Gulungan-Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls)

Sumber: www.wayoflife.org

Sudah bertahun-tahun lamanya saya (David Cloud) membaca tentang Gulungan Laut Mati, tetapi minat saya semakin meningkat baru-baru ini setelah mengunjungi dua situs yang terkait dengannya: gua-gua dan museum di Qumran, dan Kuil Kitab di Yerusalem tempat tujuh gulungan pertama disimpan.

Gulungan-gulungan itu ditemukan antara tahun 1947 dan 1956 dalam 11 gua dekat pantai barat laut Laut Mati, 13 mil tenggara dari Yerusalem. Gua pertama berisi dua gulungan Yesaya, termasuk Gulungan Besar Yesaya yang hampir utuh.

Gulungan-gulungan itu terawetkan oleh iklim gua yang sangat kering, yaitu 1.300 kaki di bawah permukaan laut.

Gulungan-gulungan itu berisi sisa-sisa sekitar 900 tulisan yang berbeda-beda, sebagian besar ditulis antara 200 SM dan tahun 68 M. Sebagian besar gulungan-gulungan itu berupa fragmen-fragmen. Gulungan-gulungan Laut Mati disebut sebagai “teka-teki jigsaw terbesar di dunia.” Sebagian besar gulungan ditulis di atas perkamen (kulit domba atau kambing), sementara sebagian kecil ditulis di atas papirus (kertas yang terbuat dari tanaman papirus) dan tanah liat, dan dua di antaranya ditulis di atas tembaga (Geza Vermes, The Story of the Scrolls, 2010 ).

Delapan puluh persen dari gulungan-gulungan itu ditulis dalam bahasa Ibrani, dan 25% di antaranya adalah kitab-kitab dalam Alkitab. Ada bagian dari setiap kitab Perjanjian Lama kecuali Ester, dengan demikian meneguhkan kanon tradisional Kitab Suci. Ada 15 salinan Kejadian, 17 Keluaran, 13 Imamat, delapan Bilangan, 29 Ulangan, dua Yosua, tiga Hakim-Hakim, 21 Yesaya, enam Yeremia, enam Yehezkiel, 36 Mazmur, dua Amsal, dan empat dari Rut.

Tidak ada bagian dari kitab-kitab Perjanjian Baru di antara Gulungan Laut Mati, dan Yesus tidak disebutkan di mana pun di dalamnya.

Tes penanggalan mutakhir pada awal 1990-an menegaskan bahwa gulungan-gulungan yang berisikan teks Alkitab berasal dari dua abad sebelum Masehi (George Bonani, “Carbon-14 Tests Substantiate Scroll Dates,” Biblical Archaeology Review, November/Desember 1991, hlm. 72).

Gulungan Besar Yesaya

Kitab Perjanjian Lama yang paling penting dan lengkap di antara Gulungan-gulungan Laut Mati adalah Gulungan Besar Yesaya, yang berisi semua 66 pasal Yesaya. Ia ditemukan di gua pertama dan ditulis pada 17 lembar kulit domba yang dijahit menjadi satu untuk membentuk gulungan dengan panjang sekitar 24 kaki. Gulungan ini sekarang berada di Kuil Kitab di Museum Israel di Yerusalem, dan sebuah rekayasa salinan yang realistis dipajang di ruang utama. Penanggalan gulungan ini telah diuji setidaknya empat kali dengan metode karbon-14 dan hasilnya berkisar antara 335 hingga 107 SM. Teknik lain (misalnya dari bahan dan gaya tulisan, koin terkait, dan artefak lainnya) bertanggal 150-100 SM. Jadi, gulungan ini ditulis setidaknya satu abad sebelum Masehi dan mungkin dua abad sebelumnya.

Bidat Essenes

Buku-buku non-alkitabiah dari Gulungan Laut Mati mewakili berbagai macam buku, banyak di antaranya adalah ajaran sesat dari bidat Yahudi yang disebut Essenes, yang mungkin mempunyai sebuah komunitas biara di dekat Qumran. Mereka menganggap diri mereka Israel sejati dan percaya bahwa Tuhan telah memanggil mereka untuk memulihkan Hukum Musa dan mendirikan kerajaan Tuhan di bumi. Pemimpin mereka disebut “Guru Kebenaran.” Karena percaya bahwa penyembahan di Bait Suci di Yerusalem tidak murni, mereka berpisah darinya dan pindah ke padang gurun untuk menunggu kedatangan Mesias, dengan pemahaman bahwa mereka menggenapi Yesaya 40:3.

Mereka melihat diri mereka sebagai “Anak-anak Terang” dan “Anak-anak Kebenaran” dan semua orang lain sebagai “Anak-anak Kegelapan,” dan mereka mengharapkan Mesias untuk kembali dan memimpin mereka mengalahkan “bala tentara Belial” dalam suatu perang yang berkepanjangan dan kemudian membangun Bait baru dan menetapkan kembali penyembahan Bait yang murni. Semua ini dijelaskan dalam buku mereka The War Rule dan The New Jerusalem.

Mereka berharap Bait Suci yang baru akan dijalankan sesuai dengan Buku Bait Suci mereka, yang adalah sebuah gulungan sepanjang 28 kaki yang mereka klaim adalah instruksi Tuhan kepada Israel untuk pengoperasian Bait Suci. Mereka mengharapkan seorang nabi akhir zaman dan dua Mesias untuk memimpin penaklukan Anak-anak Kegelapan (bangsa-bangsa kafir dan orang-orang Yahudi yang murtad). Satu Mesias adalah Mesias imam dari garis keturunan Harun, yang dikenal sebagai Penafsir Hukum, dan yang lainnya adalah “Mesias awam,” yang mereka sebut sebagai “Cabang Daud” (Vermes, hal. 188). Kekacauan theologis ini muncul dari kesalahpahaman mereka tentang nubuatan Mesianik. Tunas Daud sebenarnya adalah satu-satunya Mesias, yang datang dalam pribadi Yesus dan ditolak, seperti yang dinubuatkan Yesaya 53.

Kaum Essenes sangat asketis dan legalistik. Mereka mengenakan pakaian mereka sampai hancur berkeping-keping dan hidup dengan pola makan yang hemat. Mereka mengenakan jubah putih dan sering mandi ritual. Sebagian besar mereka membujang tetapi orang yang menikah harus tunduk pada aturan komunitas bahkan dalam hal keintiman. Jika suami dan istri melakukan hubungan intim “melawan aturan,” mereka dikeluarkan dari komunitas. Mereka adalah pemelihara Sabat yang fanatik, tidak diperbolehkan untuk membantu hewan yang sedang melahirkan atau menarik hewan keluar dari lubang tempat hewan itu jatuh, dan bahkan jika seseorang jatuh ke dalam lubang atau air, tidak ada tali atau tangga yang boleh digunakan untuk penyelamatannya. Mereka sangat tertutup, dan beberapa buku mereka ditulis dalam kode, dan anggota mereka dilarang mengkomunikasikan ajaran rahasia kepada orang luar.

Mereka menafsirkan Kitab Suci dengan cara alegoris menurut gaya Origen, yang menghancurkan otoritasnya dan menjadikan pikiran penafsir sebagai otoritas.

Meskipun sebagian kecil sarjana meragukan apakah komunitas di Qumran terkait langsung dengan gulungan-gulungan yang ditemukan di gua-gua di dekatnya, bukti-bukti pendukung tampaknya sangat banyak. Pertama, ini adalah kesimpulan yang paling jelas. Sebagian besar gua hanya sepelemparan batu dari Qumran. Gua 4, yang berisi dua pertiga dari Gulungan Laut Mati, bukan hanya adalah tempat penyimpanan cepat tetapi juga perpustakaan nyata dengan rak-rak kayu. Kedua, guci-guci tempat gulungan-gulungan itu ditempatkan persis seperti yang ditemukan di Qumran. Ketiga, bukti-bukti adanya aktivitas penulisan gulungan ditemukan di Qumran. Keempat, tidak masuk akal bahwa orang-orang Yahudi dari Yerusalem mengambil risiko membawa gulungan-gulungan itu sampai ke Qumran, dengan situasi tentara Romawi tersebar di seluruh pedesaan, padahal ada tempat persembunyian yang bagus di dekatnya. Kelima, banyak gulungan yang isinya anti penguasa waktu itu. Gulungan-gulungan itu ditulis oleh sekte yang telah diusir dari bait suci di Yerusalem dan bertentangan oleh para pemimpin Yahudi pada masa itu. Keenam, Qumran cocok dengan lokasi di mana filsuf Romawi Pliny menempatkan pemukiman Essene, di pantai barat Laut Mati.

Situs Qumran telah digali secara ekstensif dan saat ini menjadi museum terbuka.

Bukti bahwa Nubuatan Alkitab Sudah Ditulis Sebelum Waktunya

Bagi orang yang percaya Alkitab, makna terbesar dari Gulungan-gulungan Laut Mati adalah bahwa mereka membuktikan bahwa ratusan nubuatan tentang Mesias dalam Perjanjian Lama ditulis sebelum kelahiran Yesus dan dengan demikian mengotentikasi asal-usul ilahi mereka dan ketuhananNya sebagai Putra Allah.

Misalnya, Mazmur 22 dan Yesaya 53 menggambarkan penderitaan Kristus dengan sangat rinci, termasuk penolakan-Nya oleh bangsa Ibrani, ketidakadilan dalam pengadilan atas diri-Nya, penikaman tangan dan kaki-Nya, pembuangan undi para prajurit untuk pakaian-Nya, kata-kata yang benar-benar Dia ucapkan di kayu salib, ejekan orang banyak, dan penguburan-Nya di kuburan orang kaya. Tidak mungkin hal-hal seperti itu dapat diketahui sebelum Yesus lahir kecuali melalui wahyu ilahi.

Otentikasi terhadap Alkitab Ibrani Masoret

Gulungan-gulungan Laut Mati mengandung bukti kuat untuk keaslian teks Ibrani Masoretik yang menjadi dasar bagi Alkitab-Alkitab agung zaman Reformasi seperti Alkitab Jerman yang diterjemahkan Luther, Alkitab King James dalam bahasa Inggris, dan Alkitab Reina Valera dalam bahasa Spanyol. Teks Masoret dipelihara oleh kerja keras para juru tulis Ibrani sebelum penemuan percetakan dengan komponen yang dapat bergerak pada abad ke-15. (Alkitab Ibrani cetakan pertama muncul pada tahun 1488.)

Kata “masoret” mengacu pada transmisi Alkitab yang setia. Para juru tulis Masoretik benar-benar menghitung setiap kata dari suatu manuskrip, dan jika terjadi kesalahan, bagian itu harus dihancurkan. Enam puluh hingga enam puluh lima persen gulungan Alkitab yang ditemukan di Laut Mati mewakili teks Masoret. Ini luar biasa karena codex Ibrani paling awal dari teks Masoret yang digunakan oleh para sarjana tekstual pada abad ke-16 dan ke-17 (seperti Aleppo) ditulis lebih dari seribu tahun setelah Gulungan-gulungan Laut Mati.

Perbedaan antara gulungan Laut Mati yang konservatif dan teks Masoretik sangatlah kecil, sebagian besar berkaitan dengan ejaan atau tata bahasa, penghilangan atau penambahan satu kata, atau pertukaran huruf Ibrani. Misalnya dalam Yesaya 7:14, Immanuel ditulis sebagai dua kata dalam teks Masoret dan sebagai satu kata dalam Gulungan Besar Yesaya, tetapi nama yang dimaksud adalah persis sama.

Kemiripan Gulungan Besar Yesaya dengan teks Masoret disebut “sangat menyolok” oleh Dr. Ernst Wurthwein dan “luar biasa dekat” oleh Adolfo Roitman (Wurthwein, The Text of the Old Testament, 1979, hlm. 144; Roitman, The Bible in the Shrine of the Book, 2006, hal.43).

Membandingkan Yesaya 53 dalam Gulungan Besar Yesaya dari tahun 100-200 SM dan Codex Aleppo dari tahun 900 M, kata “terang” (tiga huruf dalam bahasa Ibrani) ditambahkan dalam Gulungan Besar Yesaya dalam Yesaya 53:11. Menurut Dr. Peter Flint, salah satu penerbit Gulungan-gulungan Laut Mati, Gulungan Besar Yesaya dalam 53:11 berbunyi, “Dari kesusahan jiwanya ia akan melihat terang” (“Gulungan Besar Yesaya dan Alkitab Asli : Wawancara dengan Dr. Peter Flint,” Bible and Spade, Musim Gugur 2010). Beberapa versi bahasa Inggris modern telah menambahkan kata ini. [Editor: Terjemahan Indonesia Baru menggunakan teks Gulungan Laut Mati di ayat ini].

Mungkin perbedaan yang paling signifikan antara Gulungan Laut Mati dan teks Masoretik ditemukan dalam Mazmur 145. Ini adalah mazmur akrostik yang setiap ayatnya dimulai dengan huruf berikutnya dari alfabet Ibrani. Dalam teks Masoretik, ayat 13 dimulai dengan huruf ke-13 dari alfabet Ibrani, tetapi ayat 14 dimulai dengan huruf ke-15, dan huruf ke-14 (nun) hilang. Mazmur 145 dalam salah satu gulungan Laut Mati (11QPs-a) memiliki huruf ke-14 yang mengawali pernyataan ini: “TUHAN setia dalam segala firman-Nya dan baik hati dalam segala perbuatan-Nya.” Kata-kata itu juga muncul dalam Septuaginta dan Syriac Peshitta. Beberapa versi bahasa Inggris modern, termasuk Revised Standard Version (RSV), English Revised Version (ERV), New International Version (NIV, 1984), New Revised Standard (NRSV), dan Holman Standard Version (HSV 2003), menambahkan kata-kata ini di akhir Mazmur 145:13, kadang-kadang dengan menggunakan kurung. Tapi fakta bahwa baris untuk huruf nun hilang dalam Mazmur 145 tidak berarti bahwa baris itu memang ada di teks aslinya. Pertama, ada puisi akrostik dalam Mazmur 25 dan 34 yang tidak secara tepat mengikuti alfabet Ibrani. (Sebagai contoh, dalam Mazmur 25, baris bet tidak ada di ayat 2 dan baris waw tidak ada di ayat 5). Kedua, “Dari sisi struktural, akrostik cukup umum mengalami variasi karena alasan gaya. Dalam hal ini, suatu alasan dapat ditawarkan mengenai mengapa penulis asli memilih untuk menghapus satu huruf. Dengan ketidakhadiran baris nun, mazmur ini berisi tiga bait yang sama yang masing-masing terdiri dari tujuh ayat” (Matthew Winzer, Australian Free Church, Victoria). Ketiga, dari sudut pandang manusia murni, akan aneh jika seorang juru tulis secara tidak sengaja menghapus baris nun itu dan kemudian untuk setiap juru tulis berikutnya mengikuti kesalahan yang sama, jika memang itu adalah bacaan asli Mazmur. Ahli-ahli tulis Masoretik terlalu berhati-hati untuk hal seperti itu terjadi. Mereka akan tahu bahwa ada baris nun yang hilang dan hanya akan mengulangi penghilangan itu atas dasar tekstual yang baik. Jauh lebih mungkin memang tidak ada baris nun di teks aslinya dan beberapa juru tulis yang merasa terganggu dengan kekosongan tersebut menyusun sebuah baris untuk mengisi celah tersebut. Seperti yang akan kita lihat, kaum Eseni dari Qumran (tempat ditemukannya gulungan-gulungan Laut Mati) tidak takut merusak teks Kitab Suci. Bahkan para ahli yang liberal pun tidak bersatu untuk mengikuti pembacaan 11QPs-a dalam Mazmur 145.

Meskipun ada isu-isu seperti ini, bukti dokumenter Alkitab tidak tertandingi di antara buku-buku kuno. Sebaliknya, pembacaan asli buku-buku seperti tulisan Homer dan Plato tidak mungkin dipulihkan dengan pasti.

Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Iliad dan Odyssey karya Homerus disusun pada abad kedelapan SM, tetapi fragmen tertua setidaknya berasal dari 500 tahun kemudian. Dan manuskrip tertua yang lengkap dari tulisan Homer berasal dari abad ke-10 dan ke-11 M, setidaknya 1.800 tahun setelah penulisan teks aslinya. Ada berbagai edisi dari kisah Iliad dan Odyssey, dan tidak mungkin untuk mengetahui apa yang dikatakan aslinya secara mendetail.

Pertimbangkan tulisan-tulisan Konfusius, filsuf kuno China yang paling terkenal. Buku utama yang berisi ajarannya adalah Analects, tetapi buku ini ditulis oleh murid-muridnya dan terbentuk selama ratusan tahun, dari sekitar 470 SM hingga 200 M. Bagian tertua yang masih ada hingga hari ini berasal dari sekitar 50 SM, yang lebih dari 400 tahun setelah kematian Konfusius.

Ada empat alasan mengapa kita percaya bahwa Gulungan-Gulungan Laut Mati non-Masoret tidak boleh digunakan untuk memodifikasi teks Ibrani Masoret.

Pertama, Allah berjanji untuk memelihara Firman-Nya. Lihat Mazmur 100:5, dst. Allah menempatkan pengamanan Kitab Suci ke tangan orang Yahudi (Roma 3:1-2), dan meskipun mereka tidak mematuhi Kitab Suci dan meskipun mereka menutupinya dengan tradisi rabbi-rabbi mereka yang sia-sia, mereka sangat menghormati Kitab Suci dan teks yang mereka simpan ditemukan dalam teks Masoret sebagaimana diwakili oleh Aleppo Codex.

Untuk berpikir bahwa Tuhan memelihara Firman-Nya dengan menyembunyikannya di dalam gua untuk sebagian besar sejarah gereja dan membuatnya terungkap hanya pada akhir zaman pada masa kesesatan yang mendalam akan berarti bahwa teks Kitab Suci yang paling murni tidak tersedia bagi umat Allah sepanjang sebagian besar zaman gereja. Ini bertentangan dengan ajaran Kristus dalam Matius 28:18-20. Dia mengajarkan bahwa Kitab Suci dipelihara melalui penggunaannya di antara umat Allah. Alkitab dipelihara di gereja-gereja melalui pemuridan.

Para sarjana sekarang mengakui bahwa teks Masoretik adalah Alkitab Ibrani standar pada akhir periode Bait Suci Kedua. Hal ini dibuktikan tidak hanya oleh Gulungan-Gulungan Laut Mati tetapi juga oleh gulungan-gulungan yang ditemukan di Masada, Wadi Murabba’at, Nahal Hever, dan Nahal Tze’elim. Adolfo Roitman berkata bahwa teks Masoret “tampaknya menjadi teks otoritatif untuk arus utama Yudaisme menjelang akhir periode Bait Suci Kedua” (The Bible and the Shrine of the Book, hal. 56).

Mengingat Roma 3:1-2, ini adalah pengakuan yang penting! Ahli-ahli liberal melihat teks Masoret dan teks Septuaginta dan Samaria sebagai teks-teks yang sama-sama sah. Mereka percaya bahwa hanya karena para rabbi melarang teks-teks lain-lah akhirnya teks Masoret menang. Geza Vermes mengatakan,

“[Keberadaan teks Masoret dan Septuaginta dalam Gulungan Laut Mati] menunjukkan bahwa pada zaman Qumran teks-teks Ibrani yang cocok dengan versi Samaria dan Yunani kuno beredar bersamaan, dengan demikian mendukung teori bahwa jenis-jenis teks Ibrani tipe proto-Masoret, Samaria, dan Septuaginta eksis secara berdampingan dengan gembira sebelum penyensoran para rabbi menghilangkan dua yang terakhir sekitar tahun 100 M” (The Story of the Scrolls, hlm. 106).

Ini hampir persis seperti yang diyakini oleh para ahli Perjanjian Baru yang liberal tentang teks Yunani tipe Aleksandria. Mereka berpikir bahwa Teks Yunani Tradisional yang mendasari Alkitab-Alkitab Protestan menang hanya karena dinyatakan resmi oleh dewan gereja dan didorong oleh otoritas gereja. Alasan mereka menganut pandangan ini adalah karena mereka tidak percaya bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diberikan melalui ilham ilahi dan dipelihara oleh Tuhan yang sama yang menuliskannya. Bagi mereka, Alkitab hanyalah produk manusia, dan dalam mempelajarinya mereka hanya mempertimbangkan unsur manusia. Seperti orang Saduki di masa lalu, kaum modernis keliru karena tidak mengetahui kuasa Allah ( Markus 12:24).

Mengingat pernyataan Paulus dalam Roma 3:1-2 dan banyak janji dalam Kitab Suci bahwa Allah akan memelihara Firman-Nya, kita tahu bahwa Allah mengawasi transmisi Perjanjian Lama, dan Allah memimpin para rabbi Yahudi, bahkan dalam ketidakpercayaan dan kebutaan kerohanian mereka, untuk melestarikan Alkitab Masoret. Alkitab ini diterbitkan pada awal masa pencetakan dan diterjemahkan ke dalam setiap bahasa utama bangsa-bangsa selama era Reformasi.

Kedua, sama tidak mungkinnya bahwa Allah akan memelihara Perjanjian Lama melalui tangan-tangan suatu bidat Yahudi yang aneh dengan pemikiran bahwa Dia akan memelihara Perjanjian Baru melalui tangan-tangan bidat kritik tekstual modern. Alkitab memperingatkan umat Allah untuk menandai dan menghindari bidat (Roma 16:17- 18). Oleh karena itu tidak masuk akal untuk berpikir bahwa Dia akan menggunakan bidat-bidat seperti itu untuk melestarikan Kitab Suci.

Ketiga, teks “tipe Septuaginta” yang diwakili oleh gulungan-gulungan Laut Mati non-Masoret adalah terjemahan tipe parafrase yang longgar yang tidak boleh digunakan untuk mengoreksi bahasa Ibrani. (Salinan-salinan Septuaginta ditemukan di Qumran dalam bahasa Ibrani dan Yunani.)

Keempat, ada bukti bahwa bidat Qumran tidak takut-takut untuk mengutak-utik Kitab Suci. Mereka “dengan sombong berpikir bahwa mereka mempunyai hak kebebasan berkreasi dan menganggapnya sebagai tugas mereka untuk memperbaiki karya-karya yang mereka sebarkan” (Vermes, hlm. 109). Mereka bahkan menciptakan buku-buku mereka sendiri, seperti Temple Scroll, dan mengklaim itu berasal dari Tuhan. Adalah bodoh untuk mengubah teks Alkitab Tradisional yang telah diwariskan kepada kita dari generasi ke generasi melalui pemeliharaan ilahi berdasarkan “bukti” yang begitu tipis ini.

Alasan lain bagi orang yang percaya Alkitab untuk berhati-hati terhadap Gulungan-gulungan Laut Mati adalah karena pemulihan, penerjemahan, dan analisis terhadapnya dilakukan oleh para ahli yang tidak beriman. Dari antara para editor aslinya, empat orang adalah imam-imam Katolik yang liberal, satu orang adalah Metodis yang berubah menjadi agnostik, dan satu lagi adalah seorang Anglikan yang pindah agama ke Roma. Dua adalah pecandu alkohol. Kebanyakan ahli Alkitab liberal menganggap tulisan-tulisan kultus yang ditemukan di gua-gua Laut Mati memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Karena tidak percaya bahwa Perjanjian Baru diberikan oleh inspirasi ilahi, para ahli ini masih mencari “kunci yang mampu membuka misteri Yesus dan kelahiran Gereja.” Banyak yang berpendapat bahwa mereka telah menemukan kunci ini dalam Gulungan-gulungan Laut Mati yang non-Alkitab.

Salah satu editor aslinya, John Allegro, mengklaim pada tahun 1950-an bahwa gulungan-gulungan itu berisi deskripsi penyaliban seorang Guru Kebenaran yang dia identifikasikan dengan Yesus. Segera, anggota lain dari komite redaksi mengeluarkan pernyataan kepada London Times, 15 Maret 1956, mengatakan, “Kami tidak menemukan penyaliban ‘guru’, tidak ada pernyataan tentang salib, dan tidak ada ‘tubuh yang rusak dari Guru mereka’ untuk dijaga sampai Hari Penghakiman. … Adalah keyakinan kami bahwa dia salah membaca teks atau dia telah membangun rangkaian dugaan yang tidak didukung oleh materi.”

Terlepas dari ini, Allegro dan yang lainnya terus mengklaim bahwa Guru Kebenaran yang digambarkan dalam gulungan-gulungan itu mengacu pada Yesus atau Yohanes Pembaptis atau Yakobus, saudara laki-laki Yesus.

Pada tahun 1970, Allegro menerbitkan sebuah buku berjudul The Sacred Mushroom and the Cross, yang secara tidak masuk akal mengklaim bahwa Kekristenan berasal dari jamur halusinogenik.

Karena komite redaksi berlambat-lambat dalam penerbitan semua gulungan, muncul desas-desus bahwa gulungan-gulungan itu berisi materi yang merusak agama Kristen dan bahwa Vatikan telah memerintahkan agar isinya dirahasiakan. Seluruh materi telah diterbitkan dan tidak ada yang merusak pekerjaan Kristus. “… terlepas dari pencarian paling tajam oleh seluruh dunia ilmiah untuk bahan peledak tersembunyi, tidak ada yang menemukan apa pun yang dapat mengguncang fondasi agama Kristen, Yudaisme, atau agama apa pun” (Vermes, hlm. 91).

Kuil Kitab

Sangat menarik bahwa dua saksi sejarah terbesar untuk otoritas Alkitab Ibrani Masoret terletak di satu tempat, yaitu Kuil Kitab di Yerusalem, salah satu bagian dari Museum Israel. Kuil inilah penjaga Gulungan Besar Yesaya dan Kodeks Aleppo, manuskrip lengkap Perjanjian Lama Masoret kuno yang paling penting.

Codex Aleppo (dikenal dalam bahasa Ibrani sebagai Ha-Keter, yang berarti Mahkota) dibuat sekitar tahun 920 M di Tiberias, yang merupakan pusat keilmuan Yahudi setelah penghancuran Yerusalem. Kota ini juga merupakan pusat penciptaan Talmud, yang merupakan kumpulan tradisi Yahudi yang ditinggikan (dalam praktiknya) otoritasnya menjadi setara dengan Kitab Suci, suatu praktik yang dikutuk Yesus dalam Matius 15 dan 23. Manuskrip Aleppo disalin oleh Shlomo Ben Boya’a, dan titik-titik huruf hidupnya ditambahkan oleh juru tulis terkenal Aaron ben Asher. Selama hampir 1.000 tahun ia “digunakan sebagai teks standar untuk mengoreksi kitab-kitab” sementara “generasi-generasi juru tulis membuat ziarah untuk berkonsultasi dengannya” (Roitman, hal. 62). Manuskrip ini berdiam di sinagog di Kairo, Mesir, dari sekitar 1099 hingga 1375, ketika ia dipindahkan ke sinagog di Aleppo, Suriah, di mana ia diletakkan di sebuah kotak logam terkunci ganda di “Gua Elia. ” (Menurut tradisi mereka, nabi Elia diasingkan di sana.) Kuncinya dipegang oleh dua pria terkemuka dan kotak itu hanya dapat dibuka di hadapan kedua pria tersebut atas wewenang pemimpin sinagog. Pada tanggal 2 Desember 1947, setelah disahkannya resolusi PBB untuk mendirikan negara Yahudi, sinagog Aleppo dihancurkan oleh orang-orang Muslim yang mengamuk selama kerusuhan yang pecah di seluruh dunia Arab. Para perusuh masuk ke dalam kotak besi dan merobek halaman-halaman dari Codex itu dan melemparkannya ke lantai. Sebagian besar Pentateuch hilang, selain bagian-bagian lainnya. Seseorang memulihkan Codex yang rusak itu dan ia disembunyikan selama beberapa tahun berikutnya.

Pada tahun 1958 Codex Aleppo diselundupkan ke Turki disembunyikan di dalam mesin cuci, dan dari sana dibawa ke Yerusalem (Roitman, hal. 65). Dengan susah payah manuskrip ini dipulihkan selama enam tahun oleh Museum Israel dan hari ini dipajang di Kuil Kitab.

Kesimpulan

Penemuan arkeologi seperti Gulungan-gulungan Laut Mati menarik bagi orang percaya Alkitab, tetapi itu tidaklah essensial. Iman kita didasarkan pada sesuatu yang jauh lebih kokoh daripada potongan-potongan gulungan kuno yang rapuh. Iman kita adalah pada Firman yang tidak dapat salah dari Allah yang tidak dapat berbohong, Firman yang disahkan oleh “banyak bukti yang tidak dapat salah” (Kis. 1:3).

Penemuan arkeologi seperti Gulungan Laut Mati menarik bagi penganut Alkitab, tetapi itu tidak penting. Keyakinan kita didasarkan pada sesuatu yang jauh lebih kokoh daripada potongan-potongan gulungan kuno yang rapuh. Iman kita adalah pada Firman Allah yang tidak dapat salah yang tidak dapat berbohong, Firman yang disahkan oleh “banyak tanda yang membuktikan” ( Kis. 1:3).

This entry was posted in Alkitab, Arkeologi. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *