Generasi “Me” (Aku) Bertheologi

(Berita Mingguan GITS 27 Maret 2010, diterjemahkan dari www.wayoflife.org)
Alkitab menggambarkan tentang suatu “generasi aku” di hari-hari terakhir. “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri…” (2 Tim. 3:1). Nubuat yang sama memperingatkan bahwa generasi aku tidak akan dapat “menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” (2 Tim. 4:3). Generasi “aku” sudah tiba pada kita. Ini adalah zaman politik“ku” (demokrasi), musik“ku,” fashion“ku,” ruang“ku,” diet“ku,” dan ini adalah zaman dengan lagu tema “I did it my way” (Aku melakukannya dengan caraku). Inilah prinsip dari rock & roll sejak awalnya. “I’m free to do what I want any old time” (Rolling Stone, 1965). Tidak mengherankan, ini juga adalah zamannya gereja”ku” dan theologi”ku,” yang adalah definisi tepat dari gerakan emerging church. Hal ini sangat jelas dalam sebuah konferensi berjudul “Theology After Google” di Claremont School of Theology di California. Para pemimpin gerakan emerging seperti Tony Jones dan Spencer Burke menyajikan suatu filosofi yang dijamin akan menggelitik telinga generasi aku. Mereka mengkontraskan “Gereja 1.0” dari “era lama” dengan “Gereja 2.0” dari era Google. Sementara Gereja 1.0 adalah tentang “kepemimpinan dari atas ke bawah, pengakuan iman, doktrin, dan objektif literal” (yang kedengaran sangat mirip dengan gereja sebagaimana digambarkan dalam Perjanjian Baru), Gereja 2.0 melingkupi “theologi wiki, yang dari bawah ke atas, kebudayaan yang subjektif dan terus berkembang” (“Emergent Christians Mull Theology in Google Era,” The Christian Post, 16 Maret 2010). Konferensi tersebut mewakili sebuah gerakan yang disebut “Transforming Theology,” yang bertujuan untuk “mentransformasi dan memperbaharui Gereja Kristen dalam dan untuk abad kedua puluh satu.” Philip Clayton, seorang profesor di Claremont School of Theology dan seorang pemimpin Transforming Theology, mengatakan bahwa hari ini “tidak ada kriteria ketat mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.” Peserta konferensi, Bob Cornwall, mengobservasi bahwa gerakan tersebut mewakili proses “demokratisasi” theologi. Emerging Church sungguh adalah tiket pemenang bagi generasi yang sesat ini, dan fakta bahwa mereka sedang secara terbuka menargetkan anak-anak dan cucu-cucu dari orang-orang Kristen fundamentalis yang mengasihi Kristus, mengkhotbahkan kasih karunia, dan percaya Alkitab, seharusnya memotivasi kita untuk memperkuat kunci dan memastikan bahwa kita menjangkau dan mempertahankan hati generasi berikutnya.

This entry was posted in Emerging Church and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *