahwa Alkitab, yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama, dan 27 kitab Perjanjian Baru, sudah lengkap dan sudah ditutup oleh Tuhan, tidak akan ditambah-tambah lagi. Artinya, Firman Tuhan sudah lengkap di tangan orang-orang percaya, semenjak Wahyu 22:21 selesai dituliskan, sebagaimana memang Tuhan memperingatkan agar jangan ada lagi orang yang menambahkan apa-apa kepada kitabNya yang sudah selesai (Wah. 22:18).
Dan, doktrin kanon tertutup ini, bukan hanya benar karena dipegang oleh kebanyakan orang Kristen, tetapi adalah benar karena diajarkan dalam Alkitab. Tuhan bukan saja memberikan pernyataan penutup dalam kitab Wahyu (kitab yang terakhir ditulis), Tuhan juga mengajarkan bahwa iman orang percaya (yaitu isi Alkitab) diberikan dalam satu masa (faith…once delivered unto the saints, Yudas 1:3), yaitu abad pertama atau zaman rasul-rasul, bukan diberikan secara perlahan sepanjang abad-abad masa gereja. Tuhan Yesus berjanji kepada para Rasul, bahwa Roh Kudus akan menuntun mereka kepada “seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13), yang berarti bahwa seluruh “kebenaran Firman Tuhan” akan lengkap selesai pada zaman rasul-rasul. Oleh sebab itulah zaman rasul-rasul disebut sebagai fondasi untuk keseluruhan zaman gereja, “yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Dasar para rasul dan para nabi mengacu kepada karya mereka, yaitu Alkitab.
Karena Alkitab adalah kanon yang tertutup, maka Tuhan sudah menaruh ke dalam Alkitab segala informasi yang dibutuhkan oleh orang percaya hari ini untuk hidup berkenan kepada Allah. Ini disebut doktrin Sufficiency of Scripture, atau Kecukupan Kitab Suci, dan diajarkan dalam perikop-perikop, seperti ini: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Tim. 3:16-17). Segala informasi rohani yang kita perlukan untuk hidup kudus dan hidup berkenan kepada Tuhan sudah ada dalam Alkitab. Hal ini tidak berarti bahwa orang Kristen tidak perlu membaca buku-buku rohani, komentari, mendengar khotbah, atau hal-hal membangun lainnya. Tetapi maksudnya adalah bahwa semua materi lain harus didasarkan pada Alkitab, dan bersifat selaras dan menjelaskan Alkitab sebagai fondasi iman. Orang Kristen tidak memerlukan wahyu tambahan, melainkan sudah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik oleh Firman yang tertulis.
Dengan demikian, maka adalah cocok secara theologis bahwa nubuat dan karunia-karunia pewahyuan lainnya berhenti pada saat Alkitab selesai ditulis atau diberikan oleh Tuhan. Jika nubuat terus berlanjut, maka akan ada informasi pewahyuan tambahan terus dari Tuhan, yang akan membuat kekristenan tidak memiliki fondasi yang jelas. Doktrin kanon tertutup menuntut berhentinya pewahyuan baru dari Tuhan. Doktrin kanon tertutup berarti Alkitab adalah satu-satu Firman Tuhan bagi orang Kristen di zaman gereja hari ini, dan berarti bahwa di luar Alkitab tidak ada lagi pewahyuan dari Tuhan, atau firman Tuhan lainnya.
Para pendukung nubuat hari ini sering berargumen bahwa nubuat kontemporer bukanlah untuk ditambahkan ke dalam Alkitab, melainkan untuk konsumsi pribadi atau kalangan. Selain itu mereka juga berargumen bahwa nubuat itu bersifat lisan, sedangkan Alkitab bersifat tulisan, sehingga mereka memakai moto: “wahyu tulisan sudah berhenti, wahyu lisan jalan terus.” Namun, ini adalah argumen-argumen yang tidak mengena kepada esensi permasalahan. Apa yang dilakukan oleh para pendukung nubuat kontemporer ini adalah mengecilkan nilai Alkitab sebagai Firman Tertulis, karena secara sadar atau tidak sadar mereka mengumandangkan kepercayaan mereka bahwa wahyu yang terkandung dalam Alkitab tidaklah cukup bagi orang percaya hari ini. Orang percaya masih harus menantikan, mengejar, menunggu, nubuat-nubuat lisan yang akan diberikan oleh “nabi-nabi” kontemporer. Posisi demikian bukan saja tidak alkitabiah, tetapi juga sangat merusak.
Adanya nubuat lisan hari ini berarti ada otoritas Firman Tuhan di luar Alkitab bagi orang Kristen. Ini sama saja dengan meruntuhkan Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi bagi hidup dan iman orang Kristen. Itu berarti fondasi kekristenan tidak pasti, bagaikan penggaris yang masih belum tentu ukurannya. Ini akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian doktrin, yang memang adalah tujuan Iblis. Para pendukung nubuat hari ini sering berkelit dengan berkata bahwa nubuat dari Tuhan harus selalu dibandingkan dengan Alkitab, dan tidak mengandung informasi di luar Alkitab. Tetapi jelas ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Jika memang nubuat tidak mengandung informasi di luar Alkitab, maka nubuat itu tidak diperlukan sama sekali. Dan jika ia mengandung informasi di luar Alkitab, maka tidak ada cara untuk membandingkannya dengan apa yang tertulis dalam Alkitab. Bahwa nubuat kontemporer bersifat lisan tidaklah mengurangi tingkat kesalahannya, karena apa yang lisan dengan mudah dapat dijadikan tulisan dengan fasilitas dan kecanggihan hari ini. Dengan demikian, bukanlah terlalu berimajinasi jika kata-kata seorang “nabi kontemporer” dicatatkan, dan dibuat menjadi sebuah buku, maka buku itu sama otoritasnya dengan Alkitab, karena adalah pewahyuan dari Tuhan. Betapa kacaunya kondisi demikian!
Selain itu, walaupun secara teoritis kelompok-kelompok demikian akan berkata bahwa mereka menjunjung tinggi Alkitab, namun pada prakteknya pastilah akan ada penekanan pada nubuat lisan tersebut. Anggota-anggota jemaat juga akan lebih mengharapkan mendapatkan petunjuk dari nubuat lisan yang “kontemporer dan up-to-date” daripada dengan tekun belajar dari halaman-halaman Kitab Suci yang tebal untuk mendapatkan prinsip-prinsip kehidupan.12
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Alkitab mengajarkan doktrin kanon tertutup, dan bahwa doktrin kanon tertutup diperlukan untuk kekristenan yang sehat dan kuat, sebagaimana Tuhan rancangkan dari awal. Dengan demikian, to teleion mengacu kepada Alkitab yang sudah selesai, sudah lengkap, konsisten denagn doktrin kanon tertutup.
Pertimbangan gugurnya alternatif. Ketika mempertimbangkan penafsiran suatu ayat dalam Alkitab, seorang pelajar Firman Tuhan bukan hanya perlu memikirkan keberatan-keberatan terhadap suatu posisi, namun juga harus memikirkan ada atau tidaknya alternatif lain yang lebih baik. Bisa saja ada hal-hal yang belum dapat dijawab tentang suatu doktrin (misal doktrin Penciptaan, Tritunggal, Sifat Yesus yang dual Manusia dan Allah, dll.), namun hal-hal tersebut tidak menggugurkan doktrin itu karena cukup jelas diajarkan dalam Alkitab, dan juga karena berbagai pandangan alternatif lainnya gugur. Demikian juga dalam 1 Korintus 13:10 ini, bukan saja konteks jelas menunjuk kepada pewahyuan yang sempurna, tetapi juga berbagai alternatif yang ditawarkan oleh kaum continuationists gagal total. Berikut akan dibeberkan kegagalan beberapa alternatif yang diajukan.
Pertama, alternatif bahwa to teleion mengacu kepada Yesus Kristus. Ini adalah alternatif yang cukup populer disuguhkan, karena Tuhan Yesus tentu adalah pribadi yang sempurna, dan cocok dengan keinginan continuationist untuk terus bernubuat sampai kedatangan kembali Tuhan Yesus. Jadi, nubuat akan berhenti setelah “yang sempurna,” yaitu Tuhan Yesus datang; dan karena Tuhan Yesus belum datang kembali, maka nubuat terus ada hari ini.
Pandangan ini gagal total dari sudut kontekstual maupun grammatikal. Pertama, dari sudut grammatikal, sebagaimana sudah ditekankan sebelumnya, to teleion adalah kata sifat (adjective) dalam bentuk gender netral. Roh Kudus tidak mungkin memakai kata sifat gender netral ini untuk mengacu kepada Tuhan Yesus. Banyak pembaca Indonesia mungkin tidak begitu familiar dengan konsep gender pada kata karena memang jarang muncul dalam kosakata Indonesia. Suatu ilustrasi sederhana adalah kata ganti dalam bahasa Inggris: he, she, dan it. Kata ganti he adalah maskulin, dipakai untuk mengacu kepada laki-laki, she feminim untuk perempuan, dan it netral mengacu kepada benda, binatang, barang, hal, ataupun konsep. Di dalam Alkitab, Tuhan Yesus jelas lahir sebagai seorang laki-laki, dan konsisten diacu sebagai maskulin. Jadi tidak mungkin, secara grammatis, to teleion mengacu kepada Tuhan Yesus.
Pada poin ini, ada orang-orang continuationist yang mencoba untuk membantah dengan berkata bahwa Tuhan Yesus bisa diacu dengan kata benda netral, atau bahkan feminim. Mereka mengambil contoh, misalnya, bahwa Tuhan Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Jalan berasal dari kata hodos, kebenaran adalah aletheia, dan hidup adalah zoe. Ketiga kata ini memiliki gender feminim dalam bahasa Yunani. Diargumentasikan bahwa kalau Tuhan Yesus bisa menyatakan diriNya sebagai hodos, aletheia, dan zoe yang adalah kata benda feminim, maka tidak ada masalah jika Tuhan Yesus -lah yang dimaksud oleh to teleion yang netral.
Tetapi argumen di atas salah total, dan memperlihatkan kesalahpahaman terhadap grammar Yunani. Ada perbedaan besar antara kata benda (noun) dengan kata sifat (adjective), walaupun kata sifat bisa dipakai untuk menyatakan suatu benda (penggunaan substantif). Perbedaan yang relevan bagi diskusi ini adalah: kata benda sudah menetap (fixed) gender-nya, sedangkan kata sifat tidak menetap gender-nya, melainkan selalu mengikuti kata benda yang sedang dijelaskan sifatnya itu. Artinya, hodos (jalan) selalu muncul dalam gender feminim dalam bahasa Yunani, dan demikian juga aletheia (kebenaran), zoe (hidup), thura (pintu), dan semua kata benda lainnya. Jika Tuhan berkata bahwa Ia adalah “kebenaran” menggunakan kata aletheia, maka tidak ada versi maskulin ataupun versi netral dari aletheia yang dapat dipakai. Kata aletheia selalu dalam bentuk feminim, dan gender dalam kasus ini tidak ada pengaruhnya pada konsep bahwa Tuhan Yesus adalah kebenaran sekaligus seorang laki-laki yang maskulin.
Kata sifat memiliki dinamika yang sama sekali berbeda. Kata sifat dalam Yunani, mampu diekspresikan dalam gender maskulin, feminim, maupun netral, hanya dengan mengubah bentuk akhir mereka. Ini penting, karena kata sifat mengikuti gender dari kata benda yang ia jelaskan. Kata sifat sempurna, misalnya, bisa muncul dalam bentuk maskulin (teleios), feminim (teleia), ataupun netral (teleion). Jika kita mengatakan “kebenaran yang sempurna” misalnya, maka kita mengatakan aletheia teleia. Jika kita mengatakan laki-laki yang sempurna, maka kita mengatakan aner teleios. Jadi, kata sifat menyesuaikan gender-nya dengan kata benda yang dia jelaskan.
Dengan demikian jelas, bahwa dalam 1 Korintus 13:10, Roh Kudus yang memakai to teleion, sebuah kata sifat dalam bentuk netral, tidak mungkin mengacu kepada Tuhan Yesus yang adalah pribadi maskulin. Orang yang keras kepala mempertahankan pandangan ini bisa dianggap menjurus kepada penghujatan terhadap Tuhan, karena membendakan pribadi sang Juruselamat.
Usaha terakhir bisa dilakukan oleh kaum continuationist dengan berkata bahwa to teleion bukan mengacu kepada Tuhan Yesus, tetapi kepada “kedatangan” Tuhan Yesus. Dan karena “kedatangan” adalah suatu konsep, maka wajar jika diacu menggunakan kata sifat netral. Sekilas pandang trik ini bisa menyelamatkan konsep bahwa nubuat terus berlanjut sampai kedatangan Tuhan, namun perenungan lebih lanjut menggugurkannya juga. Ayat berbunyi: “jika yang sempurna tiba.” Dengan akal sehat saja, jika Paulus misalnya sedang menantikan kedatangan Timotius, akankah ia berkata: “Jika Timotius datang” ataukah ia akan berkata: “Jika kedatangan Timotius datang.” Kalimat kedua sangatlah aneh, canggung, dan sangat dipaksakan, tetapi itulah yang diargumentasikan oleh para continuationist yang memaksa bahwa to teleion adalah “kedatangan” Tuhan. Dengan kata lain, ini pandangan yang gugur dengan sendirinya.
Kedua, alternatif bahwa to teleion mengacu kepada kematian orang percaya, yaitu ketika ia masuk Surga. Pandangan ini bertitik berat pada pembandingan antara 1 Korintus 13:12 dengan 1 Yohanes 3:2. Dalam surat Yohanes itu, dikatakan bahwa “apabila Kristus menyatakan diriNya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaanNya yang sebenarnya” (1 Yoh. 3:2). Para pendukung teori alternatif ini mengatakan bahwa hal ini sama dengan “melihat muka dengan muka” yang ada di 1 Kor. 13:12. Jadi, karunia-karunia pewahyuan ini baru akan berhenti ketika seseorang mati dan masuk Sorga, karena saat itulah ia akan melihat Tuhan secara muka dengan muka.
Alternatif ini juga gagal total, pertama karena salah menafsirkan 1 Korintus 13:12. Seperti nanti akan dibahas di bagiannya tersendiri, banyak orang mengasumsikan bahwa 1 Kor. 13:12 berbicara mengenai melihat Tuhan muka dengan muka, padahal ayat tidak berkata demikian, dan tidak mungkin demikian (pembahasan nanti di bawah). Jadi, paralel antara 1 Korintus 13:12 dengan 1 Yohanes 3:2 adalah salah. Selanjutnya, alternatif ini juga gagal karena pada saat kematian, adalah orang percaya yang pergi kepada Tuhan, bukan sesuatu yang sempurna yang datang kepada orang Kristen. Jika memang yang Paulus maksudkan adalah kematian dan kepergian ke Surga, maka ia tidak akan berbicara mengenai kedatangan suatu benda yang sempurna, melainkan berbicara mengenai orang percaya disempurnakan, atau orang percaya pergi kepada Tuhan. Lagipula, pada saat seseorang mati, memang benar bahwa ia tidak lagi memerlukan karunia-karunia pewahyuan, tetapi apa hubungannya itu dengan berhentinya karunia bagi orang-orang yang masih hidup? Konteks 1 Korintus 13:9-10 adalah berhentinya karunia-karunia pewahyuan seperti nubuat, bahasa lidah, dll., dalam konteks berjemaat, yaitu bagi semua orang Kristen, sedangkan kematian hanya akan berpengaruh pada pribadi yang meninggal tersebut. Jadi, terlihat bahwa secara kontekstual alternatif ini jauh dari kebenaran.
Ketiga, alternatif bahwa to teleion adalah kasih. Logika dari pandangan ini adalah bahwa pasal 13 dari 1 Korintus sedang berbicara mengenai kasih, sehingga mereka menyimpulkan bahwa to teleion mengacu kepada kasih. Tetapi ini adalah logika yang cacat dan pengambilan kesimpulan yang malas. Kesalahan yang paling menyolok dari pandangan alternatif ini adalah bahwa kasih sudah ada dan tidak perlu ditunggu lagi kedatangannya. Justru di pasal ini, Paulus menghimbau orang Korintus untuk mempraktekkan kasih, lebih dari pada mengejar karunia rohani. Itu berarti Paulus bukan sedang menyuruh mereka menantikan suatu “kasih” yang akan datang kemudian. Kasih sudah tersedia dalam Kristus, dan perlu dipraktekkan sekarang juga. Para pendukung pandangan alternatif ini biasanya berkelit dengan mengatakan bahwa yang ditunggu kedatangannya adalah “kasih yang sempurna,” yang menurut mereka barulah bisa terjadi saat kedatangan Kristus dan orang percaya masuk ke dalam kemuliaan. Tetapi mereka lupa bahwa kasih yang sempurna juga sudah pernah datang ke dalam dunia, yaitu dalam bentuk Yesus Kristus yang mati di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Tuhan sendiri berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Selain itu, pandangan ini juga menabrak pembatas grammar yang Roh Kudus tuliskan. To teleion adalah sebuah kata sifat ber-gender netral, sedangkan kasih (agape) yang disebut berulang-ulang di pasal ini, adalah kata benda feminim. Jika Paulus memaksudkan bahwa “kasih” akan menghentikan karunia-karunia pewahyuan, maka sudah sewajarnya ia memakai teleios dalam bentuk feminim, yaitu teleia. Sebagai contoh adalah pemakaian di 1 Yohanes 4:18, yang berbunyi: “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan,” yang memakai istilah he teleia agape (?? ??????? ???????). Menariknya dalam 1 Yoh. 4:17-18, kasih yang sempurna ini tidak dikatakan sebagai sesuatu yang masih jauh di depan (saat masuk Surga), tetapi sesuatu yang dapat dimiliki orang Kristen hari ini di dunia ini. “Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini” (1 Yoh. 4:17).
Tambahan lagi, menafsirkan to teleion sebagai “kasih” sama sekali tidak sinkron dengan ayat 9, yang mengatakan bahwa alasan berhentinya nubuat adalah karena nubuat tidak lengkap, sehingga ketika yang “lengkap” (to teleion) tiba, maka yang tidak lengkap akan berhenti. Kasih tidaklah menggantikan nubuat, karena nubuat adalah bentuk pewahyuan sedangkan kasih adalah satu bentuk tindakan/ketaatan orang percaya. Keduanya bukan dalam kategori yang sama. Yang benar adalah: Alkitab yang lengkap menggantikan nubuat yang tidak lengkap. Tidak ada logika bahwa karena pasal ini berbicara mengenai kasih, maka to teleion pastilah kasih, padahal bertentangan dengan konteks dan grammar.
Keempat, alternatif bahwa to teleion adalah kedewasaan gereja. Pandangan ini mengaitkan perikop 1 Korintus 13 ini dengan Efesus 4:11-18, terutama karena Paulus dalam surat ke Efesus menyatakan bahwa Tuhan mengaruniakan pemberian-pemberian (rasul, nabi, penginjil, gembala, dan pengajar), untuk memperlengkapi tubuh Kristus, “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh [andra teleion, ??????? ????????], dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:13). Jadi, para penganut pandangan ini berargumen bahwa teleion di 1 Korintus 13, sama dengan teleion di Efesus 4, mengacu kepada kedewasaan jemaat.
Tetapi pendangan ini memiliki banyak defisiensi dan kelemahan. Pertama adalah bagaimana mendefinisikan kedewasaan jemaat itu, dan kapan itu akan terjadi. Penganut pandangan ini biasanya menjabarkan bahwa kedewasaan jemaat baru akan terjadi saat Tuhan Yesus datang kembali. Tidak dapat disangkal bahwa selama orang percaya masih di dunia ini, tentu ia belum sempurna, dan demikian juga dengan jemaat-jemaat Tuhan, tidak ada yang sempurna dalam pengertian tanpa cacat cela sedikitpun. Tetapi, konteks Efesus 4:11-18, bukan berbicara mengenai tidak bercacat cela, tidak berdosa sedikitpun. Konteksnya dijabarkan dalam ayat 14-15: “sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Jelas dari kedua ayat ini, bahwa target kedewasaan yang dimaksud bukanlah kesempurnaan di Surga yang tidak bercacat sedikitpun, tetapi sesuatu kondisi yang ada di dunia ini, yaitu memahami kebenaran dengan cukup mendalam, dan cukup berakar, sehingga tidak lagi diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran. Di Surga tidak ada lagi rupa-rupa angin pengajaran yang palsu, sehingga ayat ini tidak akan cocok untuk kondisi di Surga. Dengan demikian, gugurlah usaha untuk memakai Efesus 4 untuk memaksakan berlanjutnya terus karunia-karunia pewahyuan hingga kedatangan Tuhan.
Kedua, walaupun memang kedua perikop ini memakai kata sifat teleion, namun tetap ada perbedaan gender. Di dalam Efesus 4:13, teleion dipakai dalam bentuk maskulin, karena menjelaskan kata aner (bentuk andra di ayat 13), yang adalah laki-laki, maskulin. Sedangkan, sudah berulang kali disebutkan bahwa to teleion di 1 Korintus 13 adalah dalam gender netral. Jadi, memang bentuk yang dipakai sekilas pandang identik, namun sebenarnya tidaklah sama.13
Ketiga, pandangan ini tetap tidak dapat lari dari kecanggungan kontekstual, bahwa di 1 Kor. 13:9 disebutkan alasan nubuat dan karunia pengetahuan pewahyuan akan berhenti adalah karena mereka tidak lengkap atau bersifat parsial, dan akan berhenti ketika yang “lengkap” datang. Yang “lengkap” (sempurna) di ayat 10 adalah sesuatu yang menggantikan “yang tidak lengkap” di ayat 9. Jemaat yang dewasa (lengkap) tidak menggantikan nubuat, karena memang berbeda kategori sama sekali. Jadi, sekali lagi, berdasarkan konteks ayat 9, adalah pewahyuan yang lengkap yang menggantikan (dan menghentikan) pewahyuan yang tidak lengkap. Dengan demikian, semua pandangan alternatif yang telah disajikan, gagal untuk memenuhi syarat kontekstual ini, dan tidak ada yang lebih benar dan lebih kuat daripada memahami to teleion sebagai pewahyuan yang lengkap untuk zaman gereja, yaitu Alkitab. Berikutnya pembahasan beralih kepada sanggahan atau keberatan yang sering diajukan terhadap posisi ini.
Ada tiga keberatan yang biasanya diajukan kritikus ketika seseorang tiba pada kesimpulan bahwa to teleion mengacu kepada selesainya pewahyuan, atau dengan kata lain selesainya kanon atau Alkitab. Keberatan yang pertama mengacu kepada ayat 12 dalam perikop ini, dan berargumen bahwa ayat 12 mengajarkan karunia nubuat dan bahasa lidah baru akan berhenti setelah orang percaya melihat Tuhan Yesus muka dengan muka. Jawaban terhadap keberatan pertama ini akan dibahas saat eksegesis mencapai ayat 12. Keberatan yang kedua mengatakan bahwa Paulus tidak mungkin memaksudkan kanon di ayat 10, karena dia tidak ada menyinggung kanon di pasal ini, dan bahwa jemaat Korintus tidak akan paham dengan konsep kanon, karena kanon belum ada pada waktu surat ini ditulis. Ada yang bahkan berkata bahwa Paulus sendiri belum memiliki konsep tentang kanon. Keberatan ketiga menunjuk kepada adanya nubuat dan nabi di dalam masa kesusahan besar, sebagaimana digambarkan dalam kitab Wahyu pasal 11. Keberatan yang kedua dan ketiga akan dijawab di bawah ini.
Benarkah Paulus tidak ada menyinggung kanon dalam suratnya ke Korintus ini? Dan benarkah bahwa orang-orang Korintus yang membaca surat ini tidak mungkin akan memahami to teleion sebagai kanon, karena kanon belum ada? Benarkah Paulus sendiri belum memahami tentang kanon sehingga tidak mungkin menuliskannya? Jawaban terhadap semuanya ini adalah negatif. Memang pada waktu surat 1 Korintus ditulis, kanon Perjanjian Baru belum selesai (justru karena itulah masih ada nubuat dan bahasa lidah, dll.), tetapi sama sekali tidak berarti orang-orang Korintus tidak memahami konsep kanon jika disinggung oleh Paulus di perikop ini. Konsep kanon sudah sangat dipahami oleh orang-orang Kristen karena kanon sudah ada di depan mata mereka, yaitu kanon Perjanjian Lama. Orang-orang Kristen mula-mula banyak yang berlatarbelakang Yahudi, dan mereka jelas memahami konsep kanon, dan sudah menerima kanon PL sebagai Firman Tuhan. Ketika orang-orang non-Yahudi menjadi Kristen, mereka ikut menerima kanon PL ini sebagai Firman Tuhan. Cara para penulis Perjanjian Baru mengutip perikop-perikop dalam PL memperlihatkan bahwa para Rasul dan juga para pembaca mereka, yaitu jemaat-jemaat abad pertama, memahami dan menerima kanon PL tanpa keragu-raguan.
Jadi, jemaat-jemaat abad pertama, termasuk jemaat Korintus tidak asing dengan konsep adanya sekumpulan tulisan yang diilhamkan Allah, yang menjadi standar iman, yang tidak lagi ditambah atau dikurangi. Berawal dari titik ini, tidak sulit sama sekali bagi orang-orang Kristen waktu itu untuk mengambil kesimpulan bahwa Tuhan sedang menyusun suatu kanon yang baru untuk menjadi standar yang melengkapi kanon yang sudah ada (PL). Itulah kanon PB, yang jika digabung dengan PL menjadi Alkitab Kristen yang terdiri dari 66 kitab.
Mengenai kanon Perjanjian Baru, orang percaya lahir baru janganlah tertipu oleh konsep yang dihembuskan oleh kaum liberal dan non-Kristen, bahwa kanon PB baru akan terbentuk pada abad keempat melalui dekrit-dekrit berbagai konsili. Kebenarannya sama sekali bukan demikian. Harus dibedakan antara terbentuknya kanon dengan penerimaan terhadap kanon tersebut. Kanon adalah karya Tuhan, sehingga terbentuknya kanon sama sekali tidak tergantung kepada manusia. Kanon PB selesai setelah kitab yang terakhir (kitab Wahyu) ditulis, yang menandakan pewahyuan dari Tuhan sudah lengkap untuk zaman ini. Lalu kanon ini diterima oleh manusia, dan penerimaan terhadap kanon ini memang bisa bervariasi waktunya. Ada kelompok dan wilayah yang menerima kanon agak belakangan, dan ada yang lebih cepat. Namun, yang jelas, Roh Kudus bekerja, sehingga di abad pertama sekalipun, orang-orang Kristen yang sungguh lahir baru sudah dipimpin Roh Kudus untuk menyadari dan menerima kanon PB tersebut. Bahkan ketika surat-surat PB masih ditulis, kesadaran bahwa surat-surat itu adalah bagian dari kanon sudah ada.
Sebagai contoh, Paulus sadar bahwa surat-suratnya, tulisan-tulisannya, bukan tulisan biasa, melainkan adalah Firman Tuhan. Bahkan di surat Korintus yang sama ini, Paulus menegaskan bahwa ia sedang menyampaikan Firman Tuhan kepada mereka (1 Kor. 14:37), dan jika ada orang yang tidak mau taat pada surat-suratnya, orang itu harus dikucilkan (2 Tes. 3:6, 14). Bukan hanya itu, Petrus juga mengakui otoritas dari surat-surat Paulus. Petrus berkata bahwa ada orang-orang yang memutarbalikkan pengajaran yang terdapat dalam surat-surat Paulus, dan dengan demikian mendatangkan kecelakaan atas diri mereka sendiri, sama seperti yang mereka lakukan terhadap Kitab-Kitab Suci14 lainnya (2 Pet. 3:15-16). Kitab suci lain yang dimaksud oleh Petrus adalah Perjanjian Lama, dan dengan demikian Petrus sudah menyamakan otoritas tulisan Paulus dengan kitab-kitab Perjanjian Lama. Demikian juga Paulus mengutip Injil Lukas, dan menyebutnya Firman Tuhan, demikian: “Bukankah Kitab Suci berkata: … seorang pekerja patut mendapat upahnya” (1 Tim. 5:18). Frase ini dikutip persis dari Lukas 10:7, yang menandakan bahwa Paulus mengakui tulisan Lukas sebagai bagian dari kanon yang diinspirasikan.
Dari sedikit survei di atas, terlihat bahwa bahkan saat surat-surat para Rasul dan kitab-kitab Injil sedang ditulis di abad pertama, Roh Kudus sudah bekerja dalam hati orang-orang yang sungguh lahir baru, dan menuntun mereka untuk menyadari bahwa ada tulisan-tulisan baru yang Ia sedang kerjakan, yang memiliki otoritas sama dengan Perjanjian Lama, dan yang akan ditambahkan ke dalam kanon Kitab Suci. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa jemaat mula-mula telah sangat akrab dengan konsep kanon, dan tidak ada alasan untuk mencurigai bahwa mereka tidak dapat memahami kanon jika disinggung oleh Paulus di 1 Korintus 13:10.
Tentunya semua poin di atas tidak akan diterima oleh seorang liberal (atau non-Kristen), yang memang tidak mau menerima adanya aspek supranatural (tuntunan Roh Kudus, etc.) dalam menyelidiki apapun yang berkaitan dengan Alkitab. Mereka bersikukuh bahwa kekristenan adalah fenomena yang sepenuhnya alami, dan mengikuti pola “evolusi agama” yang mereka canangkan. Mereka mengatakan bahwa harus ada periode waktu mitologisasi Injil dan periode waktu panjang untuk munculnya konsep kanon, gereja, dll. Kaum liberal bahkan ada yang berargumen bahwa karena Injil Matius mengandung kata “ekklesia” (jemaat), itu membuktikan Injil ini ditulis agak belakangan setelah konsep “gereja” yang terorganisir dikembangkan di abad 2 atau 3 Masehi. Tentu ini adalah kebodohan bagi orang-orang yang percaya Tuhan, karena konsep jemaat/gereja tidak perlu mengalami “evolusi” perlahan sebagaimana dibayangkan oleh kaum liberal, melainkan adalah konsep yang Tuhan ajarkan langsung melalui pewahyuannya. Seharusnya kaum continuationist, yang mengaku percaya pada kuasa Tuhan, tidak satu perahu dengan kaum liberal dalam hal ini, seolah-olah konsep kanon (atau gereja, atau lainnya) perlu mengalami suatu evolusi konsep. Tidak, konsep kanon diajarkan langsung oleh Tuhan dalam FirmanNya, dan dengan demikian tidak ada halangan bahwa Paulus mengajarkan tentang “kanon” dalam surat 1 Korintus.
Kemudian, jika dikatakan bahwa Paulus tidak ada menyinggung kanon sama sekali, maka itu adalah argumen/pernyataan yang bersifat begging the question. Artinya, justru diargumentasikan bahwa to teleion mengacu kepada kanon, sehingga kalau disanggah bahwa Paulus tidak ada menyinggung kanon sama sekali, maka itu berarti secara apriori sudah menghilangkan kemungkinan itu. Paulus dengan tegas mengajarkan tentang pentingnya Kitab Suci bagi orang percaya, yang dapat menuntun kepada keselamatan (2 Tim. 3:15), dan walaupun Kitab Suci yang tersedia bagi Timotius adalah Perjanjian Lama, tetapi Paulus tahu bahwa Tuhan sedang mengerjakan suatu kanon Perjanjian Baru. Ia menegaskan bahwa “All scripture is given by inspiration of God” (2 Tim. 3:16). Sangatlah masuk akal bahwa Paulus juga mengajarkan hal ini kepada jemaat Korintus. Selain itu, kata sifat teleios ada dipakai dalam Alkitab untuk mengacu kepada Firman Tuhan, yaitu di Yakobus 1:25, mengacu kepada “hukum yang sempurna” (nomon teleion, ?????? ????????). Paralel dengan itu, di Perjanjian Lama, dinyatakan bahwa “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa” (Mazmur 19:8).
Kutipan dari Perjanjian Lama ini sekaligus juga dapat menjadi titik awal untuk menjawab keberatan ketiga yang diajukan, yaitu bahwa kitab Wahyu menubuatkan akan ada nabi-nabi lagi di masa kesusahan besar (Wahyu pasal 11). Permasalahan utama dari keberatan ini adalah tidak memahami adanya wahyu progresif dan pergerakan dispensasi dari zaman ke zaman. Pelajar Alkitab yang serius tidak akan luput dari memperhatikan bahwa Tuhan memberikan tuntutan atau tanggung jawab15 yang berbeda-beda kepada manusia untuk zaman yang berbeda. Di taman Eden, perintah Tuhan kepada manusia berbeda dengan setelah jatuh dalam dosa. Demikian juga, Tuhan memperbaharui perintahNya kepada umatNya setelah Israel resmi diangkat menjadi bangsa pilihan di gunung sinai. Setelah Israel menolak Mesias mereka dan menyalibkan Tuhan Yesus, Tuhan memperkenalkan ekklesia–ekklesiaNya sebagai titik fokal pekerjaanNya. Dan, setiap kali ada perubahan dispensasi (tanggung jawab), maka pastilah diiringi adanya pewahyuan baru untuk menjelaskan tanggung jawab baru dan cara hidup yang baru itu. Penambahan pewahyuan yang baru pada saat masuk ke dalam dispensasi baru adalah sesuatu yang normal dan merupakan modus operandi Tuhan. Tetapi, itu tidak berarti pewahyuan yang lama itu cacat. Pewahyuan yang lama adalah sempurna/lengkap untuk masanya. Memasuki masa baru, Tuhan akan memberikan pewahyuan baru. Oleh sebab itulah, di masa Israel, Taurat16 dikatakan sempurna (Maz. 19:8), tetapi ketika memasuki masa gereja, Tuhan memberikan kanon yang baru. Demikian juga, Alkitab (66 kitab) hari ini sudah lengkap/sempurna untuk masa gereja sekarang ini, dan setelah Alkitab selesai maka Tuhan tidak akan lagi menambah kepadanya, sehingga karunia bernubuat dan bahasa lidah dengan sendirinya berhenti. Tetapi, hal ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa ketika zaman gereja selesai, dan Tuhan Yesus turun ke angkasa untuk menjemput orang-orang kudusNya, maka dunia memasuki masa dispensasi yang baru dengan kondisi dan tanggung jawab yang baru. Maka pada saat itu Tuhan akan memberikan pewahyuan baru untuk membimbing orang-orang pada masa itu.
Dapat juga ditambahkan bahwa kita dapat memandang masa Tribulasi sebagai perpanjangan atau kelanjutan dari masa Perjanjian Lama yang sempat terpotong oleh masa gereja. Eskatologi Perjanjian Lama, sebagaimana Tuhan singkapkan kepada Daniel dalam Daniel 9:24-27, menubuatkan adanya periode waktu 70×7 tahun sebelum datangnya Kerajaan Milenium. 69X7 tahun berakhir pada kematian Yesus. Setelah itu, dunia tidak segera masuk ke dalam Tribulasi (1×7 tahun terakhir), melainkan ada masa gereja sebagai masa rahasia yang Tuhan sisipkan. Oleh karena itu, ketika masa gereja selesai dan rapture terjadi, dunia akan masuk kembali ke program 70×7 Daniel. Dengan demikian, nubuat yang ada dalam masa Tribulasi adalah nubuat sebagai bagian dari program PL, yang berbeda dengan karunia bernubuat sebagai karunia rohani yang Tuhan berikan kepada jemaat-jemaatNya. Kepada orang-orang tertentu yang didiami Roh Kudus di masa jemaat, Tuhan memberikan karunia nubuat selama Alkitab belum selesai. Datangnya Alkitab menghentikan keperluan karunia nubuat ini. Nubuat di masa Tribulasi berbeda total, karena bukan diberikan sebagai karunia rohai kepada jemaat-jemaat Kristus.
D. Ayat 11
11 Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
11 When I was a child, I spake as a child, I understood as a child, I thought as a child: but when I became a man, I put away childish things.
11 ??? ???? ??????, ?? ?????? ???????, ?? ?????? ????????, ?? ?????? ??????????? ??? ?? ?????? ????, ????????? ?? ??? ??????.
Setelah Paulus membuat pernyataan tegas tentang berakhirnya karunia rohani yang bersifat pewahyuan yang belum lengkap (nubuat, pengetahuan khusus, dan karunia bahasa) oleh karena datangnya pewahyuan yang lengkap, ia berlanjut memberikan dua ilustrasi mengenai hal ini. Ilustrasi pertama ada di ayat 11, dan yang kedua di ayat 12. Kedua ilustrasi ini sangat mendukung pemahaman bahwa to teleion mengacu kepada pewahyuan yang sudah lengkap, yaitu Alkitab di tangan orang percaya hari ini.
Di ayat sebelas ini, Paulus membandingkan antara kondisi pada saat seseorang masih kanak-kanak (nepios, ??????), dengan kondisi pada saat seseorang sudah dewasa (aner, ????). Perbandingan dalam ilustrasi ini cukup sederhana. Seorang kanak-kanak tentunya memiliki pengetahuan yang masih sangat terbatas, sehingga cara ia berbicara (elaloun, ???????), merasa (efranoun, ????????), ataupun berpikir (elogizomen, ??????????) terbatas juga. Tetapi, ketika ia menjadi dewasa, maka ia memiliki pengetahuan yang jauh lebih lengkap, sehingga ia akan meninggalkan cara-cara beraktivitas yang kekanak-kanakan itu. Kata “meninggalkan” di sini adalah katergeka (?????????), bentuk Perfect dari katargeo, yang adalah sama dengan kata kerja utama di ayat 8 dan 10. Oleh sebab itu, kata “meninggalkan” ini menjadi jembatan ide di antara poin utama pengajaran dengan ilustrasinya. Sebagaimana seorang yang sudah dewasa akan “meninggalkan” atau “menghentikan” cara berbicara dan berpikir yang kanak-kanak, demikian juga hadirnya pewahyuan yang lengkap akan membuat cara-cara pewahyuan yang tidak lengkap berhenti.
Perhatikan bahwa ketika seorang anak berbicara, ia belum memiliki kosa kata maupun pengenalan grammar yang lengkap. Ketika seorang anak berpikir, ia belum memiliki kerangka berpikir dan pengetahuan kontekstual yang lengkap seperti seorang dewasa. Demikian juga, ketika orang-orang Kristen di abad pertama belum memiliki Alkitab, maka mereka belum mendapatkan pewahyuan Tuhan yang lengkap untuk zaman ini. Untuk sementara, kekosongan pada waktu itu Tuhan isi dengan karunia bernubuat. Nubuat-nubuat yang disampaikan dalam jemaat-jemaat abad pertama berisikan sebagian dari Firman Tuhan yang kita miliki hari ini, bisa jadi tentang kedatangan kembali Tuhan, tentang bagaimana hidup kudus, tentang aspek-aspek keselamatan, dll. Namun selama belum lengkap di tangan orang percaya, dan belum dalam bentuk tulisan (yang jauh lebih mapan), maka ini adalah fase kanak-kanak. Selesainya Alkitab mengantar kepada fase dewasa, karena seluruh pengetahuan rohani yang Tuhan ingin sampaikan di zaman gereja ini, sudah tersedia.
E. Ayat 12
12 Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.
12 For now we see through a glass, darkly; but then face to face: now I know in part; but then shall I know even as also I am known.
12 ???????? ??? ???? ??? ???????? ?? ?????????, ???? ?? ???????? ???? ????????? ???? ??????? ?? ??????, ???? ?? ??????????? ????? ??? ??????????.
Di ayat 12 ini, Paulus memberikan ilustrasi kedua untuk mendukung poin yang dia ajarkan. Di ayat inilah para kelompok continuationist menumpukan argumen mereka. Mereka berkata bahwa karena ayat 12 berbicara mengenai melihat Tuhan muka dengan muka, yang merujuk kepada kondisi di Surga atau kekekalan, maka pastinya to teleion dan berakhirnya karunia nubuat dan kawan-kawannya adalah pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Namun, eksegesis dan pertimbangan Alkitab yang serius menggugurkan argumen kaum continuationist ini.
Jika diteliti dengan seksama, ternyata teks sama sekali tidak mengatakan bertemu Tuhan muka dengan muka, karena kata “Tuhan” atau “Allah” sama sekali tidak ada, melainkan adalah presuposisi yang dimasukkan (eisegesis) ke dalam teks. Memang benar, ada perikop Firman Tuhan lain yang mengajarkan bahwa orang percaya yang sudah diselamatkan akan suatu hari melihat Tuhan Yesus secara langsung, misalnya di 1 Yohanes 3:2.17 Fakta ini tidak diragukan. Tetapi, hanya karena suatu kebenaran diajarkan di perikop lain, bukan berarti kebenaran yang sama diajarkan juga di sini, hanya karena ada terminologi yang mirip yang dipakai. Konteks selalu adalah penentu utama bagaimana seorang pelajar Firman Tuhan memahami arti suatu ayat. Dan, berdasarkan konteks, bolehkah seorang pelaku eksegesis menafsirkan bahwa yang dimaksud di ayat ini adalah melihat Tuhan, yaitu ketika seseorang masuk Surga? Jawabannya adalah tegas: tidak!
Pertama, jika yang dimaksud adalah melihat Tuhan, akan muncul pertanyaan: kapankah orang percaya akan melihat Tuhan? Jawabannya adalah ketika ia masuk Surga, yaitu pada saat kematiannya. Paulus sendiri mengajarkan ini dalam banyak perikop. Mengenai kematian dia berkata: “Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu” (Fil. 1:23-24). Lagi, Paulus berkata: “terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan” (2 Kor. 5:8). Ayub juga mengantisipasi melihat Tuhan setelah kematiannya: “Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah” (Ayub 19:26). Jadi, ketika seorang Kristen mati,18 tubuhnya memang dikuburkan, tetapi jiwa dan rohnya akan pergi ke Surga untuk bersama dengan Kristus. Pada saat itulah dia akan bertemu Tuhan muka dengan muka. Tetapi, ini justru menjadi masalah bagi kaum continuationist di ayat ini, karena saat kematian setiap orang berbeda-beda, sehingga bagaimanakah waktu yang berbeda-beda itu dapat menjadi pengakhir dari karunia rohani? Rasul Paulus meninggal dunia tahun 60an Masehi. Rasul Yohanes meninggal tahun 90an Masehi. Setiap orang Kristen punya waktunya sendiri untuk melihat Tuhan muka dengan muka! Dan, tidak mungkin yang dimaksudkan oleh Paulus dalam ayat ini adalah bahwa si orang yang mati itu tidak lagi akan bernubuat karena sudah mati, karena konteks pembicaraan adalah berhentinya pemakaian karunia rohani di dalam jemaat, bukan berhenti bagi pribadi lepas pribadi saat ia mati. Lagipula, jelas dari 1 Korintus 12 bahwa tidak semua anggota jemaat mendapatkan karunia bernubuat, atau karunia berbahasa lain, karena semua orang punya karunia yang khas. Paulus juga tidak mungkin mengajarkan bahwa orang yang mati tidak lagi bernubuat, karena hal seperti itu sudah secara lumrah diketahui umum tanpa perlu diajarkan secara khusus. Paulus sedang berbicara kapan karunia nubuat, pengetahuan khusus, dan karunia berbahasa lain akan berhenti pemakaiannya di dalam jemaat-jemaat Tuhan. Dengan demikian, tidak mungkin ayat 12 sedang berbicara mengenai bertemu Tuhan muka dengan muka, karena peristiwa ini akan terjadi pada waktu yang berbeda-beda untuk setiap orang.
Kedua, jika kaum continuationist tetap mau memaksakan memahami “Tuhan” sebagai objek yang dilihat dalam ayat ini, maka akan menimbulkan pengajaran palsu yang berbahaya. Jika yang dimaksud “melihat muka dengan muka” adalah melihat Tuhan, maka klausa selanjutnya akan bermakna demikian: “sekarang aku hanya mengenal Tuhan dengan tidak sempuna, tetapi nanti aku akan mengenal Tuhan dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” Permasalahan besar muncul, karena adanya klausa: seperti aku sendiri dikenal. Dapatkah manusia mengenal Tuhan dengan sempurna (epignosomai, ???????????), seperti Tuhan mengenal dia? Itu hal yang mustahil! Tuhan adalah pribadi yang tak terhingga, dan manusia yang terbatas sebagai makhluk ciptaan, tidak mungkin mengenal Tuhan secara exhaustive sebagaimana Tuhan mengenal kita. Pengajaran demikian akan menghilangkan batasan antara Pencipta dengan ciptaan, yang sebenarnya tak terseberangi dalam kekekalan sekalipun. Dengan demikian, cukup konklusif bahwa Paulus tidak memaksudkan “melihat Tuhan muka dengan muka” di sini. Lalu apa yang dia maksudkan?
Rupanya ada perikop lain dalam Alkitab yang juga menggunakan metafora cermin, yaitu Yakobus 1:23-25.
Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.
Dalam perikop Yakobus ini, firman Tuhan diibaratkan dengan cermin (esoptron, ??????????), yang dapat memberitahu kepada seseorang bagaimana rupanya. Dalam 1 Korintus 13:12, penggunaan Paulus sedikit berbeda dari Yakobus. Fokus Paulus adalah memberikan kontras antara kondisi ketika firman Tuhan belum lengkap, dengan setelah yang lengkap (to teleion) itu tiba. Ketika orang percaya masih belum mempunyai pewahyuan yang lengkap, melainkan barulah diterangi oleh pewahyuan yang bersifat parsial, misalnya nubuatan lisan, maka ia bagaikan masih melihat secara samar melalui cermin (esoptron, ??????????). Untuk memahami ilustrasi ini, haruslah diingat bahwa cermin di abad pertama bukanlah seperti cermin modern yang terbuat dari kaca. Cermin pada waktu itu terbuat dari logam yang dipoles sampai mengkilat, namun yang tentunya tidak seefektif cermin kaca modern, dan memberikan refleksi yang samar. Kata “samar-samar” berasal dari frase en ainigmati (?? ?????????), yang secara literal adalah: dalam enigma. Sebelum adanya Alkitab, pengetahuan orang percaya bagaikan puzzle yang masih banyak menyisakan bagian-bagian yang belum terisi. Hal ini cocok dengan apa yang ayat ini katakan: “sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna,” yang secara literal adalah: “sekarang aku hanya mengetahui sebagian” (arti ginosko ek merous, ???? ??????? ?? ??????). Frase ek merous sama persis dengan yang di ayat 9 dan 10. Nubuat adalah pewahyuan yang ek merous, yang parsial, sebagian. Demikianlah sebelum ada Alkitab, kita mengetahui kebenaran yang Tuhan ingin singkapkan secara sebagian, secara ek merous. Tetapi, setelah pewahyuan untuk zaman gereja ini lengkap, yaitu selesainya kanon, maka orang percaya dapat mengetahui kebenaran Allah untuk zaman gereja ini dengan sempurna, yaitu dengan lengkap (epignosomai, ?????????????). Ia bukan lagi melihat secara samar, tetapi semuanya sudah tersingkap (dari yang Tuhan ingin singkapkan), dan itu ibarat sudah melihat muka dengan muka.
F. Ayat 13
13 Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
13 And now abideth faith, hope, charity, these three; but the greatest of these is charity.
13 ???? ?? ????? ??????, ?????, ?????, ?? ???? ?????. ?????? ?? ?????? ? ?????. Textus Receptus
Ayat 13 sebagai penutup perikop ini kembali menguatkan posisi yang telah muncul dalam eksegesis, yaitu bahwa to teleion mengacu kepada Alkitab, Firman Tuhan yang sudah lengkap untuk zaman gereja ini. Paulus memulai pasal ini dengan membandingkan karunia terhadap kasih, untuk memperlihatkan bahwa orang-orang Korintus salah jika mereka mempergunakan karunia rohani mereka untuk keegoisan dan kesombongan. Kasih jauh lebih penting dari pada karunia rohani manapun. Lebih lanjut lagi, kasih juga akan bertahan jauh lebih lama dari pada karunia-karunia rohani. Kasih tidak berkesudahan. Sebagai kontras, Paulus menyebut 3 karunia yang berhubungan dengan pewahyuan, dan memperlihatkan sifat sementara mereka. Pewahyuan yang terkandung dalam karunia-karunia ini bersifat parsial, sehingga akan lenyap ketika yang lengkap (to teleion) tiba.
Di ayat 13 ini, Paulus menyimpulkan dengan berkata “demikianlah” (bisa juga dipahami “demikianlah sekarang, atau “and now” dalam KJV, berasal dari nuni de, ???? ??), tinggal tiga hal, yaitu iman (pistis, ??????), pengharapan (elpis, ?????) dan kasih (agape, ?????). Kata “demikianlah” bukan mengacu kepada kondisi saat Paulus berbicara, karena di zaman Paulus masih ada karunia-karunia pewahyuan ini, tetapi mengacu kepada kondisi ketika karunia-karunia pewahyuan itu sudah berakhir, yaitu saat to teleion itu sudah datang. Dari sini seorang pelaku eksegesis dapat menguji, pandangan mana yang benar, bahwa to teleion mengacu kepada kedatangan Kristus, atau kepada selesainya kanon pewahyuan untuk zaman gereja!
Jika kaum continuationist benar, dan to teleion mengacu kepada kedatangan Kristus, maka setelah Yesus datang kembali dan orang-orang percaya dibawa ke Surga, karunia-karunia pewahyuan akan berhenti, dan akan tersisa iman, pengharapan, dan kasih di Surga nanti. Tetapi pandangan ini melanggar pengajaran Firman Tuhan di tempat lain mengenai iman dan pengharapan. Mengenai iman, Paulus mendefinisikannya sebagai: “bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Iman adalah antitesis dari melihat. Sesuatu yang sudah dilihat, tidak perlu lagi diimani. Paulus juga menambahkan bahwa selama di dunia, “hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Kor. 5:7). Jadi, jika seseorang sudah sampai di Surga dan melihat Tuhan Yesus, maka iman dia sudah menjadi kenyataan, ia tidak mengimani lagi apa yang ia sudah lihat. Demikian juga dengan pengharapan. Paulus mengajarkan hal yang sama: “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Roma 8:24). Dengan kata lain, jika seseorang sudah masuk Surga, maka pengharapannya sudah genap, dan ia mengharapkan lagi pengharapan yang sudah genap itu. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa kasih adalah yang terbesar dari tiga serangkai ini (iman, pengharapan, kasih), sebab ketiganya penting selama hidup di dunia, tetapi hanya kasih yang terus bertahan dalam kekekalan, sebagaimana pernyataan Paulus di ayat 8: “kasih tidak berkesudahan.” Jadi, kalau dikatakan masih tersisa iman, pengharapan, dan kasih, berarti kondisi yang Paulus maksudkan bukanlah di Surga atau dalam kekekalan. Jadi, ayat 13 meruntuhkan asumsi-asumsi kaum continuationist.
Sebaliknya, ayat 13 akan sangat konsisten dengan pemahaman yang sudah Paulus bangun dari ayat-ayat sebelumnya, bahwa to teleion adalah pewahyuan yang lengkap, yaitu Alkitab. Ketika Alkitab selesai ditulis, maka Tuhan menghentikan karunia-karunia pewahyuan, karena toh yang lengkap sudah datang, sehingga yang parsial tidak diperlukan lagi. Yang lengkap sudah menggantikan yang parsial. Karunia-karunia pewahyuan berhenti, tetapi akan tinggal bagi orang percaya iman, pengharapan, dan kasih. Iman dan pengharapan sangat penting bagi orang percaya sekarang ini, bukan di Surga nanti. Kasih penting sekarang, dan untuk selama-lamanya. Karunia-karunia pewahyuan tidak lagi Tuhan berikan kepada jemaat setelah Alkitab selesai. Kelompok continuationist yang tetap melanjutkan karunia-karunia pewahyuan hari ini tidak mendapatkannya dari Tuhan, dan dengan tindakan mereka melemahkan Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi bagi orang Kristen dan mengalihkan perhatian dan semangat jemaat dari Firman yang tertulis kepada “firman” yang lisan yang mereka jajakan. Ini adalah bagian dari strategi Iblis, dan harus ditolak oleh orang-orang percaya. Eksegesis terhadap 1 Korintus 13:8-13 yang telah disuguhkan ini menyatakan kebenaran Firman Allah mengenai topik ini. Sungguh indah kebenaran Firman Tuhan yang saling harmonis satu dengan lainnya. Amin
1Orang yang percaya Alkitab sudah sepatutnya menolak teori liberal tentang Marcan Priority dan Q.
2“ Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1 Kor. 12:7). Banyak kelompok kharismatik yang mati-matian mengatakan bahwa ada bahasa “roh” yang untuk doa pribadi, untuk membangun diri sendiri. Mereka mengutip 1 Korintus 14:2-3, tetapi mereka melakukan kesalahan fatal yang tidak boleh dilakukan dalam hermeneutika, yaitu tidak memperhatikan konteks. Dalam perikop itu, Paulus mengatakan si pembicara bahasa asing sedang membangun diri sendiri bukan sebagai pujian apalagi pengajaran, melainkan sebagai teguran! Paulus justru sangat menekankan bahwa karunia bahasa-bahasa haruslah diterjemahkan agar jemaat paham dan dapat dibangun.
3Sebaliknya, para kritik tekstual modern, yang hampir semuanya memegang Critical Text dalam bentuk teks UBS atau Nestle Aland edisi terbaru, berdiri di atas posisi bahwa teks asli telah “hilang” dan perlu ditemukan kembali melalui ilmu kritik tekstual, namun bahwa upaya ini tidak pernah akan selesai atau dengan kata lain teks asli tidak akan pernah direstorasi sebelum kekekalan.
4Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan karunia ini sebagai “bahasa roh” yang tidak dapat dibenarkan sama sekali, dan mengakibatkan kesalahpahaman besar tentang karunia ini. Dalam teks asli, kata yang dipakai adalah glossai, yang berarti lidah-lidah, atau secara sederhananya: bahasa-bahasa.
5Kata ini muncul 26x dalam PB, dan memiliki konotasi diakhiri atau dibatalkan (Rom. 3:3, 31; 4:14)), atau bahkan dibinasakan/dihilangkan (1 Kor. 6:13; 15:24).
6Kata ini muncul 15x dalam PB, dan walaupun kata bahasa Inggris “Pause” bisa jadi berasal dari kata pauo ini, namun pauo dalam Yunani tidak memiliki konotasi akan berlanjut lagi yang terdapat dalam kata Inggris “pause.” Pauo berarti berhenti, stop, berakhir.
7Ayat ini juga mematahkan sepenuhnya pandangan bahwa bahasa “roh” adalah untuk doa pribadi. Doa pribadi tidak mungkin menjadi tanda bagi orang tidak percaya (yaitu orang Yahudi dalam konteks ini).
8Roma pasal 11 dengan jelas mengajarkan bahwa Israel dikesampingkan untuk sementara dari program Allah, tetapi bukan secara final untuk selamanya. Roma pasal 11 dengan tegas menubuatkan akan kembalinya Israel dalam program Allah. Dengan demikian, A-millenialisme dan Post-millenialisme adalah salah, dan Pre-millenialisme benar.
9Di kalangan kharismatik/Pentakosta, ada sebagian yang memunculkan teori bahwa ada dua macam nubuat: nubuat yang tidak bisa salah, dan nubuat yang bisa salah. Salah satu pendukung (pencetus?) teori ini adalah Wayne Grudem. Mereka memunculkan teori ini untuk melindungi praktek nubuat di kalangan kharismatik sekarang ini, yang secara riil dapat dibuktikan penuh dengan kesalahan. Tetapi teori ini bukan hanya salah total, tetapi juga sangat berbahaya. Teori ini contoh bagaimana keterikatan kepada praktek tertentu mengacaukan theologi seseorang.
10“Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.”
11Muncul 13 kali dalam bentuk maskulin, 2 kali dalam bentuk feminim, dan 4 kali dalam bentuk netral.
12 Terlihat bahwa kelompok kharismatik sekalipun secara teoritis katanya meninggikan Alkitab, tetapi pada prakteknya lebih meninggikan pengalaman daripada Alkitab. Segala sesuatu diukur berdasarkan pengalaman. Sebagai contoh, mereka merasa “damai” saat “berbahasa roh,” sehingga tidak lagi peduli bahwa pengalaman mereka itu berlawanan dengan Firman Tuhan yang mengatakan karunia bahasa harus diterjemahkan, harus satu per satu, harus maksimum 3 orang, dan tidak boleh oleh wanita, belum lagi bahwa karunia itu sudah selesai hari ini!
13Dalam bahasa Yunani, teleion memang bisa bergender maskulin maupun netral. Yang memastikan bahwa dalam 1 Korintus 13:10 teleion adalah dalam bentuk netral adalah adanya artikel netral to. Jadi teleion saja bisa maskulin bisa netral, tetapi to teleion pastilah netral.
14LAI menerjemahkan klausa ini: “sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain” (2 Pet. 3:16). Kata tulisan-tulisan yang lain, berasal dari kata Yunani graphe, yang konsisten dalamAlkitab mengacu kepada Kitab Suci. Oleh sebab itulah dalam KJV, diterjemahkan: “as they do also the other scriptures, unto their own destruction.”
15Konsep dispensasi dalam Alkitab berasal dari kata oikonomia yang berarti suatu “tugas tanggung jawab.”
16Taurat dapat mengacu kepada kelima kitab Musa, dan bisa juga mengacu kepada seluruh Perjanjian Lama.
17Sebenarnya sungguh ironis, bahwa ayat-ayat seperti 1 Yohanes 3:2 mengajarkan orang Kristen hari ini tidak melihat Yesus dengan mata jasmani, dan barulah nanti di Surga kita akan melihat Dia secara jasmani. Tetapi, kebanyakan kaum continuationist justru adalah kaum yang masih percaya bahwa Tuhan Yesus masih rutin menampakkan diri kepada mereka dalam berbagai visi, mimpi, dan kunjungan-kunjungan pribadi. Jika demikian, maka ketika mereka melihat Yesus dalam visi, mimpi, atau kunjungan pribadi tersebut, karunia nubuat dan berbahasa lain sudah selesai bagi mereka sesuai dengan argumen mereka dari ayat 12 ini.
18Yang dimaksudkan di sini adalah orang Kristen sejati, yang sudah dilahirbarukan oleh Allah karena iman yang sejati pada Kristus.