Pengaruh C.S. Lewis Dalam Membuat Kaum Injili Lemah Mengenai Neraka

(Berita Mingguan GITS 26 Maret 2011, sumber: www.wayoflife.org)
C.S. Lewis (1898-1963) disebut “Superstar” oleh majalah Christianity Today. Dalam sebuah jajak pendapat tahun 1998, C.S. Lewis mendapat suara sebagai penulis Injili yang paling berpengaruh, dan mengingat betapa kacaunya kondisi rohani-doktrinal-moral kaum Injili hari ini, hasil jajak pendapat ini sungguh mencelikkan. Salah satu cara Lewis telah mempengaruhi Injili adalah dalam hal yang sangat fondasional yaitu neraka dan eksklusivitas keselamatan melalui nama Kristus. Lewis mengatakan bahwa tidaklah terlalu salah untuk berdoa kepada Apollo, karena melakukan itu adalah “berbicara kepada Kristus sub specie Apollonius” (C.S. Lewis kepada Chad Walsh, 23 Mei 1960, dikutip dari George Sayer, Jack: A Life of C.S. Lewis, 1994, hal. 378). Lewis di tempat lain mengklaim bahwa para pengikut agama-agama kafir dapat diselamatkan tanpa iman pribadi dalam Kristus Yesus (C.S. Lewis, Mere Christianity, HarperSanFrancisco edition, 2001, hal. 64, 208, 209). Dalam seri Narnia yang populer, yang telah mempengaruhi banyak sekali anak-anak, Lewis mengajarkan bahwa mereka yang melayani Setan dengan tulus (yang disebut Tash) sebenarnya melayani Kristus (Aslan) dan pada akhirnya akan diterima oleh Allah. “Tetapi saya kata, ‘Ah, sayang sekali, Tuhan, saya bukan anakmu melainkan hamba Tash.’ Dia menjawab, ‘Anak, semua yang kau lakukan bagi Tash, saya hitung sebagai pelayanan terhadap ku.’ ….Jadi, jika seseorang bersumpah demi Tash dan menepati sumpahnya demi sumpah itu, sebenarnya dia bersumpah demiku, walaupun dia tidak mengetahuinya, dan adalah Aku yang memberinya pahala” (The Last Battle, pasal 15, “Further Up and Further In”). Jadi, tidaklah mengherankan bahwa Lewis dikutip sebagai pengaruh yang besar oleh para Injili yang lunak perihal neraka. Clark Pinnock mengatakan, “Ketika saya seorang percaya yang muda pada tahun 1950an, C.S. Lewis membantu saya mengerti hubungan antara kekristenan dan agama-agama lain dengan cara yang inklusif” (“More Than One Way? Zondervan, 1996, hal. 107). Richard Mouw mengatakan, “Jika saya diberi tugas untuk menulis suatu esai theologis tentang “Eskatologinya Rob Bell,” saya akan mulai tugas itu dengan membeberkan dasar-dasar perspektif C.S. Lewis mengenai surga dan neraka” (“The Orthodoxy of Rob Bell,” Christian Post, 20 Maret 2011). Dalam bagian Ucapan Terima Kasih dalam buku Love Wins, Rob Bell menulis, “….kepada orang tua saya, Rob dan Helen, karena menyarankan ketika saya SMA untuk membaca C.S. Lewis.” Hati-hati terhadap C.S. Lewis. Bahwa dia dicintai sama rata oleh “Injili yang konservatif,” para emergent yang menolak neraka, rocker Kristen, Katolik, Mormon, dan bahkan sebagian Atheis, sudah cukup sebagai peringatan bagi mereka yang memiliki telinga untuk mendengar.

This entry was posted in Kesesatan Umum dan New Age. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *