(Berita Mingguan GITS 18 Februari 2017, sumber: www.wayoflife.org)
Berikut ini disadur dari “Staying in an unhappy marriage could be the best thing you do,” The Telegraph, 8 Feb. 2017: “Para peneliti menemukan bahwa mayoritas pasangan yang tidak bahagia ketika anak pertama mereka lahir, sudah merasa terpenuhi sepuluh tahun kemudian. Riset yang dibiayai oleh Marriage Foundation ini menemukan bahwa 68 persen pasangan yang tetap bersama setelah kelahiran anak pertama mereka melaporkan diri bahagia 10 tahun kemudian. Lebih lanjut lagi, 27% mengatakan mereka ‘sangat bahagia,’ dan memberi nilai tujuh (dari maksimum tujuh) kepada hubungan mereka. Harry Benson, dari Marriage Foundation, mengataka: ‘Bertentangan dengan pandangan umum, tetap tinggal di dalam pernikahan yang tidak bahagia bisa jadi adalah hal terbaik yang anda lakukan. Kebanyakan pernikahan memiliki momen-momen tidak bahagianya, tetapi terkecuali kasus-kasus yang untungnya jarang di mana hubungan itu mengalami penindasan (abuse), kebanyakan pasangan dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan itu dan menjadi bahagia belakangan.’ Para ahli hubungan mengkonfirmasi penemuan studi-studi sebelumnya yang mengindikasikan bahwa para pasangan yang rutin memiliki waktu malam sendiri bersama pasangan, akan lebih tidak mengalami rusaknya hubungan. Sir Paul Coleridge, seorang mantan Hakim Pengadilan Tinggi, dan juga pendiri Marriage Foundation, mengatakan: ‘Dengan rusaknya keluarga – terutama dalam sepuluh tahun pertama – mencapai tingkat tertinggi, riset yang menghancurkan mitos-mitos ini sangatlah penting. … Bicaralah dengan siapapun yang memiliki hubungan yang memuaskan 20an tahun, dan mereka akan memberitahu anda bahwa itu harus dibangun dengan usaha yang rajin dan sensitif oleh kedua pihak. Mempertahankan hubungan anda terus berjalan adalah faktor yang jauh paling penting dalam perkembangan anak anda.’”
Halo Pak Steven, saya ingin bertanya mengenai memilih pasangan hidup. Secara alkitabiah, apakah ada keharusan jarak usia lebih tua bagi suami dan lebih muda bagi istri? Lalu, (kalau misalkan ada) seberapa jauh sewajarnya jarak usia antara pasangan suami dan istri tersebut?
Karena, belakangan ini… Semakin banyak pernikahan yang terlampau umur. Seperti seorang suami yang masih berumur 20 tahunan namun memiliki istri berumur 60-an tahun.
Tidak ada keharusan dalam Alkitab mengenai jarak umur.
Tetapi, Alkitab mengajarkan bahwa suami adalah kepala istri.
Jadi, boleh saja istri lebih tua bahkan, asal bisakah istri yang lebih tua itu menempatkan suami sebagai kepalanya?
Mengenai yang jaraknya ekstrim, apalagi suami jauh lebih muda (misal 20 tahun banding 60 tahun), memang tidak ada aturan Alkitab tentang umur, tetapi pertanyaannya adalah apakah motivasi pernikahan ini benar? Itu yang perlu direnungkan.