Tidak, tetapi ia sedang berubah dengan cepat
oleh Robert Carter (Sumber: creation.com/is-covid-19-evolving)
Banyak orang bertanya kepada kami apakah mutasi-mutasi yang kita saksikan pada virus SARS-CoV-2 adalah bukti bahwa virus ini sedang berevolusi. Ini adalah pertanyaan yang fair, dan menjawabnya akan memungkinkan kami untuk menjelaskan perbedaan antara mutasi dan evolusi, sambil menjelaskan keseluruhan pandemi Covid-19 dalam konteks penciptaan. Kita sudah menjelaskan hal-hal yang serupa sebelumnya, tetapi penyakit yang baru ini membuat orang-orang baru menanyakan pertanyaan yang sama. Jadi, evolusi tidaklah benar untuk flu babi, tidaklah benar untuk kupu-kupu gelap, tidaklah benar untuk burung finch yang ditemukan Darwin, dan tidaklah benar untuk SARS-CoV-2. Jadi mengapakah para evolusionis masih saja berkoar menggunakan pandangan yang sudah kuno dan ketinggalan ini?
Berapa banyak perubahan yang bisa kita harapkan akan terjadi?
Untuk hal-hal seperti virus, yang mempunyai jumlah populasi sangat tinggi dan laju mutasi sangat tinggi, jika suatu perubahan spesifik mungkin terjadi, maka harus diperkirakan akan terjadi.
Dalam buku Michael Behe, The Edge of Evolution, dia menjelaskan berapa banyak ‘evolusi’ yang bisa kita harapkan akan kita temu dalam spesies manapun. Jika diberikan data ukuran genome yang spesifik, laju mutasi yang diketahui, dan jumlah populasi tertentu, maka kita bisa memperkirakan probabilitas terjadinya mutasi apapun selama kurun waktu tertentu. Satu contoh yang dia pakai adalah parasit malaria Plasmodium falciparum, dan berapa lama waktu diperlukan parasit ini mengembangkan resistensi terhadap obat anti-malaria. Banyak obat tidak bertahan lama sebelum menjadi tidak berguna lagi. Dalam setiap kasusnya, hanya satu mutasi yang dibutuhkan untuk mengalahkan obat tersebut. Tetapi dalam kasus Klorokuin, minimal dua mutasi dibutuhkan. Dapat diperkirakan bahwa hanya satu dalam 1020 (100 quintillion) P. Falciparum akan mempunyai mutasi yang dibutuhkan, dan akan ada sekitar 1021 dari parasit ini dalam 1 milyar orang yang terinfeksi. Jadi resistensi terhadap klorokuin telah muncul, tetapi jarang. Ini memang sudah dalam perkiraan kita. Perhitungan matematikanya memberitahu kita bahwa perubahan yang satu ini memang mungkin terjadi.
Namun demikian, untuk perubahan spesifik apapun, selalu akan ada masalah waktu penantian. Dalam populasi yang mirip manusia, perubahan ‘evolusi’ apapun yang memerlukan banyak mutasi, tidak akan terjadi dalam kurun waktu yang wajar. Tetapi, untuk hal-hal seperti virus, yang mempunyai jumlah populasi sangat tinggi dan laju mutasi sangat tinggi, jika perubahan spesifik tertentu mungkin terjadi, maka harus diperkirakan akan terjadi. Waktu penantian dalam kasus-kasus seperti ini bisa cukup singkat. Dengan kata lain, jika suatu mutasi sederhana akan membuat suatu virus lebih menular bagi manusia, kita harus berjaga-jaga terhadapnya, karena akan terjadi.
Apakah mutasi sama dengan evolusi?
Jawaban untuk pertanyaan ini sangat sederhana: TIDAK!
DNA adalah molekul yang sensitif. Air, oksigen, dan radiasi senantiasa merusaknya. DNA bisa terpilin-pilin terlalu banyak kali dan secara literal patah di tengah. Enzim yang menyalin DNA senantiasa melakukan kesalahan. Sel menggunakan berbagai macam sistem perbaikan DNA yang canggih untuk senantiasa memindai dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terus menerus muncul pada molekul-molekul yang sangat sensitif ini. Namun, sistem-sistem perbaikan ini tidak sempurna. Mutasi adalah kesalahan. Terlepas dari semua usaha untuk memperbaiki mereka, mutasi masih saja lolos dari jaring. Karena seluruh alam semesta berada di bawah ‘Kutuk,’ mutasi memang diperkirakan akan terjadi.
Tidak hanya itu, beberapa mutasi jauh lebih mungkin terjadi daripada yang lain. Ketika kita melihat bagaimana mutasi menumpuk dari waktu ke waktu, kita melihat pergerakan ke arah tertentu. Dengan kata lain, perubahan selama jangka waktu tertentu dapat diprediksi, yang tidak seharusnya terjadi dalam evolusi. Virus H1N1 pada manusia dengan jelas menunjukkan cara kerjanya. Mengingat empat huruf dalam genom RNA virus (A, C, G, dan U), setelah 70 tahun beredar, jumlah A dan U secara konsisten naik dan jumlah G dan C turun.
Di satu sisi, perubahan ini mengikuti hukum kimia. Misalnya, salah satu perubahan kimia paling umum pada DNA dan RNA terjadi ketika air menyerang sitosin (C). Hal ini menyebabkan hilangnya satu amino (-NH2), yang mengubah sitosin menjadi urasil. Ada juga enzim penyunting RNA (misalnya APOBEC) yang melakukan ini dengan sengaja, mungkin untuk mempercepat kematian virus.
Mutasi terjadi. Ini adalah fakta. Spesies berubah. Ini juga adalah fakta. Namun, semua ini tidak menjelaskan asal usul kehidupan, kompleksitas kehidupan, dll. Dengan kata lain, ‘perubahan selama jangka waktu tertentu’ sepenuhnya merupakan bagian dari model penciptaan. Meskipun benar bahwa ‘perubahan’ diperlukan untuk evolusi, perubahan saja tidak cukup. Dibutuhkan perubahan yang cukup selama waktu yang cukup untuk menjelaskan nenek moyang yang sama dari semua kehidupan. Namun, tidak ada mekanisme untuk menghasilkan sejumlah besar informasi baru yang dibutuhkan oleh evolusi, termasuk jalur-jalur biokimia yang sangat kompleks, dll. Inilah sebabnya mengapa kita nyaman berbicara tentang ‘perubahan’ dalam konteks penciptaan. Mutasi tidak sama dengan evolusi.
Seleksi alam bukanlah solusi
Jadi bukan saja perubahan sudah bisa diperkirakan akan terjadi, dan bukan saja kita bisa memperkirakan bahwa jenis-jenis mutasi tertentu akan banyak terjadi, tetapi kita memperkirakan bahwa mutasi yang membantu virus menyebar lebih cepat akan muncul. Ini tidak berarti bahwa virus itu berevolusi.
Virus-virus ini berperang dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Hanya yang ‘terkuat’ yang bertahan dan virus apa pun yang tidak sekuat yang lain akan kesulitan melewati sistem kekebalan untuk menginfeksi orang lain. Bahkan jika virus itu berhasil sampai ke orang lain, jika ia tidak bereplikasi secepat yang lainnya, ia akan tertinggal dalam perlombaan reproduksi virus. Jadi, ada banyak sekali seleksi alam yang terjadi di sini. Namun terlepas dari seleksi yang kuat, mutasi cenderung menumpuk dengan cara yang dapat diprediksi dan dengan laju yang dapat diprediksi. Jika mutasi tidak dapat dikendalikan, seluruh sistem pada akhirnya akan terdegradasi. Ada banyak cara untuk mengukur ini. Misalnya, kita melihat kecenderungan hilangnya kodon dan penurunan efisiensi replikasi yang sudah diperkirakan pada virus H1N1 manusia seiring berjalannya waktu.
Dalam kasus SARS-CoV-2, kita dapat melihat pola yang serupa. Jika kamu mentabulasi semua mutasi yang terjadi dalam genom virus sejak pandemi pertama kali muncul, mutasi C?T mendominasi (data tidak ditampilkan). Masalahnya adalah virus ini baru beredar selama sekitar 20 bulan, sehingga jumlah total mutasi per virus masih cukup rendah (sekitar 25 perubahan huruf tunggal dan sesekali penyisipan atau penghapusan kecil). Namun, jumlah virus yang telah ada selama jangka waktu ini benar-benar banyak. Pada dasarnya, setiap kemungkinan mutasi sederhana telah terjadi. Sebagian besar mutasi hilang karena kebetulan yang acak, tetapi jika ada perubahan sederhana yang dapat membuat virus lebih menular, itu akan cenderung mendominasi di antara virus yang beredar. Makanya, muncul varian Delta (alias B.1.617.2).
Varian baru Covid-19 bukanlah bukti evolusi
Melalui perubahan mutasi satu huruf sederhana, garis keturunan varian Delta telah mendapatkan 13 perbedaan asam amino, empat di antaranya dalam spike-protein virus tersebut. Varian “Delta plus” memiliki perubahan asam amino tambahan pada spike-protein. Delta jauh lebih menular daripada virus asli, orang yang terinfeksi melepaskan lebih banyak partikel virus, dan orang yang lebih muda terinfeksi pada tingkat yang jauh lebih tinggi. Karena peningkatan kemampuan penularan, tidak mengherankan bahwa Delta telah menjadi jenis yang dominan di banyak negara-negara dunia. Sampai saat ini, vaksin-vaksin utama masih protektif terhadap Delta, meskipun tidak seefektif melawan strain asli, dan ada kemungkinan yang sangat nyata bahwa beberapa mutasi tambahan dapat memicu virus terobosan sejati yang tidak berinteraksi dengan antibodi yang ada pada orang-orang yang telah divaksinasi dan yang sebelumnya terinfeksi.
Perubahan seperti ini sudah diperkirakan. Ini tidak berarti virus itu ‘berevolusi.’ Faktanya, seiring waktu, kemampuan penularan virus akan berkurang. Karena setiap strain virus dalam sirkulasi terkena lebih banyak dan lebih banyak lagi mutasi, ia akan menjadi semakin tidak kuat. Ini adalah inti dari entropi genetik dan kita melihatnya terjadi di dalam virus H1N1 manusia. Namun, prosesnya memakan waktu puluhan tahun pada H1N1 dan SARS-CoV-2 baru ada untuk waktu yang singkat. Akankah entropi genetik melemahkan virus? Ya. Akankah terjadi tahun ini? Tidak. Dan, saat ia melemah, ia mungkin juga mendapatkan mutasi yang membuatnya menyebar lebih cepat atau yang membuatnya lebih mematikan.
Banyak orang khawatir dengan munculnya varian baru SARS-CoV-2. Banyak orang lain merasa bahwa ini membuktikan evolusi. Mereka melihat perubahan adaptif ini dan menyimpulkan bahwa evolusi jangka panjang sudah bisa dipastikan. Mereka tidak benar. Semua ini sesuai dengan model penciptaan. Tidak ada ‘evolusi’ untuk dilihat di sini.