(Berita Mingguan GITS 21 September 2019, oleh Dr. Steven E. Liauw)
Memang ada banyak sekali hal yang aneh di dunia ini. Tetapi yang berikut ini bukan hanya aneh, tetapi menyedihkan karena memperlihatkan kemelaratan dan kebutaan rohani yang mendalam. Pada hari Selasa, 17 September 2019, akun Twitter dari Union Theological Seminary, yang berlokasi di kota New York, Amerika Serikat, menayangkan sebuah cuplikan foto dari kebaktian chapel mereka. Dalam foto tersebut, terlihat ada beberapa pot tanaman yang ditaruh di tengah ruangan, dengan mahasiswa-mahasiswa theologi di sekitarnya. Lalu, tertulis dalam Twitter pesan berikut ini: “Hari ini dalam chapel, kami mengakui dosa kepada tumbuhan. Bersama, kami mengangkat dukacita, sukacita, penyesalan, pengharapan, rasa bersalah dan kesedihan dalam doa; mengajukannya kepada makhluk-makhluk yang menopang kita, tetapi yang pemberiannya seringkali tidak kita hormati. Apa yang mau kamu akui kepada tumbuhan-tumbuhan dalam hidupmu?”
Jika ini dilakukan oleh para penyembah berhala dalam sebuah ritual kepada Gaia, dewi bumi dalam mitologi, maka kita tidak perlu heran. Bahwa ini dilakukan dalam kebaktian chapel sebuah Seminari Theologi, sungguhlah mencengangkan. Tetapi, hal ini menggenapi nubuat Paulus tentang akhir zaman, bahwa pengajaran yang sehat tidak akan lagi dicari orang, melainkan manusia akan mencari guru-guru untuk memuaskan keinginan telinga mereka saja (2 Tim. 4:3-4). “Kekristenan” yang kacau balau, yang sudah khamir dengan ragi liberalisme dan kharismatikisme, tidak lagi memiliki mata rohani, sehingga mengikuti semua pergerakan dan aba-aba dunia ini. Ketika dunia dengan segala hawa nafsunya meninggikan LGBT, “gereja-gereja” berlomba-lomba untuk mengakomodasi LGBT. Demikian juga, ketika dunia menggiatkan kembali praktek kafir penyembahan kepada bumi, dengan kedok aktivisme lingkungan, global warming, dan climate change, “gereja-gereja” yang tidak memiliki Injil yang sejati berebutan untuk ikut serta dan mendapatkan acungan jempol dari teman-teman dunia mereka.
Dalam doktrin aktivisme lingkungan saat ini, manusia dianggap virus yang mengotori bumi, dan banyak di antara kalangan ekstrim di antara mereka yang tidak ragu untuk mengorbankan manusia demi “nature” atau “alam.” Bahkan mulai bermunculan yang namanya “eco-terrorism,” yaitu tindakan teror untuk mendukung kebijakan lingkungan tertentu. Mereka mengajarkan orang untuk membenci manusia yang dianggap benda asing di atas bumi. Salah satu doktrin mereka adalah untuk tidak memiliki anak lagi, atau memiliki anak dengan jumlah yang sedikit. Mereka akan senang ketika ada ibu-ibu hamil yang mengaborsi anaknya untuk mengurangi jumlah populasi manusia, tetapi marah besar ketika ada telur burung yang tidak sengaja dipecahkan oleh turis atau anak-anak.
Pada kenyataannya, Alkitab mengajarkan bahwa bumi diberikan untuk dikuasai, ditaklukkan dan dikelola oleh manusia (Kej. 1:27-28). Aktivisme lingkungan yang digalakkan dunia saat ini adalah penyembahan berhala, sebagaimana yang Paulus katakan: “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin” (Roma 1:25). Ya, Union Theological Seminary, berdoa kepada tanaman, mengaku dosa kepada tanaman adalah penyembahan berhala, menuhankan ciptaan. Kita berdoa dan mengaku dosa kepada Tuhan.
Pelajaran lain yang sangat berharga dari semua ini adalah betapa pentingnya orang Kristen untuk waspada terhadap pengajaran. Hanya karena sesuatu dilakukan atau diajarkan oleh gereja atau sekolah theologi, bukan berarti itu benar. “ Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tes. 5:21). Bila anda salah memilih gereja, atau salah memilih sekolah theologi, efeknya bisa sangat buruk. Union Theological Seminary adalah contoh yang sangat baik, karena institusi ini memiliki sejarah kelam menghancurkan iman. Pada tahun 1920, seorang dari Cina bernama John Sung, tiba di Amerika, dan dalam waktu singkat dengan hebat mendapatkan gelar Doktor dalam bidang kimia dari Ohio State University. Namun, walaupun ia ditawari untuk menjadi pengajar di Peking University, ia memilih untuk belajar theologi, dan ia masuk di Union Theological Seminary pada tahun 1926. Pada waktu itu, Union Theological Seminary, dipimpin oleh Rektor Henry Sloane Coffin dan profesor Harry Emerson Fosdick, mengajarkan liberalisme yang mempertanyakan segala sesuatu dalam Alkitab, termasuk otoritas Kitab Suci, kelahiran Yesus dari perawan, kebangkitan tubuh Kristus, mujizat-mujizat, dll. John Sung diajarkan filosofi “God-is-Dead,” dan dalam beberapa bulan iman John Sung bagaikan terkikis. “Jika Kristus tidak bangkit dari antara orang mati,” demikian ia merenung, “maka kekristenan tidak lebih baik dari Budhisme atau Taoisme.” Dengan Rektor yang bernama Coffin, seminari tersebut hampir saja menjadi kuburan bagi iman John Sung. Puji syukur Tuhan menyediakan jalan keluar baginya. Suatu kali ia menghadiri kebaktian penginjilan yang dilakukan oleh sebuah gereja setempat, Calvary Baptist Church, dan walaupun yang menyampaikan Injil adalah seseorang berusia 15 tahun, John Sung merasakan bahwa ia memiliki lebih banyak kuasa rohani dari para profesornya. Setelah pergumulan selama beberapa bulan, akhirnya John Sung menyerah kepada Tuhan dan mengukuhkan imannya, dan sukacita menyelimutinya. Ia segera bersaksi tentang Kristus ke mana pun ia pergi. Kepada Dr. Fosdick, yang dulunya adalah profesor favoritnya, ia berkata: “Kamu adalah Iblis. Kamu membuat saya kehilangan iman saya, dan kamu membuat orang-orang muda lain kehilangan iman mereka.” Menghadapi John Sung yang penuh keberanian dan sukacita itu, Dr. Coffin dan Fosdick menyatakannya telah sakit jiwa, dan mengirim John Sung untuk ditahan di rumah sakit jiwa. Ditahan selama 193 hari, John berkata bahwa ia membaca Alkitab 40 kali selama masa itu, dan akhirnya dibebaskan setelah diperjuangkan oleh teman misionarinya, Dr. Rollin Walker. (Kisah ini disadur antara lain dari buku John Sung, My Teacher, yang ditulis oleh Timothy Tow, salah satu murid John Sung).
Jadi, Union Theological Seminary memiliki sejarah menghancurkan iman, dan mereka masih melakukannya hari ini. Mempertahankan pengakuan dosa kepada tumbuhan, jurubicara dari seminari ini menambahkan kepada Washington Examiner, “Mengaku dosa kepada tumbuhan hanyalah salah satu ekspresi penyembahan di Union sini. Union Theological Seminary dilandaskan pada tradisi Kristen, dan pada saat yang sama berkomitmen mendalam terhadap hubungan antar-agama. Chapel harian Union, memang didesain untuk menjadi tempat orang-orang dari berbagai tradisi iman yang berbeda bisa mengekspresikan kepercayaan mereka. Dan, karena komunitas kami begitu beragam, penyembahan bisa sangat berbeda dari hari ke hari! Satu hari, anda bisa masuk dan menemukan kebaktian Anglikan tradisional, hari lain lagi anda masuk menemukan kebaktian meditasi Buddha atau doa Muslim. Pada hari lain, anda dapat menemukan kebaktian penyembahan Pantekosta atau kebaktian Quaker yang hening. Kami menciptakan suatu rumah, tempat orang-orang dapat menyembah secara berdampingan…” (https://www.washingtonexaminer.com/news/absolute-theological-bankruptcy-union-theological-seminary-students-pray-to-plants, 18 Sept. 2019). Berbahagialah orang-orang yang telah menemukan kebenaran dalam Firman Tuhan, dan gereja atau sekolah theologi yang alkitabiah.